Resah
Oleh: Ayu Candra Giniarti
RESAH – PAYUNG TEDUH
Aku ingin berjalan bersamamu
Dalam hujan dan malam gelap
Tapi aku tak bisa melihat matamu
Aku ingin berdua denganmu
Di antara daun gugur
Aku ingin berdua denganmu
Tapi aku hanya melihat keresahanmu
Aku menunggu dengan sabar
Di atas sini, melayang-layang
Tergoyang angin, menantikan tubuh itu
Aku ingin berdua denganmu
Di antara daun gugur
Aku ingin berdua denganmu
Tapi aku hanya melihat keresahanmu
Ingin berdua denganmu
Di antara daun gugur
Aku ingin berdua denganmu
Tapi aku hanya melihat keresahanmu
***
“Cha, nanti aku nyusul, ya.”
Rahel bergegas pergi dari rumah Icha, sahabatnya.
“Eh, Ra. Mau kemana?”
Rahel melambaikan tangan kanannya, berlalu dari hadapan Icha.
Akhir-akhir ini, Rahel sering bertingkah aneh. Sebentar datang, sebentar pergi. Bagi Icha, apa pun yang sedang dialami Rahel lambat laun pasti ia tahu. Karena Rahel selalu memberi tahu Icha apa pun masalah yang sedang dialaminya. Icha tahu betul, Rahel tidak akan bercerita jika waktunya belum tepat. Memang begitu, Rahel tipe orang yang tidak ingin melibatkan sahabatnya dalam duka. Ia memilih menyelesaikan dulu masalahnya, baru bercerita pada Icha. Tapi tak jarang, jika masalahnya begitu pelik, Icha selalu jadi orang pertama yang mengetahuinya. Rahel rela berjam-jam menelepon atau datang ke rumah Icha untuk meminta pendapatnya.
“Entahlah, ada masalah apa lagi anak itu! Nanti juga cerita sendiri,” gumam Icha sambil mengangkat kedua bahunya.
Ponsel Icha berdering, nama Bara terlihat di layar ponselnya. Lovely Bara, begitu nama yang tersimpan dalam ponselnya. Rona merah menghiasi wajah Icha, sesekali bibirnya tersenyum manis sebelum mengangkat ponsel dengan balutan casing warna merah muda itu.
Halo ….
Halo, Cha, lagi apa?
Hum … lagi angkat telepon kamu.
Hm, nanti malam jadi kan kita ketemu?
Jadi dong. Kamu mau ngomong apa, sih? Kayaknya serius banget.
Ya, nanti malam aja, ya. Ada yang mau aku omongin serius sama kamu.
Tak lama, percakapan itu begitu singkat. Tak seperti biasanya, kali ini Bara menelepon hanya sebentar.
“Ih, sebentar banget teleponnya! Kesel, deh! Kan masih kangen,” gerutu Icha, bibirnya mengerucut khas ketika ia kesal.
Blip!
Pesan masuk dari Rahel.
Cha, maaf, ya. Aku nggak jadi nemenin kamu beli jam tangan buat Bara.
“Huh ….” Icha mendengus kesal.
Ia membalas pesan Rahel, lalu menyibukkan diri memilih pakaian yang pas untuk makan malam dengan Bara, kekasihnya. Icha berdiri di depan cermin, melenggak-lenggok mencoba satu per satu gaun sederhana yang ia punya.
Terpilih gaun berwarna putih sepanjang lututnya, dengan hiasan bordir warna merah muda memutar di bagian bawah. Sederhana tapi manis.
Mentari mulai pergi, meninggalkan semburat warna jingga di ujung barat. Lalu gelap datang, bulan bersinar tanpa ditemani bintang-bintang. Icha bersiap, memakai gaun yang dipilihnya.
Bara datang menjemput, mobil hitam melaju perlahan. Sesekali Bara terlihat mengusap dahinya. Entah mengapa, Bara terlihat seperti sedang menutupi sesuatu.
“Kamu kenapa, Sayang?”
“Hm … nggak kenapa-kenapa, kok,” jawab Bara, senyumnya terlihat sangat dipaksakan.
Icha diam, ia merasa ada sesuatu yang tak biasa.
“Hm … Cha. Kamu kelihatan cantik pakai gaun itu.”
Icha tersenyum, matanya memandang Bara. Entah kenapa, Bara memalingkan wajahnya. Ia seperti gugup, Icha tak mampu menebak apa yang sedang ada dalam pikiran Bara.
“Sampai!”
Bara membukakan pintu mobil, mempersilakan Icha turun. Icha memperhatikan tingkah Bara. Lagi-lagi Bara menggembungkan pipinya, menarik napas dan mengembuskannya sedikit kasar, kedua tangannya bersatu, mengusap satu sama lain, digerakkannya begitu berulang-ulang.
“Apa Bara akan melamarku, hingga ia terlihat begitu gugup?” tanya Icha dalam batinnya.
Sesekali Icha tersenyum melihat tingkah Bara. Bayangan cincin bermata indah di kotak merah selalu muncul dalam benaknya. Hubungannya dengan Bara memang sudah cukup lama, dua tahun. Ayah dan ibu Icha juga sudah mengenal baik sosok Bara.
Tiba di sebuah meja yang sudah dipesan oleh Bara. Tidak banyak hiasan atau lilin layaknya makan malam romantis yang biasanya dipesan untuk sang kekasih.
“Rahel? Kamu di sini?”
Rahel menundukkan kepalanya, berusaha mengatur napas. Ia mulai mendongak, tatapannya beralih pada Bara. Icha yang melihat pemandangan di depan matanya, mulai bertanya-tanya.
“Ada apa? Kalian …,” Icha tak mampu mengatakan apa yang ada dalam pikirannya.
“Maaf, Cha. Aku ….” Rahel menggenggam tangan Icha.
“Bara! Kamu ngomong! Ada apa ini?!” tegas Icha.
Bara menggelengkan kepalanya, menghela napas berat.
“Cha, aku minta maaf. Aku nggak tahu harus mulai dari mana. Tapi aku dan Bara nggak bisa terus menyembunyikan rasa cinta itu. Aku nggak tahu kenapa harus Bara. Aku cuma nyaman sama dia, Cha. Maaf ….” Rahel semakin erat menggenggam tangan Icha.
Icha melepaskan genggaman tangan Rahel, sahabatnya. Ia menatap Bara.
“Kamu! Nggak akan terjadi seperti ini kalau kamu nggak nanggepin. Kamu, Bara! Kamu merusak semuanya!”
“Salah aku, Cha! Aku yang salah, Cha. Aku selalu curhat sama Bara saat ada masalah. Aku yang merasa lebih nyaman kalau curhat sama dia. Aku salah karena aku ternyata merasa dia juga lebih nyaman sama aku ketimbang sama kamu.”
“Apa?! Kalian ….”
Icha tak mampu lagi menahan tangisnya. Icha pergi, meninggalkan Bara dan Rahel. Ia berlari, meninggalkan perdebatan kecil antara Rahel dan Bara yang tak mampu lagi ia dengar.
Bara berlari, menyusul Icha. Sorot lampu mobil datang dari arah kiri, Bara berlari sekuat tenaga dan mendorong Icha.
“Baraaa!”
Tangis Icha pecah, Rahel berlari menuju kerumunan.
Satu kata yang Icha dengar dari mulut Bara, “Maaf.”
Bara mengalami koma. Icha dan Rahel, bertemu di kursi tunggu. Berdua, berharap menemani di ruang yang sama untuk orang yang sama.
Icha masih saja meneteskan bulir bening dari mata indahnya. Ia berdiri, bermaksud meninggalkan Rahel.
“Cha. Jangan pergi. Kamu lebih pantas di sini. Aku saja yang pergi.”
Icha masih terisak. Dadanya masih terasa sakit. Ia ingin marah, tapi rasa kecewanya jauh lebih dalam.
“Cha. Sebulan yang lalu, Bara beli cincin untuk kamu. Aku marah, Cha. Aku yang memaksanya mempertahankan aku. Dia memilih kamu, Cha. Aku yang memaksanya memilihku. Aku sadar aku egois. Tapi aku ingin sama seperti kamu. Punya keluarga yang utuh, bahagia, kekasih yang pengertian seperti Bara. Maaf, Cha.”
Rahel memberikan sebuah kotak merah pada Icha. Ia melangkah pergi, meninggalkan duka yang menyelimuti Icha, sahabatnya.
Resah, hanya kata itu yang mampu menggambarkan hati Icha. Menanti jawaban Tuhan akan takdir cintanya. Sementara Bara masih berjuang dengan pilihan yang tak mampu berpihak keduanya. (*)
Ayu Candra Giniarti, pecinta udara pagi. Mengawali hari dengan secangkir teh hangat dan sinar mentari.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata