Renjana Perih

Renjana Perih

Renjana Perih

Oleh : Respati

Euforia Rakerda sebuah partai terasa hingga jalanan kota. Sepanjang jalan protokol dipenuhi bendera khas partai. Kegiatan partai penguasa memang selalu mampu membuat simpatisannya tumpah ruah di tempat kegiatan. Sepertinya kemeriahannya berlangsung di lapangan dan gelanggang olahraga. Kebetulan kedua tempat itu letaknya berseberangan.

Aku mengalihkan pandanganku pada kerumunan orang-orang di GOR dan barisan berseragam yang memenuhi trotoar. Sebagian berseragam sewarna dengan lambang partai mereka, tapi banyak juga kelompok yang hanya mendapat kaos berlambang partai. Banyaknya kerumunan dan barisan simpatisan wajar kalau perjalanan kami terhambat. Sementara perutku sudah meminta pertolongan, dan kemacetan ini entah kapan kan berakhir.

Mobil berjalan merayap. Sekitar 200 meter di depan, ada sebuah resto.

“Teras Resto, Mas?”

“Iya, Pak.”

Mobil travel membawaku ke arah resto yang dimaksud. Aku turun dengan langkah gontai, dan sampai pada meja akasia 05. Sambil menunggu daftar menu, aku mengeluarkan ponselku.

Beberapa pesan kubaca dan membalasnya sebagian. Lalu melanjutkan membaca yang lain. Terutama aku menunggu balasan dari Nu. Nu, adalah kekasihku. Setahun terakhir aku kehilangan banyak waktu dengannya.

Pramusaji menghampiriku membawa daftar menu. Setelah mengamati daftar beberapa saat, aku pun menentukan pilihan. Kembali aku menunggu pesananku datang dengan aktivitas jari-jemari pada ponselku.

“Sudah sampai?”
“Sudah. Kena macet.”
“Ya. Ada kegiatan partai di GOR.”
“Kamu di mana?”

Pesanku tak dibaca Nu. Sebenarnya aku hendak menyandarkan punggung ke dinding, tapi angka di arlojiku sudah memberi tanda datangnya waktu sholat zuhur. Aku beranjak dari tempat duduk dan menuju ruangan yang disediakan untuk sholat.

Selesai salat, pesananku pun terhidang. Aku menyantapnya dengan sedikit rakus. Ini efek rasa lapar.

*

“Di mana, Bi?”
“Sedang otw, Sayang. Macet.”

Kegiatan partai sudah menunda seluruh rencana. Lima belas menit kemudian, pria yang dipanggil Abi itu turun dari mobil dengan logo partai cukup besar. Pria paruh baya yang masih terlihat tampan itu memakai kemeja warna logo partai.

Memegang buku kerja warna hitam. Senyumnya sangat berkharisma, dan ini yang membuatku hanyut dalam buaian asmaranya. Setahun ini cintaku terpaut padanya, pria berkharisma.

Seorang gadis menyambutnya dengan uluran tangan. Dia menjabat tangan lembut dan gadis itu menundukkan kepala untuk mencium tangannya. Pria dengan senyum menawan itu memegang kepala dan mendaratkan kecupan tipis ke kepala gadis itu.

Mereka nampak demikian intim. Saling menatap mesra. Tarikan di kedua ujung bibir sang gadis membentuk senyuman yang indah. Mereka terlihat sangat bahagia. Melepas rindu dengan saling bercerita.

Setelah pesanan datang mereka menyantapnya. Masih diselingi dengan cerita-cerita seru mereka. Sampai di akhir perbincangan setelah selesai menyantap makanan, si gadis terlihat tertunduk lesu.

“Abi kapan datang lagi?” tanya si gadis.
Pria yang dipanggil abi itu menghela napasnya pelan. Seperti ada himpitan batu besar dalam dadanya. Abi menoleh singkat ke arah gadis itu.

“Kita harus mengurangi pertemuan kita.” Kata-kata datarnya membuat aku tertegun. Memandang Abi dengan lekat. Sementara Abi menunduk lemah.

“Apa salahku, Bi?”
Abi menggeleng lemah. Menandakan tidak ada yang salah darinya.

“Ranti mulai curiga,” Abi berhenti sesaat, “dia menemukan foto kita di gallery handphone. Abi lupa menghapusnya,” lelaki itu tertunduk lemah. Perasaan bersalah pada istri menguasai perasaannya.

Gadis itu tertunduk lesu. Menghelanya napas keras. Kegusaran terlihat dari bahasa tubuhnya. Merayap pula perih dalam dadanya.

“Tenang, Sayang. Abi bisa mengatasinya.”
“Maafkan saya.”
“Kamu tak salah. Abi yang salah. Abi yang kurang hati-hati menjaga hubungan kita.”

Gadis itu kembali tertunduk. Beberapa helai tissu diraihnya dari atas mejanya.
“Jadi ini pertemuan kita terakhir, Bi?”
Abi mengangguk lemah lagi. Jawaban yang teramat berat untuk dilakukannya.

Mobil yang tadi membawa Abi sudah terparkir di area resto. Abi beranjak dan berdiri tepat di belakang gadis itu. Kepalanya menunduk dan mencium kepala gadis itu.

Abi berlalu tanpa menoleh kembali memasuki mobil dan meninggalkan lokasi resto. Sementara sang gadis menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.

Pesan di ponselnya berdenting.

“Nu, kamu di mana?”
“Teras Resto.”
“Meja mana?”
“Rumbia 02.”
“Aku di belakangmu, Nu.”

Gadis itu membalikkan badannya cepat.

@ibnusina, 14.05.2018

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirrim/Menjadi penulis tetap di Loker Kita