Requiem (Pemakaman di Dada Parwaiz)
Oleh: Kepik Merah
Terbaik Ke-9 TL-19
Bunyi peluit bersiul ngeri dari kejauhan. Seketika jendela-jendela pecah dan menyiramnya seperti hujan, hujan pecahan kaca. Lelaki itu berlari dengan kaki penuh luka berdarah, kerikil-kerikil terasa tajam di telapaknya. Dia melangkah menghindari patahan-patahan tembok yang runtuh, lalu masuk ke dalam rumahnya yang gelap dan berdebu. Dua tubuh yang terbaring di ruang tamu dikenalinya sebagai ibu dan saudara perempuannya.
Napasnya memburu, suaranya parau di antara erangan orang-orang. Rumah-rumah yang dilaluinya retak, roboh dan hancur lebur, puluhan mayat bergelimpangan tumpang tindih dengan puing-puing bangunan. Pikirannya tertumbuk pada bunga-bunga aster yang ditanam ibunya, juga pohon jeruk, dan perdu poplar. Nahas, dia tak menemukan lagi kenangan itu.
Pada salah satu titik, dia melihat kepulan asap yang menghitam, membakar lebih banyak rumah dan kandang-kandang hewan ternak, pot-pot kembang, juga gerobak-gerobak berisi roti dagangan. Kemudian dia mendengar suara menderu-deru di atas kepalanya, ketika menoleh dia melihat helikopter yang berputar-putar di sana. Namun, helikopter itu terbang menjauh. Dia melihat bangunan di belakangnya, rumahnya, orang tuanya, adik perempuannya, mereka tertimbun puing-puing. Dia menoleh ke depan, pagarnya hancur dan temboknya luluh bagai mentega, lalu dia berbalik masuk ke dalam reruntuhan.
Matanya menatap kosong pada mozaik hitam penuh darah bagai minyak yang dituang dan dioleskan ke atas kanvas, membakar rambut hingga telapak kaki, merusak wajah, punggung dan merobek-robek mereka, tetapi pemuda itu tiarap, berlindung di balik puing. Dia melemah, lututnya bergetar, dia melangkah lebih jauh ke dalam ruangan lain di mana dia menemukan ayahnya terkulai di antara patahan kaki kursi dan meja, serta lemari dan perabot makan. Dia membungkuk dan mengambil satu kursi yang menindih punggung sang ayah dan melemparkannya, kemudian sekuat tenaga menarik tubuh itu ke pangkuannya.
Dia teringat, laki-laki tua itu sedang membaca koran dan minum kopi ketika rudal mendesing dan menimpa atap bangunan. Tak ada yang tersisa dari rumahnya, kenangan keluarganya. Ratusan manusia bergelimpangan di kota itu seperti debu, tak berdaya, tak bernyawa. Dia menyadari akan tiba di batas akhir kesabarannya. Dia menangis dengan alasan bahwa Tuhan mengizinkan dan demikianlah khasiat air mata diciptakan. Dia pun berteriak sekencang-kencangnya.
***
Kota Kabul meledak sejak pendudukan Soviet pada 1978, Parwaiz sudah dua puluh tujuh ketika itu. Menurut mendiang ayah dan ibunya, pertahanan diri terbaik adalah dengan bersembunyi. Semua orang melakukan hal itu. Berlindung di dalam kolba, kemudian mati pelan-pelan karena kehabisan persediaan makanan.
Parwaiz bukannya tidak peduli atau tak ingin mengambil risiko dengan ikut melarikan diri ke negara tetangga. Dia mendengar rumornya dari seorang pedagang terigu di perbatasan, bahwa Mujahidin akan mengambil alih pemerintahan. Nah, itu berarti berita baik dan berita buruk dibungkus menjadi satu.
Sekali waktu Parwaiz bercengkrama dengan pedagang terigu itu—yang lengan kirinya telah diamputasi—mengenai bisnis yang mereka jalankan belakangan. Hanya sebentar berselang ledakan rudal menimpa bangunan di sana. Parwaiz terlontar dari tempat duduknya begitu jauh hingga menumbuk tanah. Detik pertamanya yang terlihat hanya pemandangan berkabut debu abu tebal berbau hangus, bau daging terbakar. Pedagang terigu tanpa lengan itu sudah ditandu. Baru kemudian Parwaiz merasakan bahwa dengungan telinganya tidak lagi utuh. Dalam dada dia menelan kenyataan, itu bukan rudal pertamanya. Juga bukan pertama kalinya dia kehilangan kerabat.
***
Parwaiz menyibak tirai tipis yang menyekat bangsal pembaringannya dengan pasien lain. Saat itulah pertemuan pertama Parwaiz dan Afsoon terjadi. Afsoon sedang mencatat perkembangan seorang ibu tua yang kepalanya diperban dan sekujur tubuhnya lebam. Parwaiz tidak peduli sikapnya mengganggu dengan suara kruk yang mengetuk-ngetuk lantai ubin. Raut muka ibu tua itu tampak resah, lalu menggelengkan kepala kepada Afsoon– si perawat baru di tenda pengungsian.
“Tuan, Anda harus menunggu saya sebentar.” Afsoon bergegas pada lembar catatan pasien bernama Parwaiz.
“Dia tidak akan mendengarkanmu, Afsoon. Sudahlah, berikan saja obat penenangnya,” sela Hajira yang lalu dipotong Afsoon dengan lenguhan.
Afsoon lantas mengikuti kemana Parwaiz ingin pergi menggunakan kruk payah itu. Dia tidak akan terlalu direpotkan oleh Parwaiz. Biasanya pemuda itu hanya diam, atau tertegun pada datarnya ruang semesta Kabul yang begitu bisu. Sebelumnya Afsoon telah mendengar dari dokter yang memeriksa Parwaiz di hari ketika rudal itu jatuh. Kemungkinan besar Parwaiz akan kehilangan pendengarannya. Tidak tahu sampai kapan.
***
Sebenarnya, mereka pun tidak pernah membayangkan akan jatuh cinta di negeri yang tengah dilanda konflik. Di negeri yang siang dan malamnya belum berdamai. Di tanah air yang kembang apinya tidak lagi indah di malam tahun baru, sebab mereka sudah terbiasa melihat rudal-rudal berjatuhan bagai meteor. Namun cinta itulah yang menemukan mereka. Siap atau tidak, mereka telah mengikrarkan janji suci di hadapan seorang Mullah.
Mereka akan terus belajar mencintai satu sama lain. Meski terkadang mereka harus melarikan diri dari kejaran petugas imigrasi karena berpindah-pindah dan tidak menetap di satu kota. Kehidupan yang keras, sangat keras, mengajarkan padanya tentang cinta yang begitu keras dipertahankan. Seperti para tentara bertopi berkalung sorban menggenggam senapan, tak akan lepas.
Afsoon sendiri sejak awal tidak meminta banyak syarat. Parwaiz yang memberinya setumpuk pengetahuan tentang agama. Agama akhirat. Ya, Afsoon tergila-gila pada akhirat yang dikisahkan Parwaiz. Bahwa jembatan yang memisahkan mereka dari negeri akhirat itu hanyalah kematian. Sedekat itu.
“Jika aku mati, apakah kau akan menangis?” tanya Afsoon seraya meletakkan cangkir tehnya yang terbuat dari tembikar Yunani.
Parwaiz diam sejenak. Dia meraih cangkir teh, menghidu aroma chamomile yang menenangkan. Bias cahaya matahari terbenam terpantul di matanya yang berbentuk seperti biji almon.
“Bagaimana jika aku yang mati lebih dulu?”
Afsoon menggeleng. Parwaiz tidak terkejut dengan jawaban singkat itu, tapi juga gelisah dibuatnya. Apakah Afsoon tidak mencintainya? Bagaimana jika Afsoon menikahi lelaki tempramen sepeninggalnya? Bahwa kenyataan mereka belum memiliki keturunan, tidak menghalangi Afsoon yang masih muda untuk menikah lagi bila Parwaiz tiada.
Hanya saja, Afsoon tahu Parwaiz pria sentimentil, bahkan terlalu halus. Setiap hari, Parwaiz menulis di selembar kertas buram. Tentang apa saja yang disaksikannya, yang didengarnya samar-samar meski itu hanya kicauan burung, yang diperbincangkan orang-orang di surat kabar, juga apa saja yang direncanakannya untuk kemudian hari. Tentang impian Parwaiz pergi ke China, jalan-jalan di sepanjang tembok raksasa, juga mencicipi makanan khas di sana.
Kala petang tiba, Parwaiz bergelayut di perut Afsoon. Afsoon membaca dengan teliti tulisan Parwaiz yang seperti kecambah alfalfa, kecil dan keriting. Kadang dia akan meminta Parwaiz mengejakan ulang tulisan yang sulit dibaca. Lalu Afsoon dengan malu-malu membisikinya. Tentu saja Parwaiz tidak akan dapat mendengar dengan jelas. Parwaiz akan bersungut-sungut merajuk seperti orang sinting setelahnya. Mudah saja meredakan Parwaiz. Afsoon cukup mengecup kening Parwaiz, begitu saja.
***
Ranting-ranting pohon dari balik jendela berembun tampak kabur di pandangan mata Parwaiz. Uap yang keluar dari mulutnya menerpa kaca berbingkai kayu besi, meninggalkan jejak ruam lembab nan hangat. Padahal, di luar sana hujan sedang lebat-lebatnya. Air bah membanjiri halaman sampai rumput-rumputnya rebah, menggenang ciptakan rendaman licak. Pot-pot kembang sudah basah kuyup. Bunga-bunga aster berkelopak ungu yang ditanam Afsoon kemarin lusa masih duduk tegak kini tampak lusuh dan menggigil. Parwaiz juga menggigil.
Di meja yang berhadapan jendela dengan tirai gorden tersibak, sebuah ponsel yang kehabisan daya menanti panggilan masuk. Parwaiz baru saja membuat teh chamomile seperti yang diajarkan Afsoon. Aromanya menenangkan. Terekam pula kehangatan yang mengalir dalam riak tawa manja.
Tak jauh dari tempat Parwaiz berdiri, ada rak buku menempel pada dinding di seberang meja. Buku-buku menyimpan aroma mistis reaksi kimia dalam serat-serat kayu agatis. Terselip di sana satu bundel catatan harian, berisi perjalanan silam yang sering mereka sebut-sebut sebagai kenangan. Entahlah. Siapa yang akan mengingat wajah orang yang ditemui lima puluh tahun lalu? Tak ada yang terlalu pantas dikenang pada masa itu. Perang. Perebutan kekuasaan. Gencatan senjata. Orde baru. Dimana luka kehilangan paling lubuk sulit disembuhkan. Katanya, hanya waktu yang mampu. Kata siapa?
“Jika aku mati, apakah kau akan menangis?” tanya Parwaiz.
Afsoon menggeleng.
“Ketika kau telah terbiasa melihat orang-orang pergi ke akhirat tanpa seizinmu, air matamu akan kering suatu hari nanti.”
Parwaiz memukul dadanya kuat-kuat.(*)
Penajam, 20 Maret 2020
Kepik mungil dengan jubah merah bertotol hitam. Hobi jajan keliling, cita-cita langsing. Penulis novel Surat dari Mesopotamia.
Komentar juri, Syifa :
Kisah cinta di masa perang selalu mampu menyentuh pembaca, dan ini adalah kisah cinta yang manis. Rasanya tidak berlebihan saya mengatakan demikian melihat romantisme yang terjadi antara Afsoon dan Parwaiz yang lembut dan tidak diumbar secara berlebihan, apalagi memang terjadi dalam suasana perang.
Cara bercerita Mbak Kepik Merah cukup baik, detail yang mengagumkan dengan showing yang cukup pula, sayamenikmati cerita hingga akhir, dan tentu saja saya terkesan.
Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup FB Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata