Putri Kecilku Serupa Kerang Dasar Laut, Kerang Mutiara

Putri Kecilku Serupa Kerang Dasar Laut, Kerang Mutiara

Putri Kecilku Serupa Kerang Dasar Laut, Kerang Mutiara

Oleh: Evamuzy

“Saya akan bayar berapa saja, asal putri saya bisa sembuh, Pak.” Atas saran tetangga, kulangkahkan kaki untuk pergi ke seorang tabib yang tinggal di ujung kota. Entah, ini tempat ke berapa yang telah kudatangi demi kesembuhan putri kecilku.

“Kalau saya minta dua juta bisa?”

“Apa dengan uang sebesar itu, anak saya bisa sembuh? Kalau iya, akan saya usahakan.”

“Ibu tidak percaya dengan saya?”

“Iya. Saya percaya.”

***

“Uang sebesar itu dari mana, Bu? Ayah belum gajian. Kalau pun gaji Ayah turun, ‘kan Ibu juga tahu, tidak sebanyak itu. Ayah tahu, Ibu sangat menginginkan kesembuhan Arini.”

“Ibu akan jual cincin kawin Ibu, Ayah. Kurangnya ambil di tabungan.”

“Ibu ….”

“Apakah Ayah sudah bosan ikhtiar untuk kesembuhan putri kita?”

“Baiklah, Ayah setuju.”

***

Perkenalan putriku, Arini namanya. Putri kecil kami yang kedua. Gadis kecil yang cantik dengan warna rambut legamnya. Berkulit putih kemerahan, berwajah manis, bibir yang ranum serta sepasang mata sendu, seperti ingin menceritakan sudah berapa banyak hujan saling berkejaran di sudutnya karena rasa perih di kulit yang indah itu.

“Ayah, kemari sebentar! Lihat, apa yang terjadi pada Arini?” Aku panik melihat kulit putri kecilku yang semula cantik dan mulus, tiba-tiba ditumbuhi beberapa ruam lebar kemerahan dan berair pada punggung kakinya, tepat di usia susuannya usai. Tangis pecah di bibir kecil itu, mungkin karena rasa yang tak nyaman.

“Ibu tenanglah. Kita bawa Arini ke dokter, ya.”

Sejak saat itu, perjalanan panjangnya dimulai. Bersiap melapangkan hati untuk setiap luka yang akan tercipta di setiap setapak jalannya.

Pertolongan pertama dari obat-obatan yang diberikan oleh tangan-tangan medis, nyatanya belum berhasil melerai takdir putri kecilku dengan ruam-ruam yang semakin hari justru semakin banyak dan merata. Hingga menggangu tangan dan kaki kecil itu saat ingin bermain dengan teman sebaya. Nama penyakit itu apa, aku pun tak tega mengucapnya.

“Ingat, Sayang. Tak ada bermain dan tak ada kotor-kotoran. Karena putri kecil Ibu harus selalu apa?” tanyaku setiap kali ia pamit untuk keluar.

Sesuai saran dokter, pola makan dan lingkungan tinggalnya haruslah selalu terjaga. Protein tinggi, zat besi, tempat berdebu dan kotor harus dijauhkan darinya demi menghindari keadaan yang lebih buruk.

“Karena Aku harus sehat ‘kan Ibu,” jawabnya ikhlas, dengan senyuman manis penghias.

“Anak Ibu pintar.”

Dia tumbuh bagai bunga mawar kecil. Cantik, meski penuh duri di sepanjang batangnya. Sesekali ia bertanya di saat malam datang, saat menjelang tidur, saat kuelus kepalanya lembut. “Mengapa aku berbeda, Ibu?” Dan jawabku hanya, “Karena Allah memilihmu dan melindungimu agar tetap mau menjaga kebersihan, Sayang.”

“Benarkah, Ibu?”

“Iya, Nak.”

Maaf, jika Ibu belum dapat memberikan jawaban yang memuaskan, jawaban terbaik untukmu yang terlihat begitu ikhlas dan sabar.

Seiklhlas engkau saat memberikan jawaban soal matematika kepada teman, agar dia yang maju untuk menuliskannya di papan tulis kelas.

“Arini berikan jawabannya?”

“Iya.”

“Lalu nilainya untuk siapa?”

“Untuk teman Arini.”

“Kenapa Arini lakukan itu?”

“Arini malas saja, Ibu.”

“Bukan itu jawaban anak Ibu. Ada apa sebenarnya, Nak?”

“Arini malu, Ibu. Saat menulis di papan tulis, ruam-ruam di tangan Arini akan terlihat jelas oleh teman-teman yang duduk juga Ibu guru. Tapi Ibu tenanglah, Arini masih bisa mengejar nilai saat ujian tertulis nanti.”

Ibu perih mendengar alasanmu, Nak. Betapa takdir telah membuatmu menjadi kuat dan mengenal arti mengalah.

***

“Ibuuu,” panggilnya setengah berteriak. Membuatku segera berlari dari dapur, meninggalkan sup yang sedang kubuat.

“Iya, tunggu, Nak.” Tak sadar tanganku masih memegang centong nasi. “Ada apa, Sayang?” tanyaku saat menemukan dia duduk di teras dengan tersenyum manis. Masih lengkap dengan seragam sekolah, tas dan sepatunya.

“Ibu, boleh aku meminta tolong? Aku membutuhkan air hangat seperti kemarin untuk membasuh ruam-ruam yang menempel di kaus kakiku? Kakiku mulai lemas. Hehe.” Aku gemas sekaligus terenyuh. Bisa-bisanya dia masih sempat memberiku senyuman manis itu di tengah rasa sakit yang mengganggu.

“Apa Ibu bilang. Kau diizinkan tidak pakai kaus kaki dan sepatu dulu ke sekolah selama masa kambuh, Nak.”

“Hehe. Aku ingin selalu terlihat rapi, Ibu. Jadi, boleh aku meminta tolong?”

“Iya, Sayang. Sebentar, ya.”

Aku melangkah menuju dapur. Mengambil baskom, mengisinya dengan air panas dari termos dan memberi air dingin dari sumur, memastikan suhu hangatnya pas lalu mengambil kapas bersih. Kembali menuju putri kecilku yang masih menunggu di luar, sambil mengusap air hangat yang tanpa izin meluncur selayaknya anak sungai dari ujung mata ini. Allah … kuatkanlah hati kami.

Melangkahkan kaki menuju teras, pelan kudengar ia sedang bernyanyi-nyanyi kecil sambil menggoyangkan kakinya, seperti yang sering dilakukannya untuk mengurangi rasa sakit itu.(*)

Evamuzy, gadis sederhana yang ingin menjadi seorang penulis. Tinggal di kota kecil di Jawa Tengah.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata