Reuni dan Kenangan-kenangan yang Tertinggal
Oleh: R Herlina Sari
Ramadan tanpa adanya bukber alias buka bersama, bagaikan aku tanpa adanya kamu. Sepi. Tahun ini, tak seperti tahun yang lalu, misalnya agenda di dinding kamar penuh dengan kegiatan berbuka bersama dengan teman-teman, secara bergantian. Namun untuk tahun ini, sudah Ramadan kesepuluh, tak ada seorang pun yang menyatakan ingin berbuka puasa bersama. Aku yang biasanya sibuk ngabuburit atau hari ini buka puasa di restoran padang, besok di restoran jepang, lusa buka puasa di Hanamasa, menjadi anak rumahan yang menunggu datangnya bedug Magrib bersama keluarga.
Ting.
Sebuah pesan dari aplikasi logo bulat berwarna hijau kudapatkan sore ini. Ternyata dari salah satu alumni SMP.
[Teman-teman, tahun ini acara buka puasa bersama diadakan pada Ramadan ke lima belas di restoran tepi sawah dengan mahar seratus ribu rupiah, dibayar transfer ke rekening xxx atas nama xxx. Konfirmasi kehadiran kalian ke bendahara kelas.]
Kubaca informasi yang selama sepuluh hari ini selalu kutunggu. Akhirnya, ada yang mengadakan bukber. Tak sabar aku menunggu hari H. Selain jenuh, aku juga ingin bertemu dengan teman-teman. Segera kupenuhi syarat dan kewajiban serta mendaftar ke Wulan, sang bendahara kelas. Aku lega.
***
Aku mematut diriku di depan cermin. Memastikan penampilanku sore ini paripurna. Aku tak mau terlihat lusuh, kurang segar, dan tampil buluk. Ah … lebih tepatnya, aku ingin menampilkan yang terbaik. Gamis biru cerah dengan warna jilbab senada, menjadi pilihanku sore ini. Bukan gamis baru, tapi cukup layak untuk dibawa pergi. Tak lupa, kuoleskan lipstik berwarna pink cerah secara tipis-tipis. Setelah kurasa penampilan sudah cukup baik, segera aku berangkat.
Dua puluh menit berselang, aku sudah tiba di tempat tujuan. Kuparkirkan motor kesayangan hasil kerja kerasku selama ini. Aku berjalan memasuki restoran tepi sawah, di sana sudah ada beberapa teman yang diangkat sebagai panitia acara ini berlalu-lalang.
“Din! Ke sini!” teriak Amel. Tangannya melambai-lambai. Amel adalah teman sebangku semasa SMP. Meski begitu, dia bukan sahabat terdekatku.
Aku berjalan menghampirinya. “Sudah lama, Mel?” tanyaku. “Mana yang lain?” Aku mengambil tempat duduk di depan Amel.
“Baru saja aku datang. Yang lain mungkin masih di jalan. Bentar lagi juga datang. Kamu kok terlihat kurusan, Din. Lagi ada masalah?” tanyanya.
“Enggak. Biasa. Diet. Badan udah terasa berat dan sedikit engap buat bernapas.” Aku menjelaskan. Tak perlu panjang lebar memberi tahu alasan yang sesungguhnya. Biarlah itu menjadi rahasia antara aku dan Sang Pencipta yang sudah menciptakan sesuatu bernama cabe.
“Kamu udah dapat kabar belum kalau Rio dan Reta mau nikah?” tanya Amel.
Deg! Rio menikah? Dengan Reta? Tidak! Kabar itu pasti tidak benar. Rio tak mungkin menikah, terlebih dengan Reta. Aku merasakan sudut mata membasah, segera kusapu dengan jempol kanan. Menarik napas … lalu embuskan. Berusaha bersikap tenang.
“Oh … iyakah? Kapan?” tanyaku. Suaraku terdengar bergetar. Menahan sesak yang ah entahlah. Mengapa aku harus tahu kabar ini dari mulut orang lain? Mengapa bukan Rio sendiri yang mengatakannya?
“Seminggu setelah lebaran nanti. Semua teman sekelas kita udah dapat undangannya. Emang kamu gak dapat ya, Din?”
“Eh … mungkin dikirim ke rumah Nenek. Rio kan tahunya aku tinggal bersama Nenek. Sedangkan sekarang aku sudah pulang ke rumah orang tuaku.”
Tidak mungkin Rio membagi undangan untukku. Setelah apa yang terjadi, apakah dia tega memberikan undangan dengan mempelai perempuan yang berbeda. Terlebih Reta adalah sahabatku. Tidak mungkin juga dia akan menusukku dari belakang.
Amel diam. Tidak melanjutkan pembahasan lagi tentang mereka berdua. Kini kami mengobrol masalah kegiatan selama setahun ke belakang. Tanpa terasa azan Maghrib telah berkumandang. Aku memilih kolak pisang untuk membatalkan puasa. Manis dan legit, terasa nyaman di tenggorokan.
Saat kami sedang khusuk menyantap makanan yang terhidang di atas meja, seuah suara menginterupsi.
“Maaf kami terlambat.” Rio dan Reta datang dengan bergandengan tangan. Mesra.
Aku hanya bisa diam dan menatapnya dengan tajam. Inginku segera pergi. Aku muak melihat kemesraan mereka berdua.
“Aku ke musala dulu ya teman-teman,” pamitku. Aku harus segera pergi sebelum air mata ini menetes dengan deras. Aku benci keadaan ini. Mengapa Rio begitu tega, Tuhan.
“Aku minta maaf. Kamu pasti sudah mendengar semuanya dari teman-teman.” Suara seorang lelaki menghentikan jalanku. Suara yang beberapa waktu ke belakang selalu membuatku rindu, untuk bertemu. Karena kami berada di kota yang berbeda.
“Selamat. Semoga bahagia.”
“Kamu gak tanya apa alasanku menikahi Reta?” tanya Rio.
“Enggak perlu. Anggap aja aku pernah menjaga jodoh sahabatku. Saat aku mendengar kamu akan menikahi Reta, kisah kita sudah usai.”
“Tapi aku masih cinta kamu, Din. Dan ingin mewujudkan mimpi yang pernah kita bahas, tapi …,” ucapnya.
Rio egois. Dia mau menikahi sahabatku tapi bilang masih mencintaiku? Dia gila.
“Reta hamil. Anakku,” kata Rio. [*]
RHS, pecinta lumba-lumba dan warna ungu.
Editor: Imas Hanifah N
Gambar: Pixabay
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata