Reuni

Reuni

Reuni
Oleh: Devin Elysia Dhywinanda

Kamu hanya ingin berdialog dengan pria berkacamata bundar yang duduk di seberangmu—bersama secangkir espresso yang kamu pesan di bawah kanopi hangat salah satu gerai kafe unik di daerah Bogor—tentang apa saja: Pak Wakasek yang tidak lagi memakai rambut palsu setelah pensiun lima tahun silam; para siswi angkatan kalian yang heboh di depan kelas, hendak meng-cover lagu hit pada masa itu; seberapa anehnya gerimis hari itu yang, entah kenapa, masih memberikan tempat bagi senja untuk unjuk gigi. Ada banyak sekali ganjalan dalam kepalamu yang mesti dikeluarkan secepatnya, seperti yang dilakukan kawan-kawan kalian di reuni sore itu, tetapi dia kentara tidak berminat, bahkan untuk memandangmu pun ia tidak mau.

Dailydose Cafe and Eatery masih sehangat ketika kamu pergi ke sana lebaran tahun lalu, sebenarnya, dengan dinding berlapis motif serat kayu serta deretan gelas aneka bentuk dan buku best seller lintas generasi yang dipajang apik di rak berwarna hitam. Waktu itu, reuni seperti hari ini, dan teman-temanmu pun memilih berkumpul di kursi abu-abu dekat pintu kaca dengan dalih melihat pemandangan luar. Kepalamu masih dipenuhi kekhawatiran tentang apa yang mesti kamu lakukan bila dia datang ke reuni kala itu. Untungnya—atau tidak?—dia tidak datang sehingga kamu bisa menikmati espresso serta sesi nostalgia tanpa kecanggungan yang berarti.

Ketika akhirnya berpapasan di gerbang batu bata Dailydose Cafe and Eatery, kamu sadar bahwa momen yang mengendap selama setahun itu telah datang. Kamu mencoba tersenyum, menyapanya selayaknya seorang teman—sebagaimana yang dulu dia katakan ketika membelikanmu peralatan lukis untuk tugas seni budaya—dan dia pun balas tersenyum—sungguh, senyum lebarnya tidak pernah berubah kendati sepuluh tahun telah berlalu!

Momen seperti ini sangat cocok untuk bernostalgia, pikirmu sambil melihat para remaja yang sangat heboh di teras kafe tersebut. Ada hujan, senja, dan sebentar lagi minumannya akan datang. Kita bisa tertawa sampai sekeras-kerasnya, membicarakan berbagai kejadian memalukan semasa SMP, atau membahas hal random lain, seperti isi chat Facebook kita dulu. Aku harus menyindirmu yang menjauh, melupakan janji 15.000 chat kita, setelah berpacaran dengan si Anak Kelas Sebelah. Ah, dan aku juga harus menyindirmu karena telah bersikap seolah-olah aku adalah parasit yang bisa mengganggu hubungan kalian karena sungguh, apa salahnya, sih, bersahabat dengan lawan jenis saat kita sudah memiliki pasangan?

Kamu memperhatikan dia yang tersenyum lebar sambil menjelaskan alternatif mengatasi black screen pada laptop. Kamu mencoba mengingat, bagian apa darinya yang berubah, dan kamu sadari bahwa dia masih menyerupai pemuda berjidat lebar yang dulu disebut sebagai sahabatmu. Kalian tertawa saja ketika teman-teman menganggap relasi lawan jenis seperti itu sangat rentan berubah, berkata bahwa persahabatan antara pria dan wanita adalah sesuatu yang sangat mungkin terjadi, sampai akhirnya kamu memandangnya sebagai sosok yang berbeda.

Kamu tidak tahu apakah dia merasakan hal yang sama; apa dia tahu kamu menyukainya. Kamu sendiri tidak berharap hubungan kalian berubah—kamu hanya ingin kalian bisa tertawa bebas, seperti hari-hari sebelumnya—tetapi penolakannya pada masa itu membuatmu kecewa luar biasa.

Pintu kaca kafe yang didirikan tahun 2015 itu terbuka, membawa hawa dingin khas hujan ke meja kalian, saat kamu bertanya kepada keheningan, aku temanmu, ‘kan?

Kamu tanpa sadar menjadi sosok pasif, membuat kawan cerewetmu menceletuk seraya menunjukmu dan dia bergantian, “Hei, kalian pernah dekat, ‘kan? Jadi, kenapa diam-diaman aja? Jangan canggung gitu, dong, jatuhnya jadi aneh, tau!”

Semua tertawa, mulai heboh, dan kamu mau tidak mau ikut tertawa. “Apa aku perlu duduk di sampingnya dan mengajaknya selfie bareng?”

Suasana makin ramai, sedangkan—dari sudut pandangmu—tawanya kentara canggung, terutama setelah salah seorang dari teman kalian menceletuk, “Wah, itu pelanggaran. Kau bisa habis sama pacarnya!”

“Tentu tidak. Kami teman, ‘kan? Atau, aku harus minta surat peminjaman dulu ke pacarnya, jadi tidak ada salah paham atau semacamnya?”

Beberapa mulai heboh dengan spekulasi cinta-dalam-diam dan semacamnya, sedangkan yang lain mengamini pernyataanmu tentang fakta betapa berbedanya guyonan masa SMP dengan saat seperti ini.

“Kita sudah dewasa, sebagai informasi.”

“Dan, kita belum terlalu tua untuk bercanda. Ya, ‘kan?”

Kamu meliriknya yang kentara resah—dia selalu menyentuh lehernya bila tidak nyaman dengan sesuatu—lantas menghela napas. Kamu memandang langit yang kian gelap, mencerna segala penghiburan atas kerenggangan hubungan kalian begitu menginjak akhir SMP: barangkali pacarnya memang seseorang yang posesif, yang mempermasalahkan godaan teman-teman kalian kala itu; mungkin, kamu mesti dijauhi karena bisa saja menusuk dari belakang; atau, pada kemungkinan paling ekstrem, bisa saja dia juga menyukaimu dalam takaran yang sangat sedikit dan takut perasaan itu akan mengembang suatu hari kelak.

Namun, itu yang spekulasi. Nyatanya, dia tidak pernah menjelaskan musababnya menjauhimu. Sampai sekarang.

Kamu menghela napas, berkata, “Yah, kita belum terlalu tua untuk bercanda. Dan, maksudku, sungguh, asumsi kalian tentang kami itu cuma asumsi, dan asumsi tidak perlu dibuktikan. Pada akhirnya kita semua teman. Ya, ‘kan?”

Mayoritas mengiyakan perkataanmu. “Benar, benar. Semua adalah teman.”

Pembicaraan bergulir secara dinamis, tentang sedikitnya orang-orang yang menghadiri reuni dan betapa mereka—yang tidak datang—tidak menghargai berharganya sebuah pertemuan. Kamu sendiri masih mengikuti. Masih berharap. Masih mencari momen di mana kalian bisa berdialog atau, minimal, kamu bisa menyindirnya sampai puas … sampai dia sadar dengan apa yang telah dia lakukan.

Namun, kalian masih diam. Dan, hujan masih turun. Kelihatan urung untuk berhenti.

Kamu hendak meneguk espresso-mu untuk kali ketiga ketika teman cerewetmu kembali bertanya, “Kenapa pesan espresso? Perasaan kau suka banget sama green tea, deh!”.

Kamu tersenyum.

“Karena … rasanya pahit, mungkin?”

Kamu memandangnya yang sibuk berbicara dengan para tukang bolos yang jidatnya menghitam, lantas mengingat rumor yang beredar sebelum perasaan itu muncul, bahwa dia menyukaimu, bahwa entah kenapa sesuatu terjadi hingga dia berpacaran dengan si Anak Kelas Sebelah, lantas menjauhimu. Kamu ingat saat-saat paling menyedihkan ketika dia menjauh dan membuatmu bertanya-tanya: apa yang salah? Apa yang membuat seorang “teman” menjauh dan menghindar seperti itu?

Kamu ingat perihal apa yang mesti kamu tanyakan padanya ketika bertemu. Kamu tahu bahwa kamu mesti berbicara padanya. Sayangnya, obrolan itu tidak juga tercipta, bahkan setelah espresso-mu dingin dan hujan perlahan reda.

Malam telah turun ketika teman-temanmu memutuskan menyudahi pertemuan hari itu. Beberapa mengeluh mengenai betapa kurangnya waktu, pipi mereka yang menjadi kaku, atau sesi nostalgia yang bisa dilakukan di lain hari, dan kamu tersenyum mengingat ada banyak cerita masa lalu terkuak pada pertemuan kali itu.

Kalian bertatapan selama beberapa detik sebelum dia membuang muka, beralih pada sahabat karibnya, yang kamu pahami sebagai kata selesai. Kamu lantas menghela napas, tahu bahwa segala yang bermula pasti berakhir, dan meskipun tidak sebenar-benarnya bicara, kalian telah mengungkapkan sebersit perasaan kalian—meski kamu tahu itu tidak pernah memenuhi tangki keingintahuanmu.

Kamu keluar dari pelataran Dailydose Cafe and Eatery ketika sebuah mobil Honda berhenti di depanmu. Kacanya turun dan seorang pria bermata lebar tersenyum lebar, berbasa-basi, “Udah selesai reuninya?” (*)

 

Devin Elysia Dhywinanda adalah gadis AB hasil hibridisasi dunia Wibu dan Koriya yang lahir di Ponorogo, 10 Agustus 2001.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata