Rahasia Sakit Guruku

Rahasia Sakit Guruku

Rahasia Sakit Guruku

Oleh: Rainy Venesiia


Saat aku datang, wanita itu langsung menyambutku dengan cerita soal sakitnya yang parah. Dia menunjukkan hasil dari serangkaian tes, sambil mengumpat bahwa dokter-dokter itu sangat payah sampai tak bisa mendeteksi penyakit yang dia derita. Katanya, mereka malah memuji dirinya sebagai wanita yang sangat sehat dan bugar di masa pensiunnya. Dia tak menerima hal itu, lalu memutuskan untuk beralih pada pengobatan alternatif. Dia sampai menjalani proses rukiah segala. Namun, hasilnya sama. Sama-sama membuatnya kecewa. Dia merasa semua orang sedang berkomplot membohonginya agar dia percaya bahwa keadaannya baik-baik saja. 

“Kamu jangan percaya kepada mereka. Aku sedang sakit. Tiap hari, sakitku bertambah. Kamu jangan menambah penderitaanku dengan memercayai mereka,” keluhnya sambil memijit keningnya dengan balsam aroma terapi yang dia beli dengan harga lima kali lipat. Dia bilang, balsam itu khusus dibuat untuknya. Balsam itu tak akan ditemukan di toko obat atau apotek mana pun. Aku mengangguk untuk membuat hatinya tenang, meskipun aku yakin, balsam itu sama persis dengan yang kubeli untuk ibu mertuaku.

“Jadi, apa yang Ibu rasakan selain insomnia akut?”

Wanita yang dulu menjadi wali kelasku saat kelas tiga SMA tersebut melanjutkan ceritanya. Insomnianya tak kunjung sembuh, meskipun dokter sudah memberi obat tidur dosis tinggi. Katanya, dia bisa sampai tiga hari tiga malam tak bisa tidur. Kalau pun tertidur, dia selalu merasa gelisah, takut tiba-tiba ada yang menculiknya ke suatu tempat, lalu melemparnya ke lembah pengakuan dosa.

Aku ingin tertawa. Namun, tentu saja kutahan. Aku tak ingin membuatnya tersinggung dan sakit hati, lalu mengusirku dengan sumpah serapah. Aku tahu apa yang dimaksud lembah pengakuan dosa. Ibuku sering bercerita soal itu sebelum tidur, bahwa seorang anak yang berbohong akan diculik saat tidur lalu dilempar ke lembah yang gelap dan mengerikan. Ular-ular akan mematuk tubuh kita perlahan, tapi kita tak akan mati. Hanya rasa sakit yang terus-menerus menyiksa hingga kita mengakui kesalahan dan berkata yang sebenarnya. Ibu kerap bercerita dan pasti diakhiri dengan nasihat bahwa aku harus selalu jujur pada siapa pun. 

Aku menatap Bu Agni dengan saksama. Bobot tubuhnya menurun drastis sejak kali terakhir aku mengunjunginya setahun lalu. Rambutnya didominasi warna putih. Sorot matanya tak setajam dulu, bahkan aku tak yakin apakah matanya masih melihat dengan normal setelah baru saja dia bercerita hal yang aneh. Katanya, dia selalu merasa lapar, meskipun seharian mulutnya terus mengunyah berbagai makanan. Rasa lapar itu seiring rasa takut yang membuat jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Saat kutanyakan perihal rasa takutnya, dia diam sebentar seolah-olah sedang mengingat sesuatu. Lalu, dia berbisik bahwa tiap malam ada gadis cantik yang selalu memanggilnya di bawah jendela kamar. Karena terdorong rasa penasaran, pada suatu malam, dia memberanikan diri mengintip dari balik gorden dan tampak olehnya seorang perempuan sedang menatap ke arahnya. Wajah perempuan itu mirip sekali dengan wajah Erika.

Aku memicingkan mata ketika nama itu disebut. Erika. Dia teman sebangku sejak kelas satu SMA. Seabrek prestasi membuat dia disayangi oleh hampir semua guru, kecuali Bu Agni, tentu saja. Perilakunya yang sopan dan ramah membuat dia memiliki banyak kawan dan digandrungi beberapa teman lelaki. Aku sahabatnya, tapi sangat tidak menyukainya. Bagiku dia terlalu sempurna, seakan-akan semua keberuntungan diraih olehnya, sedangkan kemalangan menumpuk di pundakku. Bukan saja aku tak punya kawan, tapi aku pun tak punya ayah sejak usia satu tahun. Saat Ibu meninggal, Bu Agni mengajakku tinggal bersama dan berjanji akan merawat diriku sampai jadi orang sukses, sesuai permintaan ibuku. Namun, kerabat Ayah tidak mengizinkan dan akhirnya aku tinggal bersama salah satu paman yang sangat baik tetapi miskin.  

“Kau masih ingat Erika?” Pertanyaan Bu Agni membuatku termenung.

Tentu saja aku mengingatnya. Beberapa hari lalu sebelum aku memutuskan pergi menjenguk Bu Agni, aku dikejutkan oleh pertemuan yang tiba-tiba dan tak diduga. Pertemuan dengan Erika di depan loket apotek sebuah rumah sakit.  

“Apa kamu pernah bertemu dengannya?” Pertanyaan Bu Agni kali ini membuatku tersentak. Aku mencoba menghindar dari beradu pandang dengan matanya yang tiba-tiba setajam dulu. Sorot mata yang selalu mampu melunakkan setiap orang yang menghadang keinginannya, apalagi diikuti telunjuknya yang lentik mengarah pada lawan bicara. Persis yang pernah diceritakan ibuku ketika Bu Agni menyuruhnya menukar nama di atas kertas ujian masuk perguruan tinggi.

“Aku ingin bertemu dengannya.” Kata-katanya tentu saja membuatku merasa terpelanting. 

“Untuk apa?”

“Aku ingin sembuh, As.”

Tiba-tiba saja aku melihat sosoknya berubah drastis dari ketika aku baru datang. Tak ada sedikit pun keraguan yang terpancar dari wajahnya, atau terdengar dari nada suaranya. Jawaban itu seolah-olah telah disiapkan dengan matang oleh otak yang seratus persen waras. Aku menatapnya. Kali ini dia mengalihkan pandangan pada foto yang terletak di meja kecil persis di samping kursi tempat dia duduk. Foto dirinya bersama ibuku.

“Aku telah membayar hutangku pada ibumu. Urusanku dengan ibumu sudah selesai sejak kau menerima SK. Sekarang aku tak ingin kesakitan lagi. Kemarin anak itu datang menjengukku.” 

“Erika?” tanyaku hati-hati. “Ibu bilang apa ke dia?” Tentu saja aku cemas.

Bu Agni diam. Keningnya berkerut seolah-olah sedang mengingat sesuatu. Lama kami terdiam. Kuarahkan pandangan ke sekitar. Tak ada yang berubah. Masih rapi, bersih dan terawat. Sepertinya Bi Narti masih bekerja di rumah ini. 

“Sakitku parah, As. Mungkin hidupku tak lama lagi.” Suara Bu Agni kembali melemah.

“Iya, Ibu sedang sakit. Aku tahu, kok.  Tapi, aku yakin, Ibu sangat kuat, Ibu pasti sembuh.”

Aku mengangguk lalu meraih tangannya sebelum hal buruk terjadi. Kudengar, Bu Agni pernah memukul seorang dokter karena mengatakan bahwa dia baik-baik saja. 

Aku menoleh pada Bi Narti yang baru saja datang. Tangannya cekatan mengeluarkan beberapa tanaman dan sebotol air mineral.

“Obatnya mau diminum sekarang, Bu?” tanya Bi Narti setelah kami bersalaman.

“Ya. Cepat buatkan ramuannya. Aku sudah tak tahan,” kata Bu Agni sambil memegang dadanya.

Bi Narti bergegas ke dapur. Aku segera mengikutinya dan menanyakan beberapa hal padanya. Bi Narti bercerita bahwa ramuan obat itu, Bu Agni dapat dari mimpi. Aku menggeleng dan memeriksa tumbuhan yang baru selesai dibersihkan. Tumbuhan itu hanyalah rumput-rumput biasa yang bisa ditemukan dengan mudah. Bi Narti mengakui bahwa rumput-rumput itu diambil dari pekarangan tetangga. Lalu, sebotol air mineral itu, hanya air mineral biasa yang dibeli di warung lima ribuan. Hanya saja, Bi Narti sengaja pergi dari rumah agak lama, seolah-olah dia pergi ke alamat yang diberikan Bu Agni. 

“Alamat?”

“Alamat palsu, Neng. Bibi cari dan tanya-tanya alamat itu gak ada.”

Aku menghela napas. Memang benar apa yang dikatakan Bu Agni, sakitnya parah. Terlebih ketika Bi Narti bilang bahwa tak ada yang namanya Erika datang menjenguk. Aku membiarkan Bi Narti meneruskan kegiatannya membuat ramuan obat dan segera menghampiri Bu Agni yang kini terbaring di kamarnya. Kulihat matanya terpejam, dadanya naik turun tak beraturan. Seketika aku teringat ibuku dan cerita-cerita masa lalunya bersama Bu Agni di panti asuhan. Wanita yang malang. Bahkan, dia melajang hingga sekarang karena kisah percintaannya tak ada yang sampai ke pelaminan.

Bu Agni membuka mata. Dia melambaikan tangannya agar aku mendekat dan duduk di sampingnya. Kubelai kepalanya dan kucium punggung tangannya. Bagaimana pun juga aku tetap menghormatinya sebagai sahabat ibuku, guruku dan orang yang telah sukarela melakukan hal keji agar aku sukses.

“Apa kau tak tahu di mana Erika?” Kali ini sepertinya dia sangat serius. “Kamu sahabatnya, pasti tahu di mana dia?” Dia mengatakannya sambil menangis. Aku tertegun. Beruntunglah Bi Narti masuk dengan membawa nampan berisi segelas minuman berwarna hijau kehitaman. Baunya sangat menusuk hidung, mengaduk-aduk lambungku. Aku menahan napas melihat Bu Agni menghabiskannya dalam sekali teguk, seolah-olah itu adalah es jeruk yang menghilangkan haus saat udara terlampau panas. 

“Pertemukanlah aku dengannya, As. Aku sudah tak tahan lagi.”

Aku menatapnya hingga pandangan kami beradu dalam waktu yang cukup lama. Ada harapan bercampur penyesalan dalam tatapannya yang redup. Aku mematung melihat Bu Agni. Wanita itu telah kehabisan semangat hidup. Tanpa sadar kepalaku mengangguk membuat senyuman tersungging di bibirnya.

“Apakah kau juga sakit ketika mencurangi ibuku?” Aku tak berniat menanyakan hal yang menurutku tak perlu. Namun, pertanyaan itu terlontar walau dalam bentuk gumaman.

Tak ada jawaban. Namun, matanya yang kini menatap kosong ke jendela, seakan-akan bercerita bahwa dia telah dilempar berkali-kali ke lembah pengakuan dosa. Dia menangis, menjerit dan meracau minta dikeluarkan dari tempat gelap, bau dan terkutuk itu. Dia menoleh padaku sebentar seolah memohon agar aku membawa obat untuk sakitnya. Dia tak ingin tiap malam tubuhnya dilempar kembali ke lembah pengakuan dosa dan dipatuk ular-ular kelaparan.

“Pergilah, aku ingin istirahat. Obat ini lumayan membantu. Aku merasa lebih baik.”

Aku mengangguk. Setelah menyelimutinya, aku meninggalkan wanita itu bersama rasa sakitnya. 

Sepanjang perjalanan, pikiranku dipenuhi dengan Erika. Haruskah aku menemuinya dan menceritakan perihal Bu Agni? Meskipun tak akan mengubah apa pun, tetapi aku akan hancur di hadapannya ketika Bu Agni mengakui telah menukar hasil ujian. Kupikir tak akan ada orang yang ingin melakukan kebodohan seperti itu. Tapi bagaimana dengan Bu Agni? Aku merasa seperti berada dalam film kartun ketika malaikat dan setan bergantian berbisik. Bedanya, saat ini aku tak tahu siapa malaikat dan yang mana wujud setan. 

Tiga jam perjalanan dalam bus antar kota, membuatku cukup lelah. Namun, bukan rumahku yang kutuju, tapi telepon umum di samping rumah sakit tempatku bertemu dengan Erika. Aku masih ingat alamat dan nomor telepon yang dia berikan. Namun, aku tak yakin ingin mengunjunginya.

Hari mulai gelap, memaksaku untuk segera pulang sebelum benar-benar gelap dan seluruh kendaraan umum masuk garasinya masing-masing. Kakiku terasa gemetar menopang tubuh yang lupa diberi nutrisi, bahkan sekedar air putih. Pikiranku terlalu kalut untuk membeli roti atau beberapa buah gorengan untuk mengisi perut, bahkan kue kering yang disuguhkan Bi Narti tak sempat kusentuh dan memang enggan memakannya sebab rasa mual karena bau ramuan. Aku melangkah perlahan, mencari angkot yang akan membawaku pulang. Kutepis bayangan Erika, Bu Agni dan segala cerita di antara kami. Kurasa semuanya akan baik-baik saja. Aku hanya perlu menahan diri untuk tidak mengunjungi kembali wanita malang yang sakit itu. Dan aku melakukannya dengan baik, hingga kabar kematiannya terdengar satu bulan kemudian.


Selesai.

Bandung, 22 Maret 2021


Rainy telah menulis beberapa cerpen. Sebagian telah diterbitkan dalam antologi bersama penulis lainnya.

Editor: Imas Hanifah N

 

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply