Rahasia Tari

Rahasia Tari

Rahasia Tari

Oleh: Triandira

Memang benar, yang namanya masalah akan selalu hadir dalam kehidupan pernikahan mana pun. Meski berbeda perkara, tetapi semua pasangan suami istri pasti pernah merasakannya. Tak peduli seberapa lama hubungan itu dijalin dan sekuat apa cinta yang tumbuh di hati masing-masing. Contohnya saja aku dan Tari. 10 tahun waktu yang telah kami lewati bersama nyatanya tak semudah yang dibayangkan. Kesalahpahaman dan pertengkaran pun seolah menjadi hal yang mustahil untuk dihindari.

“Astagfirullahaladzim … astagfirullahaladzim.” Cepat-cepat kutepis bayangan buruk yang melintas di pikiran. Sesekali menghela napas untuk mengatur kembali irama jantung yang berdebar tak keruan.

“Mas sayang banget sama kamu, Dik,” bisikku usai berzikir sambil memegang tangannya. Tari bergeming, sama seperti biasanya ketika aku bisa dengan leluasa memandangi wajah yang cantik itu. Setiap hari, saat ia sedang terlelap di dinginnya malam.

Ah, aku memang beruntung bisa menikahinya. Tidak hanya baik dan rupawan, tetapi Tari juga merupakan sosok yang pengertian. Ia bahkan tak keberatan dengan keadaanku yang terlahir dari keluarga sederhana. Katanya tak masalah, asalkan kami bisa membina rumah tangga yang sakinah hingga akhir hayat, maka itu sudah lebih dari cukup. Jujur, aku bahagia mendengarnya. Namun sekarang … entahlah. Aku rasa Tari mulai berubah. Tak lagi seperti dulu, saat kami masih berstatus sebagai pengantin baru.

“Kok, Mas belum tidur?” tanyanya membuyarkan lamunanku. Sontak, kami bertatapan. Di saat yang sama, kuusap rambut Tari tanpa melepaskan senyum di bibir. Aku ingin ia tahu bahwa cintaku masih utuh untuknya. Tak peduli dengan apa pun yang sedang terjadi di antara kami.

“Belum ngantuk aja. Lagian sayang kalau tidur sekarang,” balasku memancing perhatiannya. Aku harap ia tak lupa dengan anniversary kami yang jatuh pada hari ini. Entah kenapa, sejak pagi belum ada tanda-tanda bahwa ia hendak mengucapkan sesuatu kepadaku. Jelas berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Bukan hanya ucapan romantis, tetapi kue yang lezat pun tak pernah lupa ia siapkan.

Aku masih menunggu, sementara yang diajak bicara terus mengucek-ngucek mata. Kelihatannya masih mengantuk usai terbangun tadi.

“Sayang? Maksud, Mas?”

“Lha, emang kamu nggak tau?”

“Tau apa?”

“Nih, ada bidadari yang lagi rebahan, masa iya dianggurin. Sayang, dong,” godaku seraya membetulkan posisi duduk. Padahal dalam hati sudah sangat gemas. Sial memang, kenapa jadi perkataan itu yang keluar dari mulutku?

“Apaan sih, Mas. Nggak usah ngegombal gitu, deh.”

“Lho, siapa yang ngegombal? Serius, Dik. Kamu itu cantik dan ….”

“Dan …?”

“Mas sayang banget sama kamu.”

Tari terkekeh. Sesaat kemudian mencibirku karena telah merayunya dengan kalimat yang menggelikan. Dasar wanita, paling pintar menyembunyikan perasaan. Bilangnya tidak suka padahal hati sedang berbunga-bunga.

“Oh, ya. Masih inget kan, hari ini hari apa?” Aku kembali berbasa-basi.

“Hari Senin,” jawabnya dengan muka polos.

“Yah … bukan itu maksudnya, Dik.”

“Terus apaan?”

“Masa nggak tau. Biasanya kan, kamu yang paling inget.”

“Udah, ah. Lagi males main tebak-tebakan. Aku keluar dulu, ya.” Tanpa menghiraukan permintaanku yang masih ingin berbincang bersamanya, Tari bergegas bangun.

“Eh, mau ke mana?”

“Tuh …,” jawabnya sambil mengarahkan jempol keluar ruangan, “udah denger, kan?”

Aku menghela napas. Rasanya kesal melihat sikap Tari yang seperti itu. Memangnya ia pikir aku tidak tahu apa. Bukan dering telepon yang membuatnya bergegas pergi, melainkan teriakan seorang lelaki yang juga mengharapkan kehadirannya saat ini.

***

“Ini obatnya, Le. Jangan lupa diminum, ya.”

“Lho, kok Ibu yang bawain. Tari mana?” tanyaku sembari meletakkan kacamata, lalu mengambil butiran pil yang Ibu sodorkan.

“Istrimu lagi ada urusan, makanya—”

“Keluar lagi?” selaku cepat. “Ke mana? Kenapa nggak izin dulu sama aku, Bu?”

Wanita itu terdiam sejenak. Dari raut wajahnya yang sedikit keriput, tampak jelas jika ia sedang merahasiakan sesuatu. Terlihat juga dari gelagatnya yang mendadak gugup usai aku menanyakan beberapa hal mengenai Tari.

Belakangan ini aku merasa ada yang janggal di antara mereka berdua. Sepertinya ada masalah penting yang sengaja mereka sembunyikan dariku. Akan tetapi, membujuk Ibu agar menceritakan segalanya sungguh bukan perkara yang mudah. Ia pandai berkelit dan mencari-cari alasan agar aku tak lagi bertanya.

“Oalah … sampai lupa. Ibu harus ke warung sekarang,” kilahnya tanpa sedikit pun menoleh ke arahku, lantas bergegas pergi. Meninggalkanku sendirian yang masih termangu dengan wajah kesedihan.

“Sebenarnya apa yang kamu lakukan, Dik?”

Deru motor yang melintas dan berhenti di depan pagar menarik perhatianku untuk melihatnya. Perlahan, kubuka jendela kamar untuk memastikan keadaan sekitar. Tak ada yang mencurigakan, sampai akhirnya terlihat seseorang sedang berjalan dengan langkah tergesah-gesah, menerobos hujan sambil memegang payung di tangan. Itu Tari dengan lelaki berjaket abu-abu yang berjalan di sampingnya. Mereka … bergandengan tangan.

***

Usahaku berhasil. Setelah susah payah berlatih—berjalan menggunakan tongkat setiap hari, akhirnya aku bisa beraktivitas sebagaimana mestinya. Tanpa bantuan orang lain. Stroke ringan yang kuderita memang sempat membuatku merasa cemas, tetapi syukurlah sedikit demi sedikit aku sudah bisa melakukan banyak hal seorang diri. Termasuk memakai kemeja yang juga kuambil sendiri dari dalam lemari.

“Mas mau keluar?” tanya Tari dari balik pintu setelah melihatku berdiri di depan cermin dengan penampilan yang sangat rapi.

“Hm. Sebentar lagi kamu mau pergi, kan? Biar mas temenin.”

“Tapi ….”

“Udah, nggak papa. Lagian kalau di rumah terus, lama-lama mas bosen juga,” kilahku sambil tersenyum kecil. Sekarang Tari takkan bisa menghindar lagi. Aku sudah memutuskan untuk menemaninya ke mana pun ia pergi. Lagi pula keadaanku sudah membaik.

“Iya, aku tau Mas Adi pengen nganter. Tapi kita nggak usah ke rumah sakit hari ini, jadi ngapain keluar?”

“Lho, bukannya—”

“Ayah …!” teriak Dito, anak kedua kami yang tiba-tiba muncul dengan wajah riang kemudian menghambur ke pelukanku.

“Udah liat, kan? Dito udah sehat, Mas,” jelas Tari dengan mata berkaca-kaca. Aku tahu, tak mudah baginya melewati waktu dengan keadaan yang mencemaskan. Sudah dua minggu lamanya anak kami itu jatuh sakit hingga tak bisa masuk sekolah.

Mengingat hal itu, aku jadi kasihan terhadapnya, tetapi di sisi lain aku juga merasa kesal. Tak habis pikir dengan sikap Tari belakangan ini—sebelum Dito mengalami kesembuhan—yang secara diam-diam sering keluar rumah. Parahnya, Ibu juga ikut-ikutan menutupinya dariku.

“Alhamdulillah,” balasku cepat, lantas menghapus air mata di wajah Tari. Bersamaan dengan langkah Dito yang bergegas keluar kamar, menghampiri neneknya. “Dik ….”

Istriku itu menoleh. “Iya, Mas?”

“Jangan nangis lagi, ya.”

“Hm.”

“Dan jangan gitu lagi.”

Tak mengerti dengan apa yang kumaksud, Tari hanya berdiam diri dengan wajah kebingungan.

“Masih sayang kan, sama mas?” tanyaku kesekian kali selama berumah tangga dengannya. Ya, tak sama dengan pasangan pada umumnya, di sini justru akulah yang sering bertanya kepada sang istri. Perihal perasaannya terhadapku, bukan sebaliknya.

“Nggak.” Sesuai dugaan, aku tak lagi terkejut dengan jawabannya barusan. Ah, ia memang wanita yang istimewa. Bisa membuatku kesal sekaligus bahagia di waktu yang bersamaan.

“Oh, ya?”

“Hm.”

“Kalau nggak sayang, kok mau-maunya sih dipeluk?”

“Ih … ngeselin.” Sekarang giliran ia yang merasa kesal. Seperti biasa, saat ia balas memelukku, takkan kusia-siakan kesempatan untuk mencurahkan rasa cintaku terhadapnya. Membisikkan kalimat yang sering dianggapnya sebagai rayuan belaka.

“Mas …,” bisiknya usai kami tertawa kecil karena tingkahku barusan.

“Ya?”

Happy anniversary, ya. Maaf karena kemarin udah lupa nggak ngucapin ke Mas.”

Aku tersenyum dengan jantung yang berdesir lembut. “Happy anniversary juga, Sayang.”

“Nggak marah kan, sama aku?”

Mendengar ia bertanya demikian, aku langsung menggeleng pelan. “Nggak.”

Akhirnya, hanya kata itu yang mampu kuucapkan. Beberapa saat kemudian, kami pun saling terdiam. Biarlah rasa penasaranku belum terjawab, lagi pula masih ada waktu untuk menanyakannya lagi. Mungkin nanti malam menjelang tidur, dan aku harap Tari bisa berkata jujur. Tentang kepergiannya bersama Dito ke rumah sakit. Berulang kali, tanpa sepengetahuanku.

Entah Tari lupa atau sengaja melakukannya, tetapi yang jelas aku juga orangtua Dito. Jadi wajar bukan jika aku cemburu?(*)

Malang, 25 desember 2018.

Tentang Penulis:

Triandira, penyuka fiksi yang belum bisa move on dari mi ayam dan durian. Jika ingin menghubunginya bisa melalui akun FB dengan nama Triandira, email: wahyutriandira1@gmail.com

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata