Mengenalkan Manusia-Manusia yang Entah Pergi dan Mati di Mana

Mengenalkan Manusia-Manusia yang Entah Pergi dan Mati di Mana

Sebuah Resensi Kumcer Tentang Orang-orang yang Pergi dan Mati di Tempat Entah (Basa Basi, 2017)

Saat pertama kali mendengar kabar bahwa buku kumpulan cerpen perdananya Berry Budiman akan diterbitkan oleh penerbit Basa Basi, saya lantas ingin mengucapkan selamat padanya. Bahwa seperti yang ia tuliskan di bagian awal buku kumpulan cerpennya itu, menerbitkan buku adalah salah satu usaha menawan untuk mengikat passionnya, membuat semacam perjanjian dan peringatan kepada dirinya bahwa ia telah sampai pada suatu titik, yang saya kira terlalu mengenaskan bila disebut sebagai titik akhir dan terlalu berlebihan jika disebut sebagai titik awal.

Saya mengenal beliau jauh sebelum hari diterbitkannya buku bersampul merahnya itu—yang bertajuk Tentang Orang-orang yang Pergi dan Mati di Tempat Entah. Sebelum ditentukannya judul yang bersangkutan, saya berharap judul buku kumpulan cerpen solonya kelak tidak akan bernada murung—setidaknya itulah kesan yang saya dapatkan dari membacanya pertama kali. Terlepas dari itu semua, dengan menyingkirkan segala ekspektasi saya, ia memberikan dirinya di setiap cerita yang ia tuliskan.

Suatu kali ia pernah berkata bahwa semua tulisan yang hadir di buku ini adalah semacam album, kumpulan kenangan—bahasa anak-anak jaman sekarang barangkali “gue banget. Yah, kira-kira begitu. Saya tidak bisa tidak sepakat. Ketika membacanya saya merasa akrab dengan beberapa bagian misalnya saja tentang perempuan yang berkaos hitam dan memakai rok lipit berwarna hijau yang muncul dalam salah satu cerpennya.

Di antara sekian cerpen yang dikumpulkannya dalam buku kumcer ini, cerpen yang berjudul “Sepasang Kekasih yang Melewati Malam Panjang dan Pergi ke Tempat Entah” cukup memikat perhatian saya. Hal yang menarik perhatian saya adalah bahwa setiap tokoh diberi nama sesuai dengan karakternya/profesinya yakni Pengkhianat, Pemahat, Pembunuh, Penulis, dan Penipu. Cerita dibuka dengan kisah cinta segi empat antara Pengkhianat, Pemahat, Penipu dan Pembunuh dengan setting acara pernikahan Pemahat dan Penipu. Baik Pengkhianat dan Pembunuh sama-sama memendam perasaan tidak nyaman namun dengan nuansa yang berbeda terhadap pernikahan kedua tokoh tersebut. Juga tentang latar belakang Pembunuh yang ternyata memiliki tugas untuk membunuh Pengkhianat pada hari itu. Hal ini diceritakan dengan apik oleh Berry.

Kemunculan tokoh Penulis yang merupakan dalang dari tugas Pembunuh tersebut menjadi pesona dari cerpen ini. Saya mengingat sebuah drama berjudul W yang berkisah tentang penulis manga dan tokoh manga yang dibuatnya sendiri. Seorang penulis tentu saja adalah seseorang yang menciptakan tokoh manganya tersebut namun ketika tokoh manganya ternyata “hidup” dan tidak bisa dikontrol oleh penulis, maka akan terjadi konflik, baik dari ego penulis yang merasa bahwa tokoh itu adalah miliknya dan tokoh manga yang merasa berhak memilih takdirnya sendiri—bukan takdir yang dipilihkan oleh penulis.

Saya merasa ketika akhirnya Pembunuh menunda tugasnya dan memilih berjalan lebih lama bersama Pengkhianat, ia sedang memilih takdirnya sendiri yang melenceng dari apa-apa yang sudah digariskan untuknya—dari perintah Penulis.

Dari semua cerita dalam kumcernya, saya berangsur-angsur paham mengapa ia memilih judul yang muram tersebut. Ia memilih menyajikan sisi-sisi hidup yang muram dari setiap tokohnya. Begitu dekat dengan keseharian, setiap orang yang membacanya mungkin akan sepakat bahwa kisah si tokoh ini akrab dengan dirinya. Meskipun tidak semua orang akan merasa nyaman dengan dan untuk mengakuinya. Barangkali kebanyakan orang akan memilih cerita-cerita yang berakhir bahagia dan terkesan positif, penuh binar lampu meskipun terkesan dibuat-buat, atau malah palsu. Menepis semua itu, penulis tetap memilih jalan yang remang-remang ini.

Cerita-cerita di dalam kumcer ini mengajak pembaca mengenal tentang getirnya penantian dalam cerpen “Di bawah Pohon yang Dahannya Membentuk Kanopi, Seorang Lelaki Datang dan Melamarnya”; masamnya kegelisahan dalam cerpen “Apa yang Tampak di Cermin”, “300”, “Cara Aman untuk Berpisah”, dan “Malam yang Dingin”; pedihnya mengenang dalam cerpen “Sebelum Tidur”; pedasnya kehidupan, kemarahan dan balas dendam dalam “Bulu-bulu kucing”,  “Kiriman Dari Ibu”, “Pencuri-pencuri”, “Rumah yang Seperti Melesak Ditelan Bumi”, dan “Berita Duka”; aroma kesepian yang kental dalam “Perihal Sekuntum Mawar Oranye”, pahitnya ketidaktahuan dalam cerpen “Kehidupan yang Singkat dan Ingatan yang lapuk”; birunya rindu dalam cerpen “Ketika Bulan Bercahaya”, dan kisah cinta yang ganjil pada cerpen “Pria Bermasalah Selanjutnya” dan “Pikiran Tanu”.

Secara keseluruhan ia mengenalkan “manusia” kepada pembaca. Tidak untuk mengajarkan apa pun melalui quotes-quotes, tetapi memberi kesempatan kepada pembaca sendiri untuk menilai dan mendulang sendiri apa-apa saja yang hendak ia dapatkan, dan jika beruntung, menemukan apa-apa yang dapat ia pelajari untuk dirinya sendiri.(*)

Grup FB KCLK
Halaman FB kami:
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan

Leave a Reply