Rangkul Pundak Kawan, Meski Beda Pilihan

Rangkul Pundak Kawan, Meski Beda Pilihan

Rangkul Pundak Kawan, Meski Beda Pilihan

Oleh: Evamuzy

“Bro, di pilpres nanti loe pilih siapa? Joko atau Bowo?”

“Gue pilih yang pasti sajalah. Yang baru belum tentu paham negara kita butuh apa. Gampangnya, daripada coba-coba, mending yang udah pernah saja.”

“Gile, loe, udah jelas-jelas kerjanya begini, mau dipertahankan? Gue mah pilih yang baru. Program-programnya jelas menguntungkan rakyat.”

“Ya udah. Loe boleh bangga dengan pilihan loe, Gue tetep sama pilihan gue.”

Akhir-akhir ini sering mendengar percakapan seperti di atas? Ya, pasti. Sebab, negara tercinta kita sedang masuk pada satu musim saat ini. Eits, bukan musim rambutan apalagi musim duren, ya, melainkan musim politik atau musim pilpres. Pemilihan presiden secara langsung, mengingat bentuk negara kita adalah demokrasi. Setiap warga negara dengan usia memenuhi syarat sebagai pemilih, diberikan kebebasan menggunakan hak pilihnya sesuai hati nurani. Ingat! Diulang kembali, sesuai hati nurani. Siapa yang baginya paling tepat untuk menduduki kursi kepala negara.

Kebebasan memilih inilah yang mengarahkan masyarakat merasa bebas beropini. Namun, sayangnya, sekarang-sekarang ini justru mata kita lebih sering disuguhi nilai kebebasan yang kebablasan. Saling menjunjung tinggi satu pasangan calon, bahkan sudah terlalu tinggi, dielu-elukan bagai sosok tak bercela. Sementara kepada pasangan calon lawan, dicela sampai tak ada habis-habisnya. Lalu ke mana pribadi Indonesia yang terkenal paling toleran itu?

Teman duduk bisa menjadi lawan bicara yang sengit jika sudah bicara topik pilpres. Atmosfer ruang kerja semakin panas, ketika satu sama lain saling puji dan cela pilihan masing-masing. Ruang keluarga terasa asing, jika mulai membahas sosok kebanggaan. Ah, rasanya bumi semakin jauh dari saling menghargai dan ramah tamah.

Setiap hari, semakin banyak saja dari kita yang sibuk menelusuri rekam jejak dua kandidat. Mencari keunggulan dan kebobrokan dua pasangan capres-cawapres. Kemudian, semakin dipermudah oleh sosial media sebagai sarana mempublikasikannya. Yang menjadi pilihan, akan semakin ditinggikan, sementara yang bukan pilihan, semakin dihujat tak sudah-sudah. Sampai yang ‘buta politik’ semakin bingung saja siapa arah yang paling benar.

Semakin hari, kita semakin jauh dari tujuan awal demokrasi, yaitu saling menghargai bukan saling mencaci. Saling berangkulan, bukan untuk bermusuhan. Saling memperkenalkan, bukan untuk mengolok-olok perbedaan.

Beda adalah unsur demokrasi. Sudah seharusnya ada, dengan maksud agar masyarakat dapat bersikap lebih dewasa. Tetap tenang meski dalam dua kubu yang tak sama.

Mulailah mengenalkan pasangan calon dengan menyampaikan keunggulannya tanpa menjatuhkan lawan. Sebab, mari ingat kembali, dua pihak kandidat memiliki satu tujuan yang sama untuk bangsa ini. Yaitu membawa Indonesia kepada kehidupan yang lebih sejahtera.

Jika suatu negara diibaratkan sebuah tangan dengan lima jari yang berbeda panjang dan bentuknya, maka untuk dapat melakukan berbagai pekerjaan dengan baik, jari-jari itu harus bekerjasama sama, berdiri sejajar saling melengkapi.

Maka, mari saling berangkulan dalam perbedaan. Tunjukkan kepada dunia, kita adalah negeri yang penuh hormat. (*)

Evamuzy, seorang guru pendidikan anak usia dini di sebuah kota kecil.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata