Renjana Terlunta

Renjana Terlunta

Renjana Terlunta

Oleh: Zee Anulika

 

Perempuan itu merintih kesakitan. Ia bahkan berteriak berkali-kali, meminta pertolongan. Kadang pula tertawa akan nasib yang menimpa dirinya. Baju daster yang ia kenakan sudah kusam dimakan waktu. Rambut hitam yang dulu lurus, kusut tidak terawat. Mata yang penuh binar, sirna. Sebagian dirinya telah hilang bersama asa yang terlunta.

Kedua kaki perempuan itu ditindih balok dan dikelilingi rantai. Sudah tiga bulan ia tidak pernah meninggalkan tempatnya. Tungkainya tidak mampu bergerak lagi. Ia hanyalah gadis desa yang rindu akan aksara juga angka. Pintanya tidak banyak, ingin menimba ilmu dan menjadi guru. Pintanya tidak banyak, hanya sedikit hangat dari lelaki yang ia cintai dan juga mencintainya.

***

Udding berlari di terik siang yang menyengat tubuh ringkihnya. Ia sedang berada di sawah, membajak dengan satu ekor sapi miliknya. Suara kakinya bertemu lumpur dan air di sawah, berkecipak menimbulkan percikan ke kanan-kiri.

Keringat mengucur dari dahi Udding, mengalir melalui pipi. Sebagian terus turun dan sebagian lagi terempas oleh angin karena kecepatan larinya. Permintaan di kepalanya hanya satu, agar cepat sampai di rumah. Kabar yang disampaikan Daeng Sanusi menghancurkan hatinya.

Susah payah ia membesarkan putri sulungnya, tetapi justru disia-siakan. Entah keringat atau air mata yang melewati bibir Udding. Ia hanya merasakan asin di pengecapannya.

Udding mendadak lemas melihat pemandangan di rumah panggung reotnya. Ros—putrinya—diangkat keluar dari mobil dengan tubuh lunglai. Dua perempuan memegang lengan Ros, menahan agar perempuan itu tidak terjatuh. Ia sudah lupa pada lumpur yang memenuhi tubuh dan pakaiannya. Ia mendekat pada putrinya, bertanya apa yang menimpa anak perempuan yang selalu ia banggakan.

Sejak kepulangan Ros ke rumah Udding, ia bukan lagi Ros yang dulu. Gadis desa yang bermimpi menjadi guru telah hilang, berganti gadis desa yang disebut orang sekampung sebagai orang gila.

Udding dan Masita hanya bisa menangis melihat keadaan Ros. Mereka malu akan gunjingan tetangga. Pun bingung akan alasan yang bisa mereka berikan pada kedua anak Ros yang masih balita. Sudah banyak dukun yang mereka datangi, tetapi tidak membuahkan hasil. Kata dukun-dukun itu selalu sama, ilmu orang yang mengguna-guna Ros sangat kuat.

Selalu ia bertanya dalam doa tentang kesalahan yang mungkin ia dan keluarganya perbuat. Mengapa Tuhan murka dan mengutuk anaknya menjadi gila?

Jika bukan dari Tuhan, maka siapa gerangan manusia yang tega bersekutu dengan iblis dan membuat Ros hilang akal? Udding memang hanya mampu menyekolahkan putri sulungnya itu sampai SMP. Akan tetapi, olehnya Ros dibekali pengetahuan agama. Setiap hari diberi wejangan akan pentingnya berbuat baik kepada sesama makhluk Tuhan. Mereka hanya orang kecil, tetapi hati mereka selalu lapang akan nikmat Tuhan.

Seorang kiai dari kampung sebelah baru saja datang bersama Daeng Sanusi. Kiai Nurdin, begitu orang menyebutnya. Udding menyambut lelaki tua bersorban putih dan langsung mengantarnya menemui Ros. Kiai itu merapalkan doa dan zikir, memohon kesembuhan untuk Ros. Perempuan yang diobati itu meraung-raung, meneriakkan makian kepada Kiai Nurdin karena tidak suka jika kepalanya disentuh.

“Ros anak yang baik, Kiai. Dia rajin mengaji dan sembahyang. Entah jin apa yang diutus kepadanya sampai gila.”

Kiai Nurdin menggeleng, menepuk bahu ringkih Udding. “Ini bukan karena jin, Ndik. Ros butuh dokter.”

***

Namanya Rosmala, gadis manis berkulit sawo matang dengan lesung dalam di kedua pipinya. Ketika tersenyum, gingsul dan lesung akan berpadu bersama bibir penuhnya untuk menambah pesona gadis delapan belas tahun itu. Namun, bukan keelokan itu yang membuat Andi Bahar terpesona.

Andi Bahar menyukai suara Ros saat melantunkan ayat suci di surau kecil di kampung mereka. Ia juga menyukai kepandaian Ros saat masih sekolah dulu. Setiap kali pulang dari Ujung Pandang saat libur kuliah, Andi Bahar selalu berkunjung di rumah Daeng Sanusi. Rumah Daeng Sanusi adalah tempat Ros dan adiknya menonton.

Sepucuk surat telah dikantongi oleh Andi Bahar. Ia mematut diri di depan cermin, menyisir rambut belah tengah yang katanya merupakan model rambut aktor Leonardo Dicaprio. Ia adalah Jack malam ini dan ia akan memenangkan hati Ros-nya.

Suara jangkrik dan lolongan anjing beradu dengan deru motor RX-KING keluaran baru miliknya. Di kota banyak gadis cantik, tetapi tidak satu pun yang bisa menarik hatinya. Mungkin karena hatinya sudah telanjur tertawan oleh Ros. Motornya berhenti di depan rumah Daeng Sanusi yang sudah ramai. Setiap malam, warga kampung berkumpul di sana untuk menonton. Dan perempuan yang ingin ditemui oleh Andi Bahar sedang berdiri di bawah pohon manga bersama perempuan lain. Mendadak jantungnya berdetak lebih kencang. Ia meraih kertas yang terlipat dari saku kemeja, berjalan cepat mendekat, tak sabar menemui tambatan hatinya.

“Ros, ini untukmu.” Andi Bahar menyodorkan amplop krem itu.

Kepala Ros tertunduk malu. Namun, surat itu tetap ia raih. Ucapan terima kasih dari gadis manis itu terdengar sangat merdu oleh lelaki dengan gaya rambut belah tengah itu. Untuk menghindari ejekan dari dua teman Ros, Andi Bahar berlari kecil menuju motor, mengendarainya kembali ke rumah. Ia harus bersiap-siap untuk kembali ke Ujung Pandang esok pagi.

***

Jantung Ros berdegup kencang. Sesekali ia gigit bibir bawahnya begitu menatap surat yang tergeletak di kasur lusuhnya. Ia tidak sempat membuka surat itu semalam, mengingat hanya pelita sumber penerangan di gubuknya.

Kata demi kata dirangkai oleh Ros untuk membalas ungkapan isi hati Andi Bahar, lelaki yang ia cintai sejak masih di bangku SMA.

Untuk lelaki yang namanya selalu terukir di dalam hati.

Renjana rasa dalam dada meminta untuk bersama mengarungi bahtera menuju muara indah. Namun, apalah diri ini. Dikau begitu tinggi, tangan kecil ini tak sanggup untuk meraihmu.

Air mata Ros terjatuh saat harus membalas surat lelaki yang dicintainya itu. Ia hanya anak petani miskin, tidak berpendidikan, dan tidak dialiri darah biru. Ia tidak mungkin berani menggenggam jemari Andi Bahar—seorang calon dokter—yang berasal dari trah bangsawan. Ayah Andi Bahar adalah Puang Kadir, seorang lurah yang sangat disegani. Ibunya, Puang Hasnah, kepala sekolah Ros di SMP dulu.

Untukmu,

Gadis yang kuharap menjadi ibu dari anak-anakku

Aku bukan bintang yang mustahil untuk teraih. Aku selalu di hatimu, seperti dirimu yang selalu di hatiku.

***

Surat balasan dari Andi Bahar sampai di tangan Ros setelah dua bulan, saat lelaki itu datang dari kota. Desas-desus akan kedekatan mereka mulai berkeliaran dari mulut-mulut orang kampung. Udding dan Masita bergantian mengingatkan Ros akan posisi mereka yang tidak sebanding dengan Andi Bahar, meminta agar perempuan itu menyerah dan tidak menemui kekasih hatinya lagi.

Ros mondar-mandir di depan pintu rumahnya. Papan rumah panggung itu berderit setiap kali kaki Ros menginjak. Sepucuk surat diantar seorang temannya pagi tadi. Tertulis jelas dalam surat itu bahwa Andi Bahar telah mengakui keinginannya untuk meminang Ros. Belum reda kekalutan di hatinya, ia melihat Puang Hasnah menaiki tangga.

“Mana bapakmu?” tanya Puang Hasnah.

“Di dalam, Puang. Silakan duduk! Saya panggil Bapak dulu.”

Perempuan bergincu merah itu mengedar pandang pada rumah beratap seng yang karatan. Sinar matahari menyusup melalui celah-celah yang menyerupai titik di seng-seng itu. Senyum Udding melebar pada Puang Hasnah yang duduk di atas satu-satunya kursi di rumah itu. Ia duduk di lantai, menunduk sedikit pada perempuan yang mengenakan rok panjang itu.

“Saya tidak akan lama,” ucap Puang Hasnah. “Saya Cuma mau meminta agar Ros menjauhi Andi Bahar. Saya tidak berniat menyinggung, tetapi Andi Bahar tidak mungkin menikahi Ros. Mereka terlalu berbeda. Andi Bahar sudah dijodohkan dengan Andi Helda. Mereka sama-sama calon dokter, tidak seperti Ros yang hanya tamatan SMP.”

Ros ada di dalam kamar saat itu. Tembok yang hanya berupa tripleks tipis membuat ia bisa mendengar semua perkataan Puang Hasnah. Ia meringkuk di ujung ranjang besi tua miliknya. Ia mengatupkan mulut agar isakannya tidak lolos keluar.

“Pinangan Rahman padamu akan Bapak terima, Ros.” Itulah keputusan yang akhirnya diambil Udding demi melindungi anaknya.

***

Hari itu rumput masih dibasahi embun. Ayam-ayam Udding telah turun dari dahan kakao untuk mengais rezeki, tidak berniat menunggu sisa makanan yang biasa dihamburkan Masita. Kain yang sudah dibasahi oleh Masita digosokkan ke lengan Ros. Air mata menetes ke pipinya, melihat Ros yang terpasung. Bukan maksudnya menyiksa Ros. Ia tidak memiliki pilihan. Sebelum dipasung, anaknya itu sering mencoba bunuh diri. Terkadang ia berpikir, ada baiknya Ros mati, daripada menanggung luka seperti saat ini.

Lihatlah Ros kini, ia tidak mati, tetapi tak bisa pula dikatakan hidup. Perempuan itu tidak lagi berada di dunia. Jiwanya berkelana dalam dimensinya sendiri. Hilang senyumnya, hanya tahu menangis pilu.

Ketukan di pintu membuat Masita meninggalkan Ros. Ia membalas salam, lalu membuka pintu. Ia sangat mengenal lelaki muda yang berdiri di depannya. Lelaki yang pernah meminta agar pernikahan Ros dibatalkan, memohon agar Masita dan Udding menunggu sampai orang tuanya menerima Ros.

Andi Bahar, lelaki yang telah menjadi dokter di Ujung Pandang, datang berkunjung untuk melihat keadaan Ros. Ia masuk ke bilik kecil yang berlantaikan bambu. Ros duduk di sana dengan betis terpasung. Beberapa karung padi menjadi temannya.

Masih diingat oleh Andi Bahar betapa eloknya paras Ros. Akan tetapi, ingatan akan wajah cantik itu sirna, menyisakan sembilu yang mengiris di hatinya. Kalau saja ia tahu lelaki jahanam itu akan menyia-nyiakan Ros, ia tidak akan mundur.(*)

 

Makassar, 09 Desember 2021

 

Zee Anulika. Seorang pencinta hujan dan langit mendung. Baginya, menulis adalah jalan menuju dunia baru yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

 

Editor: Dyah Diputri

Pict. Source: https://pixabay.com/id/illustrations/wanita-wajah-kontur-terbakar-habis-73403/

Leave a Reply