Restu

Restu

Restu
Oleh : Cahaya Fadillah

Kain bersulam emas dekorasi khas Minangkabau dan bantal-bantal besar khas pelaminan Minang yang disusun di sisi kiri dan kanan menambah anggun pelaminan. Tirai yang menjuntai di atas singgasana kedua mempelai itu berayun mengikuti arah angin. 

Bagai raja dan ratu, kedua pasangan itu tampak serasi dan bahagia disinggasana mereka.

“Uni cantik, ya, Mak.” Aku terpesona melihat keanggunan Uni dengan baju kebesaran khas adat Ranah Minang berwarna merah di pelaminan yang terlihat sangat megah.

Mataku tidak lepas menatap Uni sejak ia duduk di pelaminan itu. Wanita yang beberapa tahun lebih tua dariku itu akhirnya melepas masa lajang. Senyum Uni tampak lebih manis, bahagia jelas terpancar dari sorot matanya yang sipit.

Suntiang yang ia kenakan tentu saja berat. Namun, hal itu seperti tidak jadi masalah.Debaran jantung yang ia rasakan karena kebahagiaan yang membuncah, jelas lebih nikmat daripada berat suntiang yang ada di atas kepalanya kini. Aku yakin akan hal itu.

Aku tahu pasti bagaimana jalan cerita percintaan Uni hingga sampai di tahap ini. Bersanding berdua dengan mempelai lelaki dihiasi senyum bahagia, dilihat semua para tamu, direstui dan didoakan semua orang. Tidak mudah untuk mendapatkan semua bahagia yang kini menjadi miliknya. Ia harus merasakan pahitnya dikhianati oleh kekasihnya terdahulu.

Bertahun menjalin cinta, berharap duduk di pelaminan berdua dan merengkuh bahagia berumah tangga, ternyata hanya impian Uni saja. Takdir seakan mengejeknya. Ia ditinggal menikah dan tahu dikhianati setelah sang mantan sudah memiliki seorang putri. Kisah cinta yang begitu menyayat hati.

“Aku bodoh! Aku terlalu percaya padanya. Apa salah Uni, Dik. Kenapa harus Uni yang merasakan semua ini?” Tangis Uni saat itu juga menancapkan sembilu di dadaku. Rasanya terlalu sakit melihat orang yang kita sayangi disakiti sekejam itu. 

Waktu berlalu begitu cepat. Kini Uni sudah bahagia dengan pilihannya. Tidak perlu masa penjajakan, tidak perlu sebuah ikatan bernama pacaran. Mereka bertemu di tempat kerja yang sama, lalu takdir menyatukannya dalam sebuah ikatan suci pernikahan. 

Cinta? Uni pernah berkata malam itu padaku. “Sepertinya Uni tidak lagi bisa cinta kepada lelaki, Dik. Terlalu sakit rasanya dikhianati dan dibodohi seperti ini. Uni terlalu bodoh percaya saja padanya karena cinta.”

Sejak saat itu, Uni tidak pernah lagi bicara tentang cinta. Ia mulai fokus meniti karier lebih baik, memperbaiki diri sebaik-baiknya hanya untuk diri sendiri dan keluarga.

Hingga suatu hari, datanglah seorang lelaki yang berani datang ke rumah melamar Uni. Lelaki itu rekan kerja Uni. Tidak butuh waktu lama bagi mereka saling mengenal, hanya satu tahun perkenalan biasa layaknya partner kerja. Lalu, mereka menikah dan kini kulihat mereka bersanding di pelaminan dengan sangat bahagia.

 

“Uni dan Uda terlihat bahagia, ya, Mak.” Sekali lagi kulihat tawa kecil Uni dan  iparku di pelaminan. Bibir itu terus-menerus tersenyum. Sorot matanya kini sudah tampak pulih dari luka karena cinta.

 

“Cinta itu, Tuhan yang mengatur. Tinggal jalani saja. Perasaan cinta itu murni dari Tuhan. Paham?” Amak berlalu menemui tamu yang kian banyak. Hari itu aku menitikkan air mata haru atas perjuangan Uni hingga menemukan cinta sejatinya.

 

***

Pipiku terasa perih. Tamparan dari Uni membuatku terdiam. Aku marah, aku kesal. Ingin membalas, tapi ingat kalau aku harus menghormati.Ia kakakku.

“Bikin orangtua malu. Berkali-kali diingatkan, jangan lagi sama dia. Kenapa kau tak paham!”

Uni naik pitam. Tangan kanannya menggigil, selama ini tidak pernah ia memarahiku sekejam itu. Marah pun hanya sekedar nyinyiran seorang kakak pada adiknya yang nakal. Tapi kali ini tidak. Hatiku terasa sakit.Kukira Uni yang paling paham perasaanku, tapi nyatanya Uni yang paling dulu merusak harapanku.

 “Apa salahnya aku mencintai dia. Bukannya Amak bilang perasaan itu murni dari Tuhan?” Aku berteriak menyebut nama Tuhan demi membela perasaan yang tidak direstui itu.

“Pikir baik-baik. Apa dia pantas untukmu?”

“Apa Uni tidak malu menilai manusia hanya dari sisi perkiraan?”

“Lalu, aku harus menyimpulkan apa? Jika bersama dia, kau menjadi kurang ajar. Berani melawan orangtua dan menginjak-injak aku, kakakmu!”

“Jangan salahkan dia! Dia tidak salah!”

“Ya, kau yang terlalu bodoh mempercayai kata-kata lelaki.Aku tidak pernah menilai orang dari rupa dan harta. Rezeki tidak bisa ditebak begitu saja. Tapi sejak bersama dia, kau berani berbohong.Dan kau bukannya menjadi lebih baik, tapi kau rusak karena dia. Dia bukan yang terbaik untukmu!”

 “Uni tahu apa tentang terbaik atau tidak? Jangan sok tahu!”

Pipiku kembali terasa perih, ini tamparan kedua yang mendarat di pipiku. Tidak hanya pipi, hatiku terasa sangat sakit. Uni,  tempat aku mencurahkan isi hati. Tapi, Uni pula yang kini berteriak lebih lantang mengadang dan berkata kalau cintaku adalah sebuah rasa kebohongan. Perasaan yang dikuatkan oleh setan dan tidak akan pernah merestui lelaki pilihanku sampai kapan pun.


***

“Min, bantu Amak beres-beres.Jangan liatin Uni terus.Pengen nikah juga kamu?” Emak bertanya sambil sibuk menata piring-piring di meja prasmanan.

“Ya pengen, Mak. Tapi belum ada yang mau.”

“Nanti bakalan datang seiring kamu memperbaiki diri.Percaya sama Uni,” ujar Uni sambil tersenyum di pelaminan yang tidak jauh dariku, mematut kecantikannya.

 “Siap, laksanakan! Mina akan selalu ingat pesan Uni dulu.”

Di pelaminan, Uni tampak mengacungkan kedua jempol dan memonyongkan bibir bergincu merah itu padaku. Senyumku kini mengembang dengan sempurna, lalu beranjak ke dapur dengan hati yang lega luar biasa.

Benar nasihat-nasihat yang diteriaki Uni ke telingaku dulu. Lelaki yang kucintai dengan sepenuh hati dankurasa adalah yang terbaik, ternyata bukanlah yang terbaik menurut-Nya.

Ia menampakkan sisi buruk yang selama ini tidak kuketahui. Dengannya, aku berubah menjadi perempuan yang pembangkang dan susah diatur karena dibutakan cinta dan selalu meng-iyakan perkataannya. Kulepas cinta bersama sakit hati yang terasa setelah tahu bukan hanya aku yang menjadi kekasihnya saat itu.

 “Matanya kemana, Mina?” Suara berat itu mengagetkanku.

 “Astagfirullah … maaf, Uda. Mina ndak sengaja,” ucapku buru-buru meminta maaf dan membersihkan kuah rendang yang  tumpah di baju koko Uda Mustafa.

 “Gayung bersambut tampaknya. Mina menumpahkan rendang, Mustafa menyambut dengan baju putihnya.” Suara salah satu kerabat membuat tawa di antara tamu yang datang.

  Wajahku memerah, begitu juga dengan Uda Mustafa yang salah tingkah.

“Nanti selesai pesta aku tunggu di perapian belakang, Mina. Ada hal yang ingin kuutarakan,” pinta Uda Mustafa berlalu dengan senyum manisnya.

Aku tidak menjawab, hanya diam dan tersipu malu membayangkannya. (*)

 

Cahaya Fadillah. Perempuan keturunan Minang yang menyukai dunia literasi sejak kecil ini baru aktif pada tahun 2017. Karyanya sudah ada di beberapa antologi cerpen dan puisi. Tulisan lain bisa ditemukan di blog dan page pribadi atau wattpad @CahayaFadillahStory dan Ig @catatancahayafadillah.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply