Rayap-rayap di Kepalanya
Oleh : Siti Nuraliah
Satu jam sudah berlalu dari sejak kau duduk di sana. Mengetik berderet-deret aksara yang entah isinya apa. Satu halaman, dua halaman, namun tiba-tiba kau berhenti seperti yang dilakukan saat hendak menulis pertama kali. Memegangi kepala, menyesap kopi yang tinggal ampas dan meletakan cangkirnya dengan kasar. Lalu, aksara yang telah kamu susun dengan susah payah itu kamu hapus lagi satu paragraf, tapi kamu ketik lagi, hapus lagi dan berakhir pada layar putih polos dengan hanya menyisakan satu garis vertikal yang berkedip-kedip.
Wajahmu memandang lurus ke depan. Siang itu memang hujan, seharusnya kamu bisa menulis tanpa gangguan. Sebab aroma tanah kering yang tersapu hujan menguar begitu menenangkan. Kamu bertopang dagu, mengetuk-ngetuk meja dengan telunjuk dan memejamkan mata. Beberapa menit kemudian, bibirmu tersenyum. Kamu kembali lagi meraih papan ketik dan mulai memencet beberapa aksara.
Ternyata kamu menuliskan sebuah cerita seorang perempuan yang masih mengingat banyak kenangan di masa lalunya. Kenangan-kenangan itu seperti telah menjadi bagian kehidupannya. Meski perempuan itu telah punya kehidupan baru, kenangan tidak bisa dibuang, kenangan tetaplah kenangan. Namun, cerita itu tidak cukup membuatmu puas, cerita itu terlalu biasa dan kurang menarik, sehingga kamu menghapusnya lagi dan mengganti dengan cerita yang baru.
Seperti sebelumnya, kamu memejamkan mata dulu baru mulai mengetik. Di layar itu kamu menulis satu nama tokoh laki-laki, namanya Bram. Kamu membuat tokoh Bram itu sebagai laki-laki pejuang cinta. Bram seorang guru honorer yang jatuh cinta pada gadis sederhana bernama Permata.
Diceritakan olehmu, gadis bernama Permata ini adalah gadis bermata teduh dan indah seperti namanya. Alih-alih mendapat sambutan baik, cinta Bram bertepuk sebelah tangan.
Konflik demi konflik kamu tulis dengan rapi. Lagi-lagi, kamu berhenti dan menggelengkan kepala. Katamu cerita itu mengungkap banyak kisah yang diangkat dari kisah nyata. Terlebih lagi, itu adalah kisahmu sendiri. Kamu takut, bila cerita itu berhasil terbit, akan banyak orang yang menerka-nerka dan mencocok-cocokkan dengan cerita sebenarnya. Dengan begitu, nama aslimu yang bersembunyi di balik nama pena akan terbongkar. Dan kamu belum siap untuk semuanya.
Kamu melamun lagi, semua isi kepalamu ingin dimuntahkan. Namun kamu kesulitan memilih cerita mana yang akan kamu tulis secara utuh. Semuanya hanya berupa potongan-potongan cerita yang tidak sempurna. Katamu lagi, menjadi penulis itu pekerjaan yang berat, berdarah-darah dan amat membuat sesak. Hanya ingin menyelesaikan satu cerita saja, kamu butuh berwaktu-waktu untuk mendapatkan hasil yang sempurna, setidaknya menurutmu.
Dan siang itu, hujan mulai reda. Kamu masih belum beranjak dari kursimu. Kepalamu sakit, aksara yang berupa rayap-rayap itu rupanya masih memaksamu untuk bisa menghasilkan satu naskah yang utuh. Sekali lagi, kamu meremas kepalamu berusaha mematikan rayap-rayap itu. Rupanya kamu belum menyerah. Layar putih polos itu kembali diisi deretan aksara hitam. Sesekali kamu terhenti dan melanjutkan lagi. Kamu hapus dan tulis lagi, hapus dan tulis lagi. Sebenarnya kamu mau menulis cerita apa? Akhirnya kamu memutuskan untuk meninggalkan layar itu, dan kamu pergi ke dapur. Menyeduh satu cangkir lagi kopi hitam dengan sedikit gula aren.
Sejenak kamu merebahkan tubuh di sofa, melipat tangan untuk dijadikan bantal. Kamu memang tidak berniat tidur, kafein dalam kopi yang kamu seduh tadi selalu berefek sampai malam nanti. Kamu memandangi langit-langit kamar, satu wajah tergambar di atas sana. Wajah bulat dengan mata sipit rupanya tengah mengajakmu tersenyum.
Kamu terlena, seperti telah ada yang kamu lupa.
Kamu terperanjat, menyambar cangkir kopi dan meneguknya sampai menjadi setengah. Perempuan yang mengajakmu tersenyum di langit-langit kamar masih tergambar dengan jelas di depan mata. Perempuan yang kamu kenal selama hampir sepuluh tahun. Perempuan yang menjadikanmu ingin menjadi seorang penggubah aksara. Perempuan yang membuat patah, perempuan yang membuatmu kuat sekaligus rapuh. Kamu selalu menyebutnya dengan nama Bunga.
Namanya memang bukan Bunga, namun kamu lebih suka menyebutnya dengan nama itu. Katamu, Bunga lebih cocok tersemat sebagai nama seseorang yang dianugerahi Tuhan dengan sosok yang hampir sempurna. Bunga perempuan yang anggun, cantik dan hatinya selembut kapas. Kamu selalu tahu, kapan Bunga membutuhkanmu. Bunga membuatmu merasa ingin terus melindunginya, setiap kali hatinya terluka, kamu selalu bisa mengembalikan tawa meski kamu tahu hatinya tidak pernah baik-baik saja.
Kamu terus mengetik, rayap-rayap di kepalamu terus berbondong-bondong merupa deretan-deretan hitam di layar kaca. Rupanya naskahmu akan tuntas sore ini juga dan siap dikirimkan sebagai tugas seorang penulis cerpen koran. Ceritamu sedikit lagi akan sampai ending. Mungkin hanya butuh satu halaman lagi.
Saat tulisanmu sedikit lagi khatam, satu-dua air jatuh dari matamu. Kamu merasa sesak, mengingat saat ini, sore ini, saat cuaca hujan, kamu membayangkan Bunga dengan secangkir cokelat panas tengah duduk bersampingan bersama suaminya. Kamu tekan tombol delete dengan kasar. Rasanya tak pantas mengukir nama istri orang menjadi kisah yang utuh sedangkan hatimu patah. Lalu, di layar itu hanya tinggal putih polos dengan hanya menyisakan satu garis kecil vertikal yang berkedip-kedip. Dan rayap-rayap itu kembali menetap di kepalamu.[]
Banjarsari, 26 Januari 2021
Siti Nuraliah. Perempuan sederhana, kadang suka menulis kadang suka membaca.
Editor : Uzwah Anna
Grub FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kntributor
Mengirim/menjadi penulis tetap di Loker Kata