Remember

Remember

Remember

Oleh: Lily Rosella

“Kau tahu kenapa aku menyukainya?” Aku menggeleng. Aku bahkan tidak tahu siapa yang sedang ia maksudkan.

“Aku selalu suka itu,” ujarnya sambil menunjuk ke arah bias cahaya yang tengah membentuk setengah lingkaran.

Aku memandangi warna-warna berlapis tersebut. Itu adalah pelangi. “Kenapa kamu menyukainya?”

Ia menggeleng, lantas mengangkat kedua bahunya. “Mungkin … karena sesuatu yang spesial pernah terjadi saat warna-warna itu muncul,” tuturnya yang masih mendongak. Sibuk memandang setiap guratan warna pada pelangi.

Aku bergeming, ada sesuatu yang meletup-letup di hatiku, biasanya ini terasa seperti drum yang dipukul keras, tapi itu tidak berlaku sekarang. Entah mengapa seperti ada percikan api yang seolah siap berkobar dan membakar, atau mungkin memanggang. Aku bisa mencium aroma gosong dari sini.

“Kau ingin aku menceritakan kisah itu?” tanyanya. Aku langsung mengangguk, penasaran tentang siapa seseorang yang berhasil mencuri hati wanita berambut pendek di sampingku.

Hening. Ia terdiam untuk beberapa saat, mencoba untuk berpikir dari mana ia harus memulai menceritakannya.

“Baiklah. Akan kuceritakan!” serunya dengan wajah semringah.

Aku memperbaiki posisi dudukku. Jika biasa ia menceritakan tentang mimpi, masa depan, juga kenangan masa kecilnya saat kami masih di panti asuhan dulu, maka sekarang, saat ia sudah cukup dewasa dan beranjak 20 tahun, ia mengatakan ada kisah yang spesial untuknya. Jadi untuk itu, seperti saat kami di panti asuhan dulu, aku selalu duduk di sampingnya dan mendengar ia bercerita juga melihatnya menangis atau tertawa sendiri.

“Itu adalah tentang hujan,” ia mulai bercerita sambil mengneleng-nelengkan kepala seperti sebuah bandul, tersenyum senang, “seseorang datang padaku dengan napas yang tersengal-sengal. Wajahnya harap-harap cemas. Aku tahu kalau ia sedang bersedih saat itu. Kau mengenalnya?” tanyanya di sela cerita. Aku menggeleng.

Ia melirik padaku sekilas, dan dapat kulihat wajahnya yang bersemu, apalagi senyumnya sangat lebar sampai-sampai terkesan ia sedang memamerkan gingsul pada gigi taringnya. Sama seperti di film-film atau novel lama yang pernah kubaca, dan sepertinya kisah ini memang selalu disukai oleh para wanita. Kau menatap rintik hujan yang luruh, kemudian bergumam satu-dua kata, lantas sebuah memori berputar begitu saja seolah tadi kau tengah mengucapkan mantra ajaib. Beruntungnya, kisahmu cukup menyenangkan untuk bisa dinikmati sambil duduk di balik jendela, memegang secangkir teh panas yang masih mengepulkan uapnya.

“Dia datang padaku seraya meminta maaf. Ia melupakan  hari ulang tahunku yang terlewat dua hari lalu. Dengan tubuh yang bahas kuyup karena hujan yang belum mereda, ia masih berdiri sambil mengatur napas. Aku ingat jelas ekspresinya saat itu.” Ia tertawa pelan sambil memegangi perutnya yang terasa geli, sedangkan aku mendelik. Aku tahu kisah itu.

***

Hari itu hujan deras mengguyur kota. Aku baru teringat kalau dia, gadis yang biasa duduk di kursi roda saat aku masih di panti asuhan dulu berulang tahun tahun kemarin lusa. Aku bangkit dan mengambil jaket hijau stabiloku di tepi ranjang, bergegas menemuinya. Bisa jadi ia lupa, tapi dulu, saat kami hendak berpisah sewaktu ia diadopsi, aku telah berjanji akan datang di hari ulang tahunnya yang ketuju belas.

Aku merapatkan jaket setelah memastikan kalau payung yang biasa tergeletak di samping rak sepatu tidak ada di mana-mana, berlari menerobos rintik air yang jatuh cukup deras. Tak peduli apa dingin merembas masuk ke dalam tubuhku, bagiku janji tetaplah janji, dan gadis itu, dia tidak akan senang jika aku melanggar hal-hal kecil yang telah kujanjikan padanya. Ia akan marah dan takkan bicara padaku untuk waktu yang cukup lama. Setidaknya begitulah aku mengenalnya.

“Apa yang kamu lakukan di tengah hujan seperti ini?” tanyanya kebingungan.

Aku menunduk dan mengatur napas sambil kedua tanganku memegang lutut. Tubuhku yang terbungkus jaket kini menggigil. Hanya saja ada yang lebih penting dari sekadar memikirkan tentang hujan yang tak lama kemudian mereda.

“Maaf,” ucapku yang masih tertunduk. Ia membelalakan mata, tak mengerti atas permintaan maaf yang kulontarkan tadi.

“Maaf karena aku melupakan hari ulang tahunmu,” tuturku tanpa basa-basi.

Ia menggeleng ragu. “Tidak apa-apa,” ujarnya pelan.

“Aku bukan sengaja ingin melupakannya. Tapi aku benar-benar tidak ingat jika ini bulan Desember.”

Ia tersenyum kecil, menjawab tidak apa-apa untuk kedua kalinya.

“Kau marah?”

“Tidak apa-apa jika kau tidak dapat mengingatnya, atau kau melupakannya sekalipun. Lagi pula itu hanya tanggal yang tertera dalam akte dan ijazahku yang tidak pernah aku bawa-bawa ke mana pun. Aku lebih suka saat seseorang menciptakan waktunya sendiri untukku.”

Ia memutar roda pada kursi yang didudukinya dan melintasiku, menatap langit. Awan-awan mendung tadi kini telah bergeser tertiup angin. “Bukankah sebuah doa tidak harus menunggu tanggal-tanggal tertentu? Kau bisa mengucapkannya kapan pun kau mau, tidak perlu menunggu hari-hari besar atau biasa yang orang sebut hari spesial. Berhentilah terlihat bodoh dengan mengkhawatirkan sebuah tanggal yang kau tandai di kalender,” ujarnya sambil tersenyum menatapku.

Aku masih tertunduk dengan napas yang belum beraturan. “Aku bahkan tak membawa apa pun untukmu setelah terlambat mengucapkannya,” tuturku lesu.

Dia menggeleng, tersenyum lebih lebar dari sebelumnya. “Kau sudah membawanya.”

“Apa?”

“Lihatlah!” Ia menunjuk ke pohon besar yang ada di halaman rumahnya. Sebenarnya bukan pohon itu yang ia tunjukkan padaku, tapi sesuatu yang ada di baliknya.

“Tapi … pelangi biasa muncul setelah hujan, kan?” tanyaku yang tak mengerti.

Dia menggeleng. “Itu hanya pelangi biasa, mereka tidak akan sama dengan pelangi hari ini.” (*)

 

Lily Rosella, gadis berdarah Sunda – Betawi yang kerap disapa Lily ini lahir dan besar di Jakarta. Penyuka dongeng dan cerita bergenre fantasi. Ia juga menyukai warna-warna pastel.

FB: Aila Calestyn Lily Rosella

Email: Lyaakina@gmail.com

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita