Rel Tanpa Palang Pintu

Rel Tanpa Palang Pintu

Rel Tanpa Palang Pintu
Oleh: Wiwin Isti Wahyuni

Pagiku meremah …
Selayaknya hamburan pasir yang lepas dari genggaman erat jemariku.
Pandanganku memburam.
Ingatanku mengabur.
Melayang di tiga September, sekian tahun silam.
Ketika Tuhan dengan segala bentuk kasih sayang-Nya.
Merenggutmu dariku, dengan rel kereta tanpa palang pintu.

Aku tunduk pada cinta, atau entah apa sebutan untuk anak usia empat belas tahun. Kelas dua Sekolah Menengah Pertama. Iya, tepat setelah upacara kemerdekaan, delapan belas Agustus. Derry Ramadhan, penobatan sebagai ketua OSIS membuat rasa yang sebelumnya kagum menjadi berbeda. Ada rasa aneh di setiap geliat tatapnya, mata di balik kacamata tebal. Tak ada yang spesial dari seorang ketua OSIS, justru wajahnya jauh dari kata “tampan”, tak cakap pula merangkai puisi. Lantas apa yang kulihat untuk jatuh pada cintanya? Kesederhanaannya di balik sepeda BMX yang selalu menemaninya berangkat dan pulang sekolah. Derry … kuawali dari diamnya, atau dari perhatiannya yang membuatku menangis tergugu di akhir tahun kelulusan kami.

Aku hanya siswi biasa, tak secantik Noura, siswi idola SMP kami. Tak secerdas Rodiyah, siswi teladan sekolah kami. Namun, ada sesuatu yang membuat sang ketua OSIS itu selalu mendahulukanku. Mungkin karena aku terlalu kecil, dan cengeng. Tiga tahun kami bersama, beradu kebersamaan dalam diam. Memendam kekaguman dalam pejam. Hingga perpisahan berselang, meminjam air mata dalam tangisan. Meramu tiap sesal dalam terbangnya gairah. Dia pergi jauh, ke kota yang tak pernah sekalipun kuramalkan, meski dalam mimpi.

Hidup terus berlanjut, aku baik-baik saja, tanpa rasa yang kusebut cinta. Hanya saja menghampa. Masa SMA yang kata orang indah berlalu begitu saja. Mimpiku satu, merambah sudut Jogja, mencari potongan masa kecil yang meramu rasa. Prestasi demi prestasi kuraih, berharap mampu megejar asa yang terpenggal.

Aku diterima di sebuah Universitas di Surabaya. Anganku semakin jauh. Menutup hati rapat untuk tiap tawaran rasa. Bagiku kekaguman hanya dia. Berdiri di tengah lapang dengan teriak lantang menghormat pada sang saka. Atau memanduku sekadar belajar matematika.

***

Stasiun Kertosono, 2015.

Mataku mengerjap … kuusap-usap, berkali kali, antara percaya dan tidak, bagaimana tidak setelah delapan tahun mengubur mimpi aku menemukannya, pwmuda tengil berkulit hitam, berambut keriting dan suka sekali membuatku menangis, berdiri di ujung sana, sendiri memasukkan semua jari tangannya ke saku celana.

“Hai.” Setengah berlari dan berteriak menyapanya, khas ramahku.

“Assalamualaikum,” jawabannya membuatku telak, sembari melihat gayaku yang acak-acakan, dengan jin belel, kerudung serampangan, dan kemeja kotak kotak favorit anak teknik. “Wiwin ya,” lanjutnya ketika melihatku kelabakan.

“Waalaikumussalam. Iya, Der. Alhamdulillah kamu masih ingat aku,” jawabku sembari membetulkan kekikukkan yang entah karena apa sebabnya. “Bagaimana kabar? di mana sekarang, eh mau ke mana?” tanyaku ketika melihatnya tetap menyembunyikan kedua tangannya, tangan yang selalu kurindukan mengacak acak rambutku dulu ketika usia kami masih belasan, ketika masih suka bermain air di saluran irigasi, atau sekadar berlomba berlari mengelilingi tanggul brantas.

“Mau kembali ke Jogja, kan perkuliahan sudah mau mulai,” jawabnya selalu tenang, berbeda denganku yang tidak jelas sekarang bagaimana raut wajahku.

“Ohh … masih di Jogja ya? UGM dan farmasi pasti,” tebakku, ingat mimpi mimpi kami kala itu.

“Yup, selalu 100 buat kamu, gadis kecil, cerdas, tapi sayangnya terlalu mudah ngambek. Kamu? Ke mana? Sendiri?” Suasana mulai mencair.

“Ke Surabaya. Sendirilah, masak sama Bapak. Oper jurusan aku masuk di teknik, takdir mungkin,” jawabku sekenanya.

Pertemuan indah, sembari berharap kereta terlambat 24 jam agar kami mampu mengulang cerita yang tidak akan mungkin terulang. Si bocah tengil, berkulit Ambon, berkacamata, tapi jago banget Matematika, yang pendiam namun mampu membuatkugadis introvert dan kutu bukumenjadi sangat mencintai alam dan seisinya. Derry Ramadhan, si ketua kelas, ketua OSIS, dan pembangun semangat. Yang membuatku tertatih saat tiba-tiba memutuskan pindah ke Jogja selepas kelulusan kami.

***

Semuanya lepas, hidupku menggairah kembali. Stasiun demi stasiun berikutnya terasa menyenangkan. Hingga tiba di hari kelulusanku, kelulusannya. Tiga September, hari berarti bagiku, sehari menjelang ulang tahunku. Aku bungsu, tapi kemandirian melatihku tak meminta apa pun jika masih mampu berjuang sendiri. Berbeda kali ini. Perjalanan panjang Surabaya – Jogjakarta, membuatku melenguh manja. Bak anak balita. Meminta ini dan itu. Membuatmu yang seharian ribut dengan pekerjaan menjadi lebih kelelahan.

Sayang, aku lelah. Maaf ya. chat singkat sebelum kereta tiba.

Mungkin akan terlambat menjemput, karena besok harus prepare segala macam,

Aku abaikan pesannya, agar dia tahu tanpa dia jemput aku bisa berkeliling Jogja sendirian.

Sayang, kamu marah? Baiklah aku akan datang tepat waktu. Maaf ya. pesan terakhir, yang kusambut senyum di ujung simpul.

Okay. Hanya itu tak ingin beradu debat lagi.

Lima jam, Stasiun Tugu menjadi begitu memburam. Bukankah dia tahu, kemarahanku melebihi letusan gunung berapi, bahkan amukan tsunami. Tapi sudahlah, mungkin dia benar-benar lelah denganku. Kupesan mobil carteran, berkeliling Malioboro di nol kilometer, cukup menghibur, hingga kuputuskan melanjutkan perjalanan ke Magelang. Aku tak mau bersikukuh dengan amarahku sendiri. Kuambil kata putus dalam sendiri pula.

Dua hari. Tak ada kabar darinya. Kecemasan yang biasa terlontar dari rasa takut kehilangannya, hilang begitu saja. Ah lelaki, sama saja. Memutuskan kembali di hari ketiga. Di Surabaya, mungkin aku akan melupakan pengkhianatan dan rasa sakit ini.

“Assalamualaikum. Maaf, ini benar nomor Dek Wiwin?” Sambungan telepon dari nomor tak kukenal.

“Waalaikumussalam. Iya, maaf ini siapa ya?” sahutku, tak terbersit apa pun di otakku.

“Ini Dana, bunda Derry, Sayang.” Jawaban lembut itu justru memeras rasaku, membuat emosiku limbung.

“Sayang, kamu masih di sini? Maaf, Nak, bunda hanya mau mengabarkan kepergian Derry, dia tak sempat berpamitan padamu, tapi satu hal yang bunda pastikan, dia sangat menginginkanmu menjadi kekasih halalnya.”

Suara itu bersahutan, otakku menumpul, tak mampu mencerna apa pun. Sama seperti di usia belasan, dia pergi dalam diam, tak berpamitan, bahkan sekadar mendengar ucapan “selamat jalan”. Kali ini, ketika rasa cintaku menggebu, dipenuhi amarah dan cemburu. Dia pun kembali pergi, memburu waktu agar aku tak menjauh, hingga lintasan tanpa palang pintu itu menjemputnya. Kereta Api Logawa menyambut raganya. Persis setelah keretaku sampai pada peraduan rindu.

Senja mengajarkanku arti sabar
Meski lelah mendera jengah
Mengurai perjalanan panjang

Aku ingin tertidur
Dalam tidur pulas
Yang tak bangun lagi

Berita kehilanganku t’lah sampai pada embusan angin
Hingga di tiap tiga September pun aku ingin pergi
Pergi pada damai di sisimu

Jogjakarta, 2018

 

Wiwin Isti Wahyuni. Penggila senja dan jingga. Lahir di kota angin, Nganjuk, 4 September silam. Bekerja sebagai tenaga pengajar di Islamic Full Day School di kota tahu Kediri. Belajar tak mengenal usia adalah motto hidupnya. Hidup harus senantiasa menebar kebaikan dan selalu menjadi lebih baik adalah visinya. Sarjana Teknik yang akhirnya menggandrungi dunia anak-anak, yang senantiasa tersenyum meski sedang patah. Bisa kenal lebih dekat lewat akun FB dan IG Wiwin Rowfany. Menerbitkan tiga antologi bersama dengan teman seperjuangan, dan satu buku non-fiksi modul pembelajaran Bilingual. Inilah saya … menjadi bahagia dengan berdiri di kaki sendiri, dan menularkan bahagia pada sesama melalui karya.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata