Rentang Hati

Rentang Hati

Rentang Hati
Oleh: Eda Erfauzan

Ups! Viena berjinjit mencoba menggapai buku di atasnya. Susahnya punya tinggi badan pas-pasan gini, batinnya. Gadis itu mengembuskan napas dan mencoba sekali lagi menggapai bersamaan dengan sebuah lengan terulur dan dengan mudahnya jemari itu menarik buku yang diincar Vien.

Sebelum Vien membalikkan badan, seseorang menyorongkan novel The Day After Tomorrow-nya Allan Folsom.

“Terima kasih,” Vien tersenyum dan menggeser langkahnya.

“Oh, di sini rupanya.”  Sebuah suara yang sangat familier menahan langkah Vien.

“Winnie?”

“Hei! Ya ampun, Vien.” Yang disapa berseru dan memeluk Vien.

“Yuk, kukenalkan dengan seseorang,” Winnie menarik tangan Vien ke deretan rak novel yang beberapa saat lalu ditinggalkan Vien.

“Dip, kenalin sobat aku,” Winnie berkata pada pria yang belum lama menolong Vien.

“Dipa.” Pria itu mengangguk sopan dan menangkupkan dua tangan di dada.

“Viena.”

Viena? Dipa menatap gadis di depannya. Ada sesuatu yang bependar dalam benaknya.

“Alviena Savitri?” tanyanya spontan.

Winnie menatap dua orang di depannya dengan rona bingung, alis indahnya nyaris bertaut.

“Kalian sudah saling kenal?”

Dipa tersenyum. “Jika temanmu ini benar Alviena.”

Vien mengerjap, seperti de javu rasanya. Toko buku dan orang asing, tetapi terasa dekat: suaranya, tatapannya. Entah.

“Hei, apa yang terlintas dalam benakmu jika aku sebut, Darmo, Surabaya?” Dipa mengibaskan tangan di depan wajah Vien.

Seperti ada gelembung yang pecah, meski samar Vien mulai mengingatnya dan ketika bayangan itu utuh, wajahnya memerah dengan desir halus yang mulai menyapa hatinya.

“Dipa ini teman short class bussines di Prasadha Multi,” Winnie menjelaskan setelah mereka duduk nyaman, di sudut kafe lantai tiga sebuah pusat perbelanjaan, tak jauh dari toko buku tempat mereka bertemu.

“Dan aku sahabat pena Vien, ponsel dan pulsa masih menjadi barang mewah saat itu, ya kan, Vien?” sambung Dipa dengan wajah berkerut lucu.

“Berkenalan saat workshop setelah memenangkan lomba menulis tentang jerawat. Penyelenggaranya sebuah produk pembersih wajah,” Vien melanjutkan, lalu tawa pun berderai. Ya … usai workshop Dipa kembali ke Surabaya, tetapi hampir tiap minggu surat mereka saling mengunjungi. Itu bertahan hingga tahun kelima. Usai kuliah dan mulai bekerja surat-surat mereka tak lagi saling mengunjungi. Viena ingat ada beberapa suratnya yang tak berbalas.

Berapa pun lama hitungan waktu yang luput, pria itu selalu istimewa, tersimpan rapi di sudut hati paling dalam, dan melihat kerlip samar di mata Winnie tiap menatap Dipa membuat Vien berpikir tentang  kemarin, kenangan dan hari ini.

“Tau nggak, Dip, Viena ini pacarnya banyak,” ujar Winnie tiba-tiba.

Viena nyaris tersedak, tak percaya, ditatapnya Winnie yang balik menatap dengan wajah tak peduli.

“Aku tahu, jika ada satu gank anak SMA beranggota delapan orang, tujuh orang laki-laki yang ke delapannya pasti Viena,” Dipa menjawab sambil tersenyum lembut.

Antara takjub dan heran Vien mendengarnya, Dipa masih mengingatnya.

What’s? Tahu juga, jika dia mau menerima seseorang itu karena gak ada pilihan?”

Kali ini Vien benar-benar tersedak, wajahnya memerah, antara marah dan rasa panas yang menjalar di lehernya. Winnie sudah keterlaluan.

Vien tidak tahu seberapa jauh kedekatan Winnie dan Dipa, kelas bisnis itu berlangsung enam bulan, mungkinkah ada yang luput dari perhatiannya, apakah Winnie … ah, bahkan ia dan Dipa baru saja bertemu.

Inginnya Dipa menyentuh wajah memerah yang perlahan memucat di depannya. Meyakinkan Vien jika tebaran racun saat ini tak berarti apa-apa dibanding dua tahun mencari.

Perempuan cemburu bisa menjadi sangat berbahaya. Winnie keliru mengartikan sikapnya.

“Bukan karena tak ada pilihan tetapi justru satu-satunya pilihan yang qualified,” jawab Dipa menyadari ke mana mata panah ucapan Winnie terarah.

Dipa menarik napas, pria itu menimbang posisinya. Apa pun akan terasa tidak adil bagi Winnie, tetapi ia pun tak ingin kehilangan gadis yang memaksanya mencari dalam ketidakpastian. Membuatnya menolak dengan halus gadis-gadis pilihan ibunya, hingga suatu pagi ibunya memberinya kejutan. Kotak cantik yang isinya membuat hati Dipa berdarah. Surat-surat Vien yang bertahun tak lagi diterimanya terbundel rapi, lalu sebuah pelukan dan permohonan maaf membuatnya luluh.

“Saya antar kamu pulang, Vien. Eh, Kamu jadi ke tempat Seto, Winnie?”

Tak ada yang bergerak, keheningan terasa menyakitkan.

“Vien …?”

Dipa berdiri.

Ragu, Vien mengikuti sekilas, ditatapnya Winnie. Wajahnya memerah kini, ada bening yang coba ditahannya. Vien menunduk, ada rasa marah, iba juga sedikit rasa bersalah.

Mengikuti langkah Dipa dalam diam, rasanya Vien ingin menangis. Ini bukan pertemuan yang diangankan. Tidak seperti adegan dalam film-film romantis ketika sepasang kekasih yang lama berpisah, saling mencari lalu bertemu. Kekasih? Hei! Vien tersenyum samar dengan mata basah.

“Vien, maaf …,” Dipa bersuara setelah keheningan yang panjang sejak dari mal tempat mereka bertemu hingga setelah beberapa saat duduk di teras rumah Vien yang asri.

“Ini kejutan yang luar biasa, Dip. Seperti mimpi.”

Nightmare?”

Vien menggeleng. Menyakitkan tetapi ia tidak menyesal.

“Masih ingat?” Dipa menyodorkan sebuah gambar dalam ponselnya.

Vien menatap tak percaya, itu foto dari gambar … ada rasa hangat yang menjalari hatinya. Ia memejamkan mata, mereka membicarakan itu di tahun ketiga dalam surat-surat yang teramat panjang. Rumah mungil dengan halaman luas dihiasi rumput hijau tebal dan lembut, kolam kecil dengan miniatur air terjun serta aneka bunga di sisi dalam pagar pembatas halaman. Dipa membuat apa yang mereka tulis dulu menjadi sebuah foto yang menakjubkan.

“Dipa, ini …?”

Dipa mengangguk. “Aku membuat maket dan berharap kamu akan melihatnya sebelum aku. Eh, kita membangunnya.”

“Kita?”

Dipa nyaris tergoda untuk menyentuh kepala Vien. Awalnya ia hanya ingin bertemu, mengurai rindu yang bertahun menemaninya, memastikan sosok Vien masih ada dan bahagia, entah dengan siapa. Namun Winnie dan apa yang dikatakannya membuat Dipa langsung memantapkan hati. Tak ingin ia kehilangan untuk kali kedua.

 

Eda Suhaedah/Eda Erfauzan lahir di Tangerang Banten. Anak keempat dari tujuh bersaudara yang semuanya perempuan. Gemar membaca sejak kecil dan mulai belajar menulis secara otodidak sejak tsanawiyah, tetapi lebih banyak curhatan di buku harian. Kesibukan bekerja sempat mengalihkan minat menulisnya. Kini keinginan menekuni kegemaran  menulis kembali hadir. Belajar hingga bisa melahirkan karya yang baik dalam isi maupun penulisan.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply