Resep Awet Muda (Terbaik 5 Event LokerKata September)

Resep Awet Muda (Terbaik 5 Event LokerKata September)

Resep Awet Muda

Oleh: Rosna

Terbaik 5 Event Loker Kata Bulan September

Sumpah mati aku tidak mau hidup sampai umur setua ini. Tujuh puluh empat tahun. Sudah lebih sepuluh tahun dari usia Kanjeng Nabi. Bayangkan di umur yang sudah sangat sepuh ini, apa yang bisa kulakukan selain menunggu mati? Tidak ada. Aku bahkan hanya bisa duduk manis menunggu orang menyapa: Apa aku sudah makan? Apa aku sudah mandi? Apa ada yang aku butuhkan? Menyedihkan.

Beberapa orang bertanya padaku, apa resep umur panjangku? Mengapa aku masih sehat di umur yang sebegini lama, maksudku bukan sehat bugar ala anak muda. Namun tidak pula seperti orang kebanyakan di usiaku; tak bisa berjalan, sakit gula kronis atau pengapuran tulang sehingga tak bisa bergerak. Tidak, aku masih bisa berjalan atau ke kamar mandi sendiri. Hanya memang tidak kuat lagi jika terlalu lama. Dan belakangan aku disarankan untuk duduk di kursi roda agar lebih terjaga.

Ran, perawat muda yang mengurusku sejak dua tahun belakangan ini, bahkan minta diajarkan doa panjang umur dan resep awet muda, agar dia bisa menikah lalu punya anak dan cucu. Katanya pasti bahagia mempunyai anak yang lucu dan cucu yang menggemaskan.

Aku bilang padanya, coba dipikir ulang keinginannya itu. Karena tak selamanya punya anak dan cucu itu rezeki, bisa jadi musibah.

Dengan penuh perhatian dia duduk di dekat kakiku, menunggu penjelasan. Aku suka matanya saat memandangku, benar-benar melihat, tidak berpura-pura.

Tak sia-sia aku menyuruh menantuku mencari perawat yang memang benar-benar merawat, bukan hanya seorang penjaga walaupun dengan ancaman. Aku mengatakan tak akan mau pindah ke panti kalau tak disediakan perawat khusus. Khusus untukku saja tak boleh berbagi.

Aku tak terbiasa berbagi apa pun dengan siapa pun. Namun, sejak kematian suamiku lima tahun yang lalu semuanya sedikit demi sedikit berubah. Aku harus mau berbagi rumah dengan menantuku karena kata mereka aku tak boleh hidup sendiri.

“Nanti kalau Ibu kenapa-napa, bagaimana?”

“Kan, aku juga yang repot,” sanggah menantuku yang katanya cantik itu ketika aku tetap tak mau pindah ke rumah mereka.

Setahun aku di sana, sudah dua kali aku terkena serangan jantung. Pertama karena mendengar pertengkaran menantu dan anakku soal kepemilikan rumahku, kedua karena menantuku sudah keberatan mengurus segala kebutuhanku.

Dimas, anak lelaki yang dulu aku besarkan dengan penuh cinta, pun ternyata tak bisa mengatur istrinya. Dia malah mendukung keputusan menantuku untuk mengantarku ke panti. Katanya, Ibu lebih aman dan tenang di sana.

Aku menatap Dimas kala itu, lama, hingga anak lelakiku itu memalingkan wajahnya lalu menarik napasnya panjang.

Desau angin menyadarkan lamunanku. Aku tersentak lalu tersadar, ternyata Ran masih di dekatku sambil memijit-mijit kakiku. Aku menatapnya lekat. Andai dulu Dimas bertemu seorang perempuan seperti Ran, tentu akan kurestui dengan cepat. Walau dia hanya seorang perempuan yang kedua orangtuanya tak berjabatan. Namun, seperti waktu yang tak bisa diulang, seperti itulah masa lalu yang takkan mungkin terganti.

“Mbah, capek, ya? Mau saya antar kembali ke kamar?” tanya Ran, masih memijit-mijit kakiku.

Aku menggeleng, pikiranku rasanya sedikit tenang ketika Ran memijit-mijit kakiku. Bukan karena saraf kakiku bermasalah, bukan. Namun, sentuhan tulus itu mengobati pikiranku.

Saat aku melihat beberapa orang datang, aku kembali teringat akan Dimas.

“Tanggal berapa sekarang, Ran?” tanyaku kepada Ran.

“Tujuh belas, Mbah. Ada apa?”

Bukankah seharusnya Dimas sudah berkunjung bulan ini? Mengapa dia tak kunjung datang.

Awal mula aku ke sini, Dimas kerap datang setiap seminggu sekali. Kemudian berkurang sekali dua minggu. Lalu setelah jalan beberapa bulan, sekali sebulan. Dan rasanya setelah dua tahun berlalu, kedatangan Dimas bisa dihitung dengan jari.

Ran kini mengubah posisi duduknya lalu turut memandang orang-orang yang tengah datang itu. Dia kemudian memandangku lagi.

“Wah, Mbah sepertinya akan dapat teman baru. Pasti senang, ya, Mbah,” ujar Ran lalu berdiri di belakang kursi rodaku.

Aku hanya diam. Aku tak yakin akan senang dengan hal itu, bisa jadi tambah beban.

“Mbah, bisa saling cerita, saling menyapa. Nanti Ran antar, deh, ke kamarnya. Kemudian Mbah bisa ngobrol. Pasti seru.”

Ran terus bercerita tentang bagaimana dia dulu punya teman dekat yang bisa ngobrol apa saja dan kapan saja. Rasanya senang setelah ngobrol, kepala ringan dan hati lapang.

Aku menelan ludah, tahu apa anak muda itu tentang pentingnya mengobrol. Aku sudah khatam. Tapi, aku biarkan saja Ran berbicara terus. Entah mengapa, sekarang aku lebih senang mendengarkan.

***

“Apa anakmu jadi datang hari ini, Tum?” teman baruku yang baru datang itu bertanya.

Aku menarik napas panjang lalu memandang langit sore yang hendak pamit.

Aku sekarang punya teman ngobrol yang dekat, Nur. Perempuan sepuh yang datang tempo hari itu. Ternyata Nur tidak seburuk dugaanku. Dia bahkan tak pernah bertanya masa laluku; tak pernah ingin tahu mengapa aku berada di sini. Kekurangannya, dia hanya senang bercerita, cerita dan terus cerita. Tapi tak mengapa, itu justru menguntungkanku. Aku tak perlu banyak cerita.

Seperti sore itu, Nur berkisah bahwa dialah yang meminta untuk dipindahkan ke sini. Lalu tiba-tiba ia bertanya, apa jadi anakku datang hari ini.

Aku menggeleng setelah Nur tak memalingkan wajahnya dari melihatku.

“Syukurlah,” jawaban Nur membuat aku terkejut.

“Ya, kalau anakmu datang pasti kau hanya akan lebih merasa bosan, kan? Mereka hanya datang untuk melihatmu sekejap lalu minta difotokan kemudian disebar ke mana-mana. Tak lama malah justru sibuk dengan ponselnya. Menelpon si A, Menelpon si B, jawab pesan atau … apa itu namanya ….”

Aku memajukan bibir lalu menunggu dia mengingat apa yang ingin diucapkannya.

“Ah, aku lupa, istilahnya … scrol—”

Aku hanya tersenyum, karena juga tak tahu apa yang ingin dikatakannya. Aku juga tak berusaha untuk membantu ingatannya. Bagiku lebih menyenangkan melihat daun ketapang yang berguguran lalu hinggap di sembarang tempat.

“Kau tahu, Tum. Kalau aku tidak minta diantar ke sini, aku juga mungkin akan lebih sakit lagi di rumah anakku. Setiap hari mereka pergi pagi pulang malam, aku hanya sendiri, Tum. Kalau di sini, kan, enak. Banyak teman, ada kamu, ada yang lain juga. Iya, enggak, Tum?”

“Ya, memang tak semuanya enak. Tapi, kan, kita sudah tua, Tum. Sudah khatam bagaimana hidup. Iya, enggak, Tum?”

“Mana ada hidup di atas terus … ya, mungkin sekarang memang waktunya kita santai. Iya, enggak, Tum?”

Aku menyandarkan penuh punggung ke kursi lalu menatap langit biru yang telah berubah warna. Perkataan Nur kulewatkan saja. Nur memang suka bercerita dan aku suka mendengarkan, aku rasa kami memang cocok sebagai teman.

“Kau sebenarnya masih lebih enak, Tum. Diberikan perawat sendiri. Kalau aku, ya, enggak. Iya, kan, Tum?”

“Tapi, enggak, apa-apa juga. Malah lebih enak, aku bisa ngikut kamu. Hehe.”

Nur terus bercakap apa saja tentang anak-anaknya yang banyak tapi tak ada satu pun yang rela menjaganya, tentang uang pensiun suaminya yang tak utuh diterimanya juga tentang kesepian-kesepian yang dirasakannya sendiri.

“Akhirnya aku lebih memilih di sini, Tum. Lama-lama capek juga mengharapkan anak-anak. Iya, enggak, Tum?”

Aku menoleh ke arahnya, sedikit setuju dengan pernyataannya.

“Kau tahu aku pernah dengar ilmu apa itu, parenting. Ah, zaman kita dulu mana ada paren-parenting, iya, enggak, Tum?”

“Katanya memang anak bukanlah milik kita … jadi ya, gitu, anak-anak sekarang merasa kita juga bukan milik mereka. Ditelantarkan saja.” Nur menyandarkan punggung ke kursi lalu menarik napasnya dalam.

Aku menganggukkan kepala. Nur terdiam lama. Aku juga tak mengajaknya bicara, biarlah angin sore menenangkan pikiran kami.

“Tapi, Tum,” Nur berkata kembali setelah jeda agak lama kemudian dia memperbaiki posisi duduknya, “Setelah aku pikir-pikir. Memang resepnya agar kita hidup tenang, ya begitu, menerima saja. Ya, menerima saja. Tak usah banyak tanya. Mengapa anak kita begitu, mengapa cucu kita begini, mengapa hidup kita menyedihkan. Iya, enggak, Tum?”

Aku menoleh kembali ke arahnya lalu tersentak dengan pernyataannya itu. Benar juga, apa susahnya menerima. Hanya menerima tanpa ada tanya.

Saat aku hendak mengiyakan, tiba-tiba Ran sudah ada di belakang kami dan menyapa dengan hangat.

“Wah, ternyata itu resep awet mudanya, ya, Mbah. Ah, pantesan Mbah-Mbah tetap sehat dan selalu ceria. Ajarkan lagi dong, Mbah. Apa tadi, menerima saja … iya, gitu, kan?”

Ran mengecup pipi kami satu per satu lalu mengajak kami untuk kembali masuk.

Aku sempat melirik Nur yang agak kebingungan tetapi setelah melihat aku tersenyum dia ikut melebarkan bibir juga.

Angin sore mengerem lajunya, daun ketapang yang kering pun tak jadi berguguran. Aku menoleh ke belakang lalu tersenyum kepada daun-daun yang masih tetap di batang pohon walau ia sudah kering.

Dumai, 25 September 2023

Rosna, perempuan penyuka keramaian.

Event cerpen Loker Kata diselenggarakan di grup facebook Komunitas Cerpenis Loker Kata.

Grup FB KCLK

Leave a Reply