RANIA INGIN TIDUR DI RAHIM IBU

RANIA INGIN TIDUR DI RAHIM IBU

RANIA INGIN TIDUR DI RAHIM IBU

Oleh : Fika Anggi

 

Gadis dua puluh dua tahun itu memandang dirinya di dalam kaca. Pipi yang sebelumnya berisi kini menjelma cekungan penampung air mata. Sembab di pelupuk beradu dengan lingkaran hitam kedukaan. Rambut kusut lungsur, terserak di pundak, masai bergumpal karena keringat dan tangis yang tak segera lerai. Bibir kering pucat, tak segaris senyum terlihat. Wajah Rania menua dalam hitungan minggu, belasan tahun lebih banyak ketimbang usianya yang sungguh.

            *    * *

Tangan Rania merapikan anak rambut yang ditiup kesiur angin. Keceriaan memancar begitu cerlang ketika ditatapnya panorama sempurna menghampar di depan mata.

Puncak Semeru menyembul dari balik selimut mega yang berarak lembut menebah cahaya surya, memetakan larik-larik aurora. Menyambut kedatangan rombongan mahasiswa tiba di desa tempat mereka berkarya selama enam pekan. Guruh air dari coban di mulut desa, cericit burung gereja dan suara tonggeret di batang-batang angsana seumpama serenade alam, menerima jiwa-jiwa muda dengan tangan terbuka. Harum bunga kopi yang tengah bersemi mengirim luapan semangat menerapkan ilmu yang didapat di bangku kuliah.

“Rania, tugasmu dua hari ini mencari tahu potensi desa ini, seberapa jauh warga mengenal dan memanfaatkan potensi tersebut. Setelah semua kamu petakan, kasih laporan padaku, kita diskusikan gimana cara memberdayakan warga dan potensi alam di sini,” tukas Hendrawan membuka rapat pertama setelah rombongan mereka beramahtamah dengan penduduk dusun. 

“Okaik.” Rania menjawab singkat perintah ketua regunya. Sebagai mahasiswi fakultas Humaniora, tentu saja Rania yang dipasang untuk terjun langsung berinteraksi dengan warga. Rania cukup gembira karena dengan begitu ia bisa menghabiskan lebih banyak waktu dengan pemuda pujaannya itu.

Sudah sejak semester lalu Rania memperhatikan Hendrawan. Bermula dari sore ketika gerimis mericis dan kaki Rania berlompatan kecil menghindari genangan air. Motor Supra Hendrawan melintas dan menawarinya tumpangan. Bau minyak rambut Hendrawan yang menelusup lembut di antara aroma petrichor memerangkap udara dingin menyublim di hati Rania. Gadis itu tiba-tiba saja jatuh cinta.

Hendrawan cukup tersohor di kampus. Seperti kebayakan anak Fisipol Hendrawan aktif di beberapa organisasi mahasiswa. Pembawaannya yang mudah akrab membuat Hendrawan populer di lingkungan perkuliahan. Kawannya tersebar di semua fakultas, penggemarnya ada hampir di setiap kelas. Tampan, cerdas, supel dan humoris adalah kepribadian yang dilabelkan para mahasiswi pemuja Hendrawan. 

*    * *

“Mesin roaster sederhana yang kita bikin sudah diujicoba kemarin, dan cukup memuaskan. Biji kopi bisa matang dan kering sempurna. Mesin giling yang masih rewel, hasil gilingannya belum sehalus mesin bikinan pabrik. Ini masih dicek lagi sama Wahyu,” Rania mendorong punggungnya menyandar pada batang angsana. Siang itu terik sekali, Hendrawan mengajak menyusun laporan di sebuah bukit kecil di utara desa. KKN akan berakhir dalam beberapa hari, tapi laporan kerja tim belum tersentuh sama sekali.

“Soal pengemasan yang ditangani Icil juga sudah beres, minggu lalu karang taruna sudah mulai menyablon plastik dalam beberapa ukuran. Tinggal Yulia yang masih sibuk mengajari tata kelola keuangan pada perangkat dusun, hmmff …” Rania terkejut menyadari bibir Hendrawan mencuri satu pagut kecil darinya. Wajahnya bersemu merah, antara kaget, malu dan sedikit marah.

“Maaf, sebenernya sudah cukup lama aku naksir kamu. Tapi kamu sepertinya tidak tertarik padaku.” Rania membelalakkan mata mendengar pengakuan Hendrawan. Meski menyukai Hendrawan, Rania tak suka menjadi sorotan. Rania adalah penggemar drama korea, di mana gadis-gadis ditampilkan anggun (atau kaku?) saat mengagumi seorang teman lelaki. Meski beberapa kawan dekatnya tahu ia menyukai si bintang kampus, terang-terangan mengejar Hendrawan tak ada dalam kamus Rania.

“Anu, aku sebenarnya juga suka kamu. Tapi  aku tidak suka kamu memperlakukanku seperti tadi. Maaf, aku berbeda dengan teman-teman wanitamu yang lain.” Berkencan dengan Hendrawan artinya menerima dirinya menjadi pembicaraan seantero kampus. Apalagi bisik-bisik yang ia dengar Hendrawan suka berganti-ganti kekasih.

“Aku benar-benar minta maaf. Semoga kamu tidak membuatnya jadi masalah besar.” Rania mengangguk, lalu menunduk, menyembunyikan pipinya yang tersipu. Matanya kembali menekuri lembar-lembar kertas kerja di depannya.  

    “Ran, besok sore kamu bisa nggak bantu aku ngetik laporan-laporan ini?” 

“Kenapa ndak minta tolong yang lain?”

“Nggak papa, kan, biar aku bisa kenal lebih dekat sama kamu.” Rania mengangguk setuju.

*    * *

“Sudah beres nih, tinggal konklusi sama penutup.  Kasih ke Asrur, dia udah biasa bikin gini-gini.” Rania mengangsurkan laptop ke hadapan Hendrawan, merapikan berkas-berkas yang berserakan. Tangannya kemudian meraih gelas teh yang disuguhkan sejak tadi tapi tak sempat disentuhnya. Tinggal seruangan berdua dengan Hendrawan membuatnya salah tingkah dan memilih mengetik dalam kecepatan cahaya. “Pak Dasim ke mana?”

“Kayaknya sih ke rumah Pak Kasun, ngurus apa gitu.” Hendrawan masih menekuri layar monitor dan mencocokkan hasil ketikan dengan lembaran jurnal di tangan, “kenapa?”

“Sudah jam sembilan, aku mau pamit.”

“Kuantar, ya?”

“Ndak papa, aku jalan aja. Ndak terlalu jauh, kok.” 

“Dikit lagi hujan, ntar nggak keburu.”  

Malam bulan sabit, lengkung selarit yang menggayut di langit, timbul tenggelam di balik mendung bergulung-gulung. Udara terasa makin menggigit, Rania menaikkan leher sweaternya dan melipat kedua tangan ke dada. Beberapa kali ia menguap dan mengerjapkan mata.

“Hen, buruan kalau mau ngantar, aku udah ngantuk.”

*    * *

Beberapa suara asing yang berat menanyakan banyak hal kepada Bapak di ruang tamu. Rania menolak keluar kamar untuk menemui mereka. Percuma saja memberi keterangan jika pada akhirnya ia yang dipersalahkan. Meski tak tega membiarkan Bapak menjawab pertanyaan-pertanyaan yang beliau sendiri tak tahu jawabannya, Rania tak punya nyali untuk bertemu dunia. 

Hal terakhir yang tertinggal di ingatan Rania tentang malam itu hanya ketika beberapa kali kepalanya terantuk ke pundak Hendrawan. Didengarnya Hendrawan mengatakan sesuatu, tapi ia tak mampu mencerna dalam kondisi Alpha. Kemudian terbangun dengan pening di kepala dan ngilu di pangkal paha. Rasa terkejut yang sangat membuatnya bergegas bangkit dan mendapati celana jeansnya turun setengah. Segera Rania melolong menyebut nama Tuhan, Hendrawan membekap mulut Rania, menenggelamkan tangis gadis itu di dadanya yang masih telanjang.

Alih-alih mengabulkan gugatan Rania, kampus justru memberi nilai C karena Rania memutuskan pulang sebelum KKN berakhir. Dekan malah menuduhnya sengaja mencoreng nama baik universitas ketika datang mengadu. Lulu dan teman-teman lainnya bukan membela dirinya di depan Kepala Jurusan justru tidak mempercayai ceritanya, sangsi karena setahu mereka, Rania memendam perasaan kepada Hendrawan. Bisa saja Rania yang memanfaatkan keadaan.

Rania memeluk tubuhnya sendiri karena setelah ini tak seorang pun sudi memeluknya lagi. Rania tak ingin terlahir ke dunia ini, Ia hanya ingin melipat tubuhnya dan meringkuk di rahim Ibu. (*)



Fika Anggi, seorang perempuan yang sedang belajar menjadi ibu, manusia dan penulis yang baik.

 

 

Leave a Reply