Purnama Ketiga Belas
Oleh: Mudaro_kun
Wanita yang melahirkan di malam Purnama Ketiga Belas akan mengeluarkan dua orang bayi kembar dari rahimnya. Seperti kenari terbelah dua, kau tidak akan bisa membedakan mereka; yang suci dan yang berdosa; yang dititipkan setan dan yang dianugerahi Tuhan.
Legenda itu berembus kencang di New England. Menembus rapatnya hutan pinus seperti angin beku musim dingin. Diyakini semua orang hingga terdengar seperti firman Tuhan. Ia turun begitu saja. Tanpa seorang pun tahu asal-usulnya, atau siapa yang pertama kali memberi tahu dunia.
Kabar terus menyebar, tidak terkecuali hingga ke perkampungan terpencil ini. Tempat di mana iman kepada iblis dan penyihir sama kuatnya dengan iman kepada-Nya. Shire, sebuah desa kecil yang dikelilingi pegunungan raksasa di bagian timur New England. Terjebak pada peradaban yang sama selama berabad-abad, hampir-hampir tak mengenal dunia luar. Menjadikan Purnama Ketiga Belas hanyalah satu dari sekian banyak kutukan yang pernah diceritakan.
Bermil-mil jaraknya dari Shire, di sisi ladang pertanian, di sanalah mereka berada. Gubuk tua itu terlihat reyot, hampir-hampir ambruk. Di dalamnya, sebuah lentera kecil menyala. Sayup-sayup terdengar suara tangis bayi di sela jerit-jerit histeris.
Saat itu, wajah mereka diserang panik dalam rupa masing-masing. Meneriaki satu sama lain tanpa ragu.
“Aku telah berdosa!”
“Kau telah berdosa!”
“KITA TELAH BERDOSA!”
Elijah melihat ke luar jendela. Purnama terang benderang diselingi awan dan kabut tipis. Bahkan kebun jagung juga tampak jauh dari kata menyeramkan. Eli tahu malam itu cerah, tetapi kelabu. Setidaknya bagi mereka. Ya, mereka yang telah memenuhi kutukan Purnama Ketiga Belas.
Bergantian ia dan Jeddie melihat dua orang bayi yang masih merah di hadapannya. Memastikan malapetaka. Benarkah ia? Benarkah mereka membuat perjanjian dengan iblis di bawah naungan Purnama Ketiga Belas?
Tidak ada yang mampu berucap. Hanya ada empat mulut di rumah sempit ini. Dua di antaranya belum bisa terbuka. Satu mulut agresif melontarkan makian penuh amarah. Satu lagi menahan senyum di atas tangis dan penyesalan.
“Anak iblis telah lahir, Eli. Anak-anak INI! Mereka adalah keturunan IBLIS!”
“Tidak, Sayang. Salah satunya masih memiliki darah kita. Darah manusia. Aku mohon. Percayalah padaku!”
Elijah berusaha mati-matian mempertahankan senyum di wajahnya sejak pertama kali ia berjuang melawan sakitnya melahirkan. Kini, senyum itu semakin mengembang seiring bertambahnya derita yang ditanggungnya, mengetahui bahwa ia melahirkan di malam yang salah dari pandangan semua orang. Berbeda dengan sang istri, Jeddie dengan jelas menunjukkan kemarahannya. Kemarahan seorang suami sekaligus seorang manusia yang mempertahankan keturunannya dari jerat kutukan iblis.
“Masih ada jalan untuk melepas kutukannya, Jed. Kau hanya harus percaya,” pinta wanita itu penuh harap, meski ia tahu Jeddie bukanlah pria yang mudah dilunakkan hatinya dan didinginkan kepalanya. Terlebih di situasi seperti ini.
“Jalan apa, Eli? BAGAIMANA? Kau melahirkan dengan sangat normal, sudah jelas dibantu oleh tangan-tangan setan. Dan juga langit, LIHATLAH! Malam ini purnama bersinar terang, terjadi untuk yang ketiga belas kalinya dalam tahun ini. Kutukan mana lagi yang kau dustakan, wahai istriku sang pendosa?”
“Pendosa? Ya, aku memang pendosa. Lalu apa? Apa salahnya menjadi seorang pendosa?”
“Kau lebih dari seorang pendosa. Kau mengkhianati Tuhan.”
“Untuk apa aku mengkhianati-Nya ketika Ia sendiri yang Menimpakan kutukan ini kepada kita?”
“Munafik!”
Eli terdiam. Dirinya ditampar keras sekali oleh kata-kata sang suami. Tak disangkanya kutukan itu benar-benar menjadi kenyataan dan bahkan menghancurkan rumah tangganya.
Tidak. Keluarga itu belum hancur. Masih ada potongan terakhir dari kutukan itu. Kepingan misteri tersisa menjadi satu-satunya harapan yang dapat dipercaya.
“Apa … apa yang bisa kita lakukan?” Jed mulai terisak. Amarahnya perlahan mereda.
“Potongan terakhir kutukannya. Itu satu-satunya jalan keluar.”
“Maksudmu Malam Pengampunan? Tidak. Tidak akan sudi aku melakukan ritual penyucian itu.”
Malam Pengampunan, ritual khusus dengan membakar dua bayi terduga iblis langsung di atas perapian, lalu mengambil salah satunya setelah muncul tanda-tanda “manusia” berupa luka bakar hingga terlihat tulangnya. Jika dilakukan di atas dini hari, dikhawatirkan sang bayi tidak akan mengeluarkan luka bakar karena kekuatan iblis yang bertambah menjelang paruh terakhir malam. Sang bayi akan terbakar sia-sia.
Sungguh, cara yang amat keji untuk membuktikan kebenaran. Eli tahu, ia harus menghadapi kenyataan demi mencegah malapetaka lainnya terjadi. Sebuah keputusan paling berat bagi seorang Ibu—membakar bayinya sendiri.
“Jelaskan padaku MENGAPA kau terus menghindar dari kenyataan, Jed. Mengapa? Di saat seperti ini, harusnya akulah yang menolak mentah-mentah ritual itu.”
“Karena kutukan itu nyata! Ia benar-benar terjadi, dan tak ada yang mampu mencegahnya. Bahkan Tuhan pun menolak memberi pertolongan bagi kita, Eli.”
“Lalu apa? Apa masalahnya denganku, dengan anak-anak ini?”
“DIAM!”
Gubuk kayu itu senyap sempurna dirangkul malam. Tangis bayi-bayi di dalamnya hilang sama sekali. Purnama sesaat tertutup awan mendung.
“Berjanjilah, Eli, semuanya akan baik-baik saja setelah ritualnya selesai.”
“Aku berjanji. Kita akan menemui kebebasan ketika ritualnya rampung. Kita akan membesarkan anak manusia, dan semuanya akan bahagia. Kita bisa kembali ke Shire tanpa rasa malu.”
“Tak akan sia-sia kita bersembunyi di sini, jauh dari mulut-mulut kotor penduduk desa. Apa pun ceritanya, meski ritualnya berhasil dan aku membawa anak manusia, mereka tidak akan menerima siapa pun yang terbukti lahir di malam ini,” lanjut wanita berambut pirang itu.
Jeddie mengangguk pelan. Kepercayaannya kepada sang istri telah kembali, meski jauh dari kata cukup dan belum sepenuhnya pulih. Dengan sigap ia segera menyiapkan keperluan ritual. Tungku pembakaran, potongan kayu pinus, setengah cangkir bahan bakar, sumbu lentera, dan Alkitab kecil versi Perjanjian Lama. Potongan kayu itu diletakkannya di dalam tungku, kemudian diberi sedikit minyak tanah dan dibakar menggunakan api yang dipindahkan dari lentera melalui sumbunya. Alkitab diletakkan Jeddie di sisi kanan tungku.
“Lakukanlah!”
Eli mengangkat bayi-bayinya dengan sangat perlahan. Sejak teriakan terakhir Jed, mereka diam sama sekali. Tidak berusaha menggeliat ataupun menangis meski keduanya perempuan. Begitu pula ketika mereka diletakkan di atas tungku dan dibacakan ayat-ayat Alkitab oleh ayahnya. Sangat tenang, sangat damai. Seolah tidak merasakan panas sedikit pun.
Eli tidak ikut membaca Alkitab. Ia hanya diam memperhatikan sambil menunggu momen yang tepat. Ketika pertanda pertama muncul di salah satu bayinya, ia cekatan mengambil yang lain. Bayi yang sama sekali tidak terbakar.
“Eli … apa yang—”
“Tidak, Suamiku. Aku tidak keliru, dan aku melakukan sesuatu yang benar.”
“KAU SUDAH GILA!”
“Dan kenapa kau baru menyadarinya, Sayang? Aku juga harus memilih yang mana keturunan asliku.”
“Berarti … ritual itu—” Jeddie tercekat. Ia kehabisan kata-kata di hadapan sosok ini.
“Pikirkanlah. Wanita mana yang justru tersenyum saat melahirkan? Ibu macam apa yang rela membakar anaknya sendiri hanya demi takhayul bodoh? Manusia seperti apa yang menolak pertolongan semua orang dan malah berjuang sendiri di tengah ladang jagung penuh kegelapan?” Ia tersenyum penuh kemenangan. Tatapan Eli tajam mengarah langsung ke dalam mata Jeddie.
“Tidak … tidak mungkin! KAU BUKAN ISTRIKU!”
“Hadapilah kenyataan. Berhenti berlari, dan terbakarlah di tempat ini. Bersama anak manusia yang kau junjung setinggi langit itu, yang sudah terbakar sia-sia bersama dosa-dosamu.”
“SIAL!”
Jeddie spontan menghampiri sang bayi di atas tungku. Tidak ada apa-apa di sana. Hanya tumpukan tulang dan sisa-sisa daging yang terbakar, mendidih bersama darah kemerahan. Saat ia hendak berbalik, didapatinya pintu gubuk telah dikunci rapat oleh Eli dan siluetnya, tampak jelas diterangi cahaya purnama.
“TERKUTUKLAH KAU, IBLIS!”
“Sampai jumpa di neraka. Dengan senang hati aku akan menunggumu.”
Eli menumpahkan bahan bakar yang tersisa, keluar pintu hingga menuju lahan penuh jagung yang siap panen. Tanpa ragu ia membanting lentera dan membakar gubuk itu bersama dengan penghuninya. Api merambat ke ladang dan menciptakan kebakaran hebat di seluruh area. Membumihanguskan persediaan makanan para penduduk desa untuk menghadapi musim dingin. Setelahnya, ia pergi dengan bayi bertanduk dalam gendongannya.
Ia adalah iblis sebenarnya. Kutukan yang dibuatnya nyata, benar-benar tanpa rekayasa. Keturunannya tumbuh dan berkembang di seluruh dunia, membawa bencana, kelaparan, dan kematian bagi semuanya. Seperti yang telah disebutkan, Purnama Ketiga Belas hanyalah satu dari sekian banyak musibah yang dibawanya.
Ia hidup di antara manusia, dan ia mengawasi kita.(*)
Seorang penulis amatir dan penikmat seni bernama Muhammad Da’i Kuncoro atau Mudaro_kun sebagai nama pena. Saat ini menjadi pelajar di MAN 2 Model Medan. Hobi menonton film dan diskusi terbuka.
Tantangan Lokit 10 adalah kompetisi menulis cerpen yang diselenggarakan di grup FB KCLK. Cerpen ini dibukukan dalam kumpulan cerpen misteri-horor Loker Kata yang akan terbit bulan Januari.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata