Ranu (1)

Ranu (1)

Ranu (1)
Oleh : Gloria Pitaloka

Malam yang begitu beku terpecahkan oleh rintihan Ranu. Perempuan yang sedang hamil tua itu tidak kuat menahan rasa mulas dan sakit di perut bagian bawah, serasa mendesak ke arah pinggang, sakit hingga menekan dubur. Rasanya seperti mau buang air besar yang sudah di ujung tanduk, tetapi ditahan-tahan sekuat tenaga.

Ini adalah kehamilannya yang kelima kalinya di usia yang baru 25 tahun.

Saking kuatnya menahan sakit, sampai-sampai keringat dingin mulai bermunculan di dahi Ranu. Bahkan, tak berapa lama darah dan air ketuban mengalir dari selangkangannya. Sepertinya, sebentar lagi bayi ini akan segera lahir.

“Aa, bangun, A!” Ranu menggoyangkan bahu suaminya yang terlelap berdesakan dengan Yani, si bungsu, yang sebentar lagi menjadi seorang kakak.

Herman bangun dengan wajah setengah sadar lalu mengucek matanya. Melihat sang istri kesakitan, seketika ia memegangi perut istrinya.

“Sudah waktunya, ya, Neng?” tanyanya khawatir. Matanya melihat dipan kayu beralas kasur lantai yang lusuh dan robek di sana sini itu sudah basah seperti tersiram hujan.

Ranu mengangguk sebagai pengganti jawaban atas pertanyaan suaminya.

Herman gegas bangun, menyalakan motor bututnya, lalu memapah Ranu ke motor.

Sepanjang perjalanan Ranu hanya bisa meringis. Jalan setapak yang menghubungkan gubuk dan perkampungan tidaklah mulus. Bahkan sebagian licin, membuat Ranu beberapa kali harus terguncang hingga mengaduh.

Rasanya sangat luar biasa, seperti ingin waktu berhenti di saat itu juga. Namun Ranu masih mengingat nyawa bayi yang dikandungnya sembilan bulan dan keempat anaknya yang lain. Bagaimana nasib mereka jika dia mati sekarang?

Tangan kanannya yang ringkih memeluk erat pinggang sang suami. Sementara tangan kiri memegang besi belakang kuat-kuat agar ia tidak terjatuh.

Untuk melupakan rasa sakit, Ranu terus menerus menasihati dirinya. “Aku harus kuat, aku bisa melewati semuanya seperti saat melahirkan keempat anakku sebelumnya.”

Kini mereka hendak melewati sebuah tanjakan kecil jalan setapak yang jalurnya tidak mulus.

“Siap-siap,  Neng! Ada tanjakan di depan, tahan, ya!” Herman memberitahunya.

“Argh, sakiiit A!” teriaknya mengaduh, padahal Herman sudah berusaha sepelan mungkin melewatinya. Ranu merasa sesuatu yang hangat mendesak keluar seiring rasa mulas yang sangat kencang.

Mereka harus bersabar. Kebun yang mereka lalui masih panjang. Kebun yang ditanami pohon rambutan dan bermacam tanaman lainnya tampak gelap dan suram di kiri dan kanan jalan. Subuh sebentar lagi datang. Warga belum ada yang keluar rumah satu pun.

Kendaraan mereka akhirnya Keluar kebun rambutan, lalu melewati rumah-rumah warga. Namun, tantangan belum berakhir. Jalan gang memang lebih mudah dilalui. Akan tetapi, jalan naik dan antar sambungan itu tidaklah rata. Penuh gundukan dan bahkan ada beberapa bantalan yang dibuat dengan sengaja agar pengendara memelankan motornya. Orang-orang menyebutnya ‘polisi tidur’. Jangan ditanya bagaimana rasanya ketika melewati itu. Bayi di dalam perutnya seperti mau keluar.

“Cepat, A! Ranu sudah enggak kuat. Bayinya mau keluar, sudah ganjal kepalanya!”

Meskipun Ranu menahan sekuat tenaga dengan cara duduk menekan ke sadel motor, tetap saja tekanan dari dalam itu terasa mendesak keluar. Herman pun semakin panik.

“Tenang, Man. Kamu bisa, Man,” batinnya.

Dalam perjalanan, batin Herman dipenuhi berbagai hal yang berkecamuk.

Siapa yang tidak kenal Herman si Pengepul hasil bumi? Setiap hari ia keliling kebun mencari buah gori atau nangka muda, pepaya, pisang, kelapa, dan daun tangkil atau melinjo untuk dijual ke pasar. Lalu hasilnya dibayarkan kepada pemilik lahan sesuai harga yang disepakati. Sisanya barulah menjadi miliknya. Meski tak banyak tetapi sangat berguna membeli kebutuhan pokok keluarga, seperti beras, garam, dan minyak tanah.

Bagi Herman, mengangkat puluhan kilo hasil bumi dengan muatan penuh ke atas keranjang di jalan setapak–yang sangat cocok untuk medan olahraga motorcross—adalah hal yang biasa. Saking lihainya mengendarai, jarang sekali kendaraannya terjatuh. Membawa istri, sejujurnya lebih ringan. Hanya saja, karena satu paket ibu dan bayi dalam kandungan tak bisa dipisahkan, ia sedikit gugup karena harus ekstra hati-hati.

Rintihan sang istri di belakang punggungnya terasa makin kencang, seiring remasan di pinggang yang terasa panas. Dan itu justru membuatnya semakin sulit untuk fokus ke jalan yang licin. Samar-samar rumah bidan di seberang jalan desa mulai terlihat, membuat harapannya kembali meningkat.

“Argh … sakit, A!” Ranu semakin sering berteriak.

“Sabar, Neng. Sabar, ya.” Herman berusaha menenangkan istrinya, nyatanya ia sendiri juga mati-matian melawan kegugupan.

“Ya Allah, jika kau nyata, izinkan aku selamat membawa istri dan calon bayiku.” Dalam hati, Herman tak henti memanjatkan doa. Terbayang semua dosa yang pernah dilakukannya.

“Maafkan aku, Ya Allah, jangan Engkau timpakan dosaku pada anak istriku. Biarkan aku sendiri yang menanggungnya, jangan istriku.”

Mata Herman mulai terasa memanas, meski sekuat tenaga ditahannya. Ia takut penglihatannya samar dan mengakibatkan hal yang tidak diinginkan terjadi pada anak istrinya.

Warna putih tembok rumah bidan desa itu mulai terlihat bersama asa dan harapan di dada Herman dan istrinya.(*)

Subang, 29-11-2021

Gloria Pitaloka, perempuan 36 tahun ini adalah ibu dari tiga orang anak. Menyukai petualangan hingga ke pelosok desa.

Editor : Rinanda Tesniana

Gambar : https://pin.it/11blVDc

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply