Rambut Spiral Mumtaz

Rambut Spiral Mumtaz

Rambut Spiral Mumtaz

Oleh: Meeza

Mumtaz menatap bayangannya di cermin. Ia baru saja mandi dan mencuci rambut. Ia suka melihat rambutnya jadi lurus dan panjang. Tetap saja, ketika sudah kering, rambutnya akan berubah ke bentuk aslinya. Ia mendengus kesal.

Rambut Mumtaz memang keriting, melingkar-lingkar spiral. Gadis kecil yang masih duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar itu terlihat manis dan menggemaskan dengan rambut spiralnya itu. Begitu pendapat orang-orang yang mengenalnya. Namun, Mumtaz tidak suka. Ia ingin rambutnya seperti rambut model-model iklan pencuci rambut. Mereka cantik dengan rambut lurus dan panjang.

Bibir Mumtaz mengerucut. Ia beranjak dari depan cermin dan duduk di atas tempat tidur. Teman-temannya di sekolah pernah bercerita tentang proses pelurusan rambut. Mumtaz ingin mencobanya. Sayangnya, Bunda tidak memperbolehkan karena Mumtaz masih kecil. Bunda tidak ingin Mumtaz terpapar bahan-bahan kimia secara berlebihan. Apalagi setelahnya masih ada perawatan khusus agar rambut tidak rusak.

“Hmm, tampaknya aku harus menunggu sampai besar,” gumam Mumtaz kepada dirinya sendiri. “Atau aku harus merayu Bunda lagi?” lanjutnya sambil tertawa kecil.

Hari Minggu yang cerah. Om Rindang menjemput Mumtaz di rumahnya. Ia adalah adik bungsu Ayah.

Om Rindang adalah seorang dokter spesialis kanker anak. Ia sering ke rumah Mumtaz dan menceritakan pasien-pasiennya. Ceritanya selalu membuat Mumtaz tertarik. Ia jadi ingin mengunjungi pasien-pasien Om Rindang. Beberapa waktu yang lalu ia mengatakan keinginannya itu. Om Rindang berjanji suatu hari akan mengajaknya. Hari ini beliau menepati janjinya.

“Tidak apa-apa Mumtaz ikut?” tanya Bunda kepada Om Rindang. Ayah dan Bunda khawatir tugasnya di rumah sakit akan terganggu.

Om Rindang tersenyum. “Tenang saja, Mbak. Hari ini hari libur saya kok. Saya datang sebagai pengunjung pasien,” jawab beliau. Mereka pergi setelah berpamitan kepada kedua orang tua Mumtaz.

“Siapa saja pasien Om yang Mumtaz ingat?” tanya Om Rindang saat mereka berjalan di koridor rumah sakit.

“Semua, Om,” jawab Mumtaz. Ia memang masih ingat semua pasien yang diceritakan Om Rindang. Beberapa di antara mereka seumuran dengannya.

“Masih ingat Putri?” tanya Om Rindang lagi. “Hari ini kita akan mengunjunginya.”

Mumtaz mengangguk mengiyakan. Putri seumuran dengannya. Kata Om Rindang, Putri adalah anak yang ceria dan baik hati. Ia tidak pernah patah semangat meskipun menderita kanker.

Mereka tiba di depan sebuah kamar. Om Rindang perlahan membuka pintu. Tampak seorang anak perempuan duduk di atas ranjang. Ia sedang membaca buku. Punggungnya bersandar di kepala ranjang. Ia tersenyum ceria mengetahui kedatangan Om Rindang.

“Selamat pagi, Dokter,” sapa anak itu. Ia langsung menutup buku yang dibacanya.

“Selamat pagi, Putri. Apa kabar?” balas Om Rindang. Ia berdiri di dekat tempat tidur Putri. “Sendirian?”

Putri mengacungkan dua jempol untuk menjawab pertanyaan pertama Om Rindang. “Mama dan Papa sedang sarapan di kantin. Tadi pagi kakak perawat sudah datang.”

Mumtaz tercengang. Sejak pintu kamar Putri terbuka tadi, ia tidak melepaskan pandangannya dari Putri karena satu hal. Kepala Putri plontos, bahkan kelihatan hampir gundul. Secara tidak sadar Mumtaz menyentuh rambutnya yang dikucir dua.

“Oh iya, kenalkan. Ini keponakan Dokter, namanya Mumtaz. Kalian seumuran,” ujar Om Rindang.

Mumtaz mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia mengulurkan tangan sambil tersenyum kepada Putri. “Hai, Putri,” sapanya.

Putri segera membalas uluran tangan Mumtaz. “Halo, Mumtaz,” sahutnya. Senyumnya ceria dan matanya berbinar-binar.

Orang tua Putri datang tidak lama setelahnya. Mereka mengobrol banyak hari itu, sesekali bercanda sampai tertawa terbahak-bahak.

“Putri baru menjalani kemoterapi untuk pengobatan kankernya. Akibatnya banyak rambutnya rontok,” urai Om Rindang dalam perjalanan pulang ke rumah Mumtaz. Dari cerita Om Rindang, Mumtaz tahu bahwa kemoterapi adalah salah satu cara pengobatan kanker. Kemoterapi memiliki efek yang tidak terlalu menyenangkan pada tubuh penderita kanker, salah satunya adalah kerontokan rambut. “Putri yang meminta rambutnya dipangkas seperti itu,” lanjut Om Rindang.

Mumtaz mengangguk. Matanya menatap jalan di depan. Ia tidak bisa membayangkan jika ia jadi Putri. Mungkin ia tidak bisa seceria Putri.

Tiba-tiba Mumtaz sadar akan sesuatu. Lagi-lagi tangannya menyentuh rambut spiralnya. Ia merasa seperti diingatkan. Rambut spiralnya ternyata cantik juga dan ia bersyukur karenanya.

“Bunda, Mumtaz mau bilang sesuatu,” ujar Mumtaz ketika sudah berada di rumah. Bunda sedang menyiapkan makan malam. Om Rindang langsung pulang setelah mengantar Mumtaz.

Bunda yang sedang memotong sayuran berhenti sejenak dan memandang ke arah Mumtaz. “Boleh. Mumtaz mau bilang apa? Pasti tentang kunjungan ke rumah sakit dan teman baru ya?” tanya beliau sambil tersenyum lembut.

Mumtaz diam sebelum menjawabnya. “Nanti Mumtaz ceritakan itu, Bun,” jawab Mumtaz. “Mumtaz mau bilang, Mumtaz sudah tidak ingin meluruskan rambut. Mumtaz suka rambut ini.”

Bunda takjub. Ayah yang baru memasuki dapur dan mendengarnya juga kaget. Ketika berbicara tentang rambut, Mumtaz biasanya mengeluh atau merengek agar diizinkan meluruskannya.

“Kenapa tiba-tiba sekali?” tanya Ayah kali ini.

Mumtaz hanya tersenyum lebar. Ia berkata dalam hati akan menceritakan sebabnya nanti.[*]

MeezA aktif menulis cerpen, puisi, esai, dan artikel. Tulisan-tulisannya sudah pernah diterbitkan dalam buku antologi bersama. Hubungi dia di akun FB Meezaa.

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita