Repetition
Oleh: Imas Hanifah N
Senin pagi, jalanan tidak terlalu ramai. Mungkin karena pandemi, orang-orang masih terlalu takut beraktivitas di luar. Angkot sepi. Hanya ada aku dan seorang ibu-ibu beralis tebal. Aku pikir, ia tidak perlu pakai pensil alis lagi. Alisnya bagus.
Aku menatap layar ponsel. Beberapa notifikasi. Aku tidak membukanya.
Melirik lagi ponsel. Tak ada yang bisa dilakukan. Aku melihat ke luar jendela. Angin yang masuk dari celah tipis jendela cukup sejuk menerpa pipi. Aku pernah berpikir keras tentang terbuat dari apa angin itu. Ya, itu dulu, saat SMA, saat semua pertanyaan absurd semacam ini sering tercetus di kepalaku. Dan sungguh, aku lebih suka untuk tidak menemukan jawabannya. Karena seringkali, alasanku bertahan saat SMA adalah karena aku punya banyak pertanyaan. Ini sulit dijelaskan, tapi tak apa. Ini bukan untuk dimengerti oleh siapa pun.
Pertanyaan-pertanyaan untuk tetap bertahan menghadapi kenyataan.
Selasa pagi, jalanan masih tidak terlalu ramai. Mungkin karena masih pagi, atau masih pandemi. Bisa saja siang harinya ramai. Aku tidak tahu.
Ada empat orang di dalam angkot. Salah satunya aku. Seorang pemuda dengan tas besar. Biar kutebak, sepertinya dia akan pergi ke kota. Kemudian ibu-ibu yang memakai kerudung panjang. Ia memegang dompetnya erat-erat.
Satu lagi adalah seorang bapak-bapak yang juga membawa tas besar. Aku tahu, ia tukang kredit. Di sini kami menyebutnya demikian. Tukang kredit baju. Sering menjual baju-baju untuk dibayar dengan sistem kredit. Bisa perhari atau perminggu. Aku tahu tentang itu karena sering satu angkot dengannya. Dan tentu saja, obrolan demi obrolan tukang kredit dan supir selalu jadi sesuatu yang menarik disimak.
Rabu pagi, jalanan tidak ramai. Pandanganku melirik sekilas tukang gorengan di pinggir jalan. Ia tengah duduk di kursi dan matanya fokus ke layar ponsel. Mungkin main game. Angkot berhenti. Seseorang naik. Aku tidak sendirian lagi.
Seorang ibu yang dari pakaiannya dapat dipastikan ia adalah seorang guru. Wajahnya cemas. Masker yang dikenakannya berwarna ungu. Berkali-kali ia melihat jam di pergelangan tangan. Mungkin, takut terlambat. Sebagian guru mulai kembali ke sekolah, bukan?
Aku pernah ingin jadi guru. Dulu sekali. Sekarang, tidak lagi.
Kamis pagi, gerimis. Mama menyuruhku membawa payung. Meskipun payungnya sudah rusak, aku tetap memakainya.
Di jalanan menuju tempat biasa aku menunggu angkot, kumainkan langkah kaki dengan percik hujan. Sungguh betapa menyenangkannya hal itu. Aku ingin hujan-hujanan.
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya angkot datang. Sangat telat dan membuatku sangat terlambat. Di dalam angkot, banyak ibu-ibu. Salah satunya mengeluhkan tentang hujan kepada ibu lainnya.
“Kalau gak butuh, mah. Gak bakalan pergi. Hujan gini tuh mending tidur, narik selimut lagi,” katanya sambil tersenyum.
Aku mendengarkan sambil melihat layar ponsel. Ada beberapa notifikasi. Dan aku malas membukanya.
Jumat pagi, kakiku kesemutan. Aku melangkah dengan hati-hati, sambil melihat sekitar. Takut-takut kalau ada yang memerhatikan. Entah kenapa, tapi pagi itu angkotnya lama sekali datang. Aku sampai kepanasan. Matahari semakin naik, padahal masih pukul tujuh lebih sedikit.
Aku menatap layar ponsel. Seseorang mengirimkan pesan.
[Bagus. Lagunya bagus.]
Aku terdiam dan berpikir sebentar. Lagu? Ah, iya. Aku ingat aku mengirimkan lagu untuk seseorang kemarin. Ini sudah jadi kebiasaan. Ketika aku menyukai satu lagu, aku akan mengirimkannya ke beberapa orang dan menyuruh mereka mendengarkan.
Setelah membacanya, aku menghapus semua pesan darinya. Clear chat. Aku tidak bisa melihat chatnya di urutan teratas. Tidak mau.
Angkot datang. Aku akan segera melupakan lagunya.
Sabtu pagi, aku kesiangan. Aku menyesal menonton film sampai larut malam dan terbangun seperti orang yang diburu kereta api. Setumpuk pakaian kotor, pakaian kerja yang belum disetrika, sungguh mengesalkan. Aku tidak mandi pagi.
Kembali menunggu angkot dengan pemikiran campur aduk. Ada beberapa hal yang ingin kuselesaikan, tapi aku tak kunjung menyelesaikannya.
Aku memutuskan membaca beberapa chapter cerita bersambung sambil menunggu angkot. Cerita yang manis tentang kisah cinta ala-ala drama.
Setelah angkot datang, aku berhenti membaca dan lebih memilih menatap ke luar jendela. Angin masuk melalui celah tipis.
Minggu pagi, aku bergegas. Hari yang akan jadi sangat sibuk.
***
Senin pagi, jalanan tidak terlalu ramai. Mungkin karena pandemi, orang-orang masih terlalu takut beraktivitas di luar, bahkan setelah pemerintah mengumumkan new normal.
Angkot sepi. []
Tasik, 2020
Imas Hanifah Nurhasanah. Bercita-cita jadi penulis sejak kecil. Lahir di Tasikmalaya, 24 Desember 1996. Penyuka jus alpukat ini, bisa dihubungi via akun facebooknya: Imas Hanifah atau akun IG: @hanifah_bidam. Baginya, menulis dan membaca adalah sebuah kebutuhan.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.