Resep Rahasia
Oleh : Rosna Deli
Rasanya agak sulit menjelaskan bagaimana bisa aku menjadi seorang pengusaha telur Asin di Kuala Ampas. Semua terjadi begitu saja. Ya, maksudku tidak ada yang istimewa. Aku tidak yakin, apa karena kakek dan nenekku mempunyai peternakan bebek sehingga secara alamiah aku memiliki keahlian itu, atau karena sebab lain. Namun, seingatku sejak bapak pergi entah ke mana, telur-telur dari peternakan Kakek tidak pernah dijual lagi. Ibu langsung mengolahnya menjadi telur asin.
Aku menatap iba ke arah tong-tong besar berisi telur bebek yang tengah direndam air garam. Pikiranku melompat-lompat memikirkan bagaimana kini aku dengan mudah bisa melakukan hal yang sering dilakukan Ibu. Meskipun Ibu tidak pernah mengajarkanku secara langsung ilmu membuat telur asin, tetapi aku bisa melakukannya dengan lebih baik. Menurut para langganan, telur asinku lebih enak dan rasa asinnya pas daripada buatan Ibu. Seingatku hanya sekali Ibu menunjukkan kepadaku sebuah buku yang berisi resep rahasia telur asin Kustiyah. Ya, Kustiyah adalah nama ibuku.
Aku menarik napas panjang, membayangkan semuanya akan berakhir sebentar lagi. Bebek-bebek Angon milik Kakek telah habis terjual, menyisakan kandang-kandang kosong yang sudah tak terpakai. Semuanya berangsur-angsur pergi setelah kematian kakek dan nenekku. Kini yang ada hanya aku dan Ibu.
Ibu, sebagai mana anak pada umumnya, merasa sangat terpukul atas kepergian kakek dan nenek secara bersamaan. Orang-orang bilang, itu adalah cinta sejati. Sementara ibu gagal meneruskan tradisi cinta sejati itu. Karena Bapak dengan sangat percaya diri datang ke pemakaman dengan keluarga barunya. Tidak hanya itu, Bapak memberikan sebuah selebaran yang berisi Usaha Telur Asin Kusnandar.
Aku memang tidak terlalu mengerti saat itu, tetapi saat melihat ibu menangis dalam diam, aku berjanji tak akan mau berhubungan dengan laki-laki lagi.
Siang di Kuala Ampas sama seperti siang pada umumnya. Mentari berjaga penuh, sementara angin seolah tengah beristirahat. Aku memasukkan beberapa butir telur ke dalam dandang kemudian merebusnya. Setelah ini, telus asinku siap untuk dijual.
Namun, ada yang berbeda kini. Aku tak merasakan gairah seperti dulu lagi. Mungkin karena penghasilanku sekarang tidak menjanjikan atau karena Ibu hanya bisa terbaring lemah di kasur. Penyakit gula yang dideritanya membuat pahlawan hidupku itu tak berdaya.
Setelah semua telur Asin selesai ditata, aku bersandar di kursi kayu. Biasanya, ada Bu Jum yang membantuku menjalankan usaha. Namun, karena aku tak sanggup lagi membayar upahnya, maka dia berhenti. Aku dengar kabar perempuan beranak dua itu telah bekerja pada pengusaha telur asin lain.
“Sudahlah Kuswati, kau jual saja resep rahasia telur Asin ibumu itu. Aku akan membelinya berapa pun kau jual. Hitung-hitung bayar utangmu yang sudah menumpuk.”
Ucapan Bang Ramli terngiang-ngiang di telinga. Tawarannya menjadi bahan pertimbanganku beberapa hari ini. Aku benar-benar butuh dana segar untuk membayar semua cicilan serta pengobatan ibu. Lagi pula tanpa resep itu aku masih bisa melakukan usaha ini. Semua prosedur pengerjaan sudah di luar kepala.
“Kau jangan jual mahal. Tak ada orang yang akan membantumu seperti aku. Bahkan bapakmu saja tidak peduli.” Bang Ramli lagi-lagi berseru sambil melihat satu persatu perkakas di rumah.
Aku menarik napas panjang lalu membereskan peralatan. Hari ini semua harus diselesaikan.
**
Aku terkejut saat melihat beberapa lelaki berbadan tegap telah berdiri di muka rumah tepat ketika aku hendak keluar. Tak ada kesan ramah. Bahkan salah satu dari mereka membawa pentungan.
“Keluar kau Kuswati! Cukup sudah kesabaranku!”
Aku mengintip dari balik tirai, terlihat Bang Ramli tengah berkacak pinggang lalu menyuruh dua orang lelaki di belakangnya maju.
Ada apa ini?
Aku segera mengunci pintu kamar Ibu lalu bergegas kembali ke depan. Bagaimanapun Ibu tidak boleh melihat kejadian ini.
Aku bersandar ke dinding saat pintu rumah dibuka paksa. Detak jantungku kian tak beraturan terlebih saat Bang Ramli masuk dengan wajah garang.
“Berani-beraninya kau menipuku Kuswati! Kau pikir aku bodoh, ternyata kau telah menjual resep itu kepada bapakmu sendiri, hah!”
Tubuhku menggigil, keringat dingin keluar tanpa jeda. Bukan … aku tidak pernah menjualnya. Aku meronta dalam hati.
Itu terjadi begitu saja. Seseorang telah hadir dalam hariku. Maksudku laki-laki itu, yang aku yakin umurnya lebih muda dariku, telah memberi semangat hidup baru. Aku bertemu dengannya saat hendak mengambil obat ibu di apotek. Aku dan lelaki itu terlibat pembicaraan yang akrab. Dia seolah tahu apa yang kini aku rasakan. Sejak saat itu, aku dan dia seakan memiliki mata batin yang sama. Kami selalu berjumpa di apotek dengan alasan mengambil obat untuk keluarga yang sakit.
Tahukah kalian wajahnya tak pernah pergi dari kelopak mataku. Dan setiap aku mengingatnya, aku dibuat kikuk. Bukankah itu cinta pada pandangan pertama?
“Sekarang keluar kau dari rumah ini kalau mau semua utang-utangmu lunas!” Bang Ramli memukul dinding rumah dengan pentungan lalu menyeretku hingga ke teras.
“Ibu … ibu saya, Bang.” Aku memohon dalam derai air mata yang kian deras.
“Apa? Biarkan saja dia … sebentar lagi juga akan koit.” Bang Ramli tertawa lalu mendekat ke arahku yang terduduk lemas.
Seketika aku merasa tatapan mata Bang Ramli berubah liar. Senyumnya menjadi begitu buas, terlebih ketika dia menganggukkan kepala kepada kedua anak buahnya, seolah tengah memerintahkan sesuatu.
Tanpa komando kedua lelaki itu membopong tubuhku yang kurus masuk ke rumah. Kemudian, Bang Ramli mengunci pintu dari dalam.
Aku semakin ketakutan, semua pikiran buruk tengah berloncatan. Apa yang sebenarnya akan dilakukan lelaki tambun ini? Bang Ramli menyeringai lalu mengelus pipiku dengan pelan. Napasnya turun naik saat meraba-raba seluruh tubuhku.
“Jangan, Bang … akan saya berikan resep itu,” ucapku lalu memeluk kedua lutut.
“Ha-ha-ha … kau pikir aku bodoh? Bahkan tanpa resep itu aku bisa melakukan hal ini kepadamu. Tapi … bisa-bisanya kau mengatakan ini kepada anak si Nandar, hah!”
Aku berusaha berpikir siapa yang dimaksud dengan anak si Nandar. Nandar siapa, apakah bapakku?
“Cecunguk itu telah mengejekku. Katanya aku kalah dari perempuan lemah sepertimu.”
Bang Ramli kian murka, dengan sekali gerakan dia meletakkanku di atas sofa lalu membuka paksa kencing bajuku.
“Ampun Bang … ampuuun!” Aku meraung-raung, berusaha menendang tubuhnya yang tambun. Hal itu justru membuat lelaki itu kian beringas.
Namun sebuah teriakan dari arah luar membuat Bang Ramli menghentikan langkahnya. Lalu dengan cepat aku beringsut membenahi pakaian yang telah koyak.
Pintu rumah didobrak dengan keras. Aku terlompat ketakutan. Namun ketakutanku tak lama, sebab rasa terkejut karena melihat lelaki itu lebih menguasaiku kini. Dia datang, lelaki yang selama ini aku rindukan.
“Dasar lelaki tua bangka, beraninya dengan perempuan. Hadapi aku kalau kau memang jagoan!”
Bang Ramli mengumpat kemudian memasang kuda-kuda. Matanya menatap liar ke seluruh arah. Mungkin mencari anak buahnya yang pergi entah ke mana.
Mereka terlibat perkelahian tak seimbang. Bang Ramli terkapar hanya dengan beberapa kali pukulan. Ternyata laki-laki itu hanya besar omongan saja.
Saat aku menatap wajah oval yang kini dipenuhi peluh, seketika bayangan Bapak yang kerap memukul Ibu melintas di benakku. [*]
Dumai, 16 Maret 2022
Rosna Deli, seorang ibu yang menyenangi dunia aksara.
Editor : Rinanda Tesniana
Sumber Gambar : https://pin.it/5MXOT5D