Pulang
Oleh : Jemy
Akhir-akhir ini desa menjadi sepi karena banyaknya warga yang merantau ke kota. Perlu waktu empat jam untuk sampai ke sana, itu pun hanya bisa ditempuh melalui jalan air. Biasanya penduduk sini menggunakan jasa kelotok, perahu kecil yang biasa dipakai untuk menyeberang ke kota.
Oleh karena desa kami cukup terpencil, maka pemadaman listrik bergilir sudah menjadi hal lumrah di sini. Saat listrik padam, desa kami tak ubahnya seperti kampung-kampung tempi dulu. Rumah-rumah warga diterangi dengan lampu yang dibantu dengan aki. Sebagian juga masih ada yang memakai lampu dian (semprongan). Seiring padamnya listrik, signal pun ikut lenyap. Menyebalkan!
Aku dan suamiku, Bang Pras, sedang duduk di kursi panjang sembari menatap kerlap-kerlip bintang, menunggu dua buah hati kami datang dari musala.
“Neng, Abang ada tawaran kerja di kota sama Pak Ahmad,” ucap Bang Pras sembari mengelus-elus kepalaku yang sengaja kusandarkan di pundaknya.
“Alhamdulillah, Neng senang Abang ada kerjaan lagi. Tapi Neng juga sedih harus ditinggal dan ngurus anak-anak sendiri.”
“Maafin, Abang…. Belum bisa kasih yang terbaik untuk Neng, Shafa, dan Marwa. Neng kan tahu, kita sudah berusaha berladang tapi gagal. Abang coba-coba ikut nukang dengan yang lain tapi hasilnya masih belum mencukupi.”
“Iya, Bang tapi…,” ucapanku terhenti oleh teriakan Shafa dan Marwa.
“Assalamualaikum!” kata Shafa dan Marwa sambil tertawa.
“Waalaikumsalam, Sholihah.”
Beginilah kehidupanku, hampir tiap malam duduk di kursi panjang sambil bercerita. Yang mungkin tidak akan kulakukan lagi untuk beberapa waktu ke depan karena pasangan berceritaku akan pergi ke kota. Ah, kota. Tempat yang indah semua serba ada. Apakah kami akan baik-baik saja kalau berjauhan, sedangkan selama ini kami belum pernah berpisah?
“Tuh, kan! Pasti ngelamun.” Bang Pras mencolek hidungku dengan gemas.
“Anak-anak mana?”
“Sudah tidur. Ada apa, Neng? Sini cerita sama Abang.” Bang Pras duduk di sampingku sambil menyeruput teh yang sudah dingin.
“Galau, Bang… mau ditinggal.”
Bang Pras hanya diam. Menatap dengan sendu, tak banyak kata. Bang Pras langsung memelukku sambil mengusap kepalaku dengan penuh kasih sayang.
“Sudah, jangan mikir yang enggak-enggak. Nanti malah jadi kenyataan. Kalau nangis enggak ada yang meluk. Kasian. Yang penting, doain Abang agar dijauhkan dari hal yang tak diinginkan. Doa itu juga termasuk menjaga seseorang dari kejauhan.”
“Bijak banget sih, Abangnya aku.”
“Bangga banget, ya punya Abang kek gini.” Bang Pras menarik kedua pipiku sambil tertawa.
Semenjak Bang Pras berangkat ke kota, aku mulai membuka usaha membuat kue yang kutitipkan pada tukang sayur. Meski keuntungannya tidak banyak, setidaknya cukup untuk menambah pendapatan. Sejauh ini hubunganku dengan Bang Pras baik-baik saja. Kami sering berkomunikasi menggunakan handphone. Biasanya sehabis isya Bang Pras akan menelepon dan bercerita dengan anak-anak. Bagiku, begini lebih baik daripada tidak ada komunikasi sama sekali. Kebiasaan ini berlangsung hingga tiga bulan. Namun, beberapa minggu terakhir Bang Pras tidak menelepon lagi. Sedang anak-anak selalu bertanya tentang ayahnya.
Bang, kau baik-baik sajakan di sana?
Banyak sekali pertanyaan yang berkelebat di pikiran dari hal yang baik berlanjut pada hal yang buruk. Apa Bang Pras selingkuh? Ah, ada apa dengan diriku, kenapa aku berpikir buruk mengenai ayah dari anak-anakku sendiri? Jelas, ini merupakan akibat karena aku terlalu sering nonton drama perselingkuhan di TV. Kalau sampai tiga hari ke depan tidak ada kabar, aku akan menanyakannya Pak Ahmad, salah seorang tetangga yang sekaligus menjadi rekan kerja Bang Pras saat berangkat ke kota waktu itu.
Siang itu, Pak Ahmad tampak duduk santai sembari menyeduh teh ketika aku tiba di depan pekarangannya.
“Assalamualaikum, Pak.”
“Waalaikumsalam, Shada’. Tumben ke sini. Ada apa?” Pak Ahmad menyilakan aku masuk ke dalam rumahnya. Tapi aku menolak dengan alasan harus buru-buru pulang karena tak ada yang menjaga Shafa dan Marwa di rumah.
“Saya ingin menanyakan tentang keadaan Bang Pras, Pak. Soalnya sudah lama dia tak telfon. Selain rindu, saya dan anak-anak bingung. Kami ingin tahu kabar Bang Pras.”
Kerutan di dahi Pak Ahmad tampak semakin banyak ketika aku menanyakan suamiku. “Pras?”
Aku mengangguk.
Lantas Pak Ahmad menjelaskan bahwa setelah pekerjaan di kota selesai, dia dan Bang Pras berpisah. Pak Ahmad mengira Bang Pras telah memberitahuku bahwa dia akan mencari pekerjaan lain di kota.
“Wah… bahaya ini Shada’. Jangan-jangan Pras punya istri baru di sana!” Bu Enong, istri Pak Ahmad menyela sesuka hati tanpa menimbang-nimbang perasaanku yang kalut tak keruan.
“Bu, jangan sembarangan kalau ngomong!” pinta Pak Ahmad. Dari rautnya, tampak sekali bahwa dia kesal dengan istrinya sekaligus merasa tak enak hati denganku.
“Bukan sembarangan, Pak.” Bu Enong membela diri. “Ingat tidak keluarga Darsa yang heboh minggu lalu. Itu, si Darsa kerja di kota lama enggak ada kabar. Pulang-pulang malah bawa istri.”
Deg!
Lindungi Bang Pras, ya Allah!
Aku merasa semakin tertekan berada di sini. Dadaku sesak setiap mendengar pernyataan Bu Enong yang menyudutkan suamiku. Oleh sebab itu, kuputuskan untuk segera pergi dari sini.
“Bu, Pak. Saya pamit dulu, ya. Assalamualaikum.”
Penjelasan dari Pak Ahmad membuatku benar-benar takut. Bagaimana jika hal buruk yang selama ini kupikirkan menjadi kenyataan? Bagaimana jika dugaan Bu Enong benar-benar terjadi?
Ah, tidak. Tidak! Sepertinya kau sudah berlebihan Shada’. Istigfar Shada’, doa kan Bang Pras yang baik-baik. Inget doa juga bisa melindungi orang dari kejauhan.
Enam bulan telah berlalu dan selama tiga bulan terakhir Bang Pras tanpa kabar. Begini rasanya ditinggal suami. Sepi! Aku menepis pikiran buruk dan selalu mencoba berpikir positif untuk menyemangati diri sendiri. Doaku untuk kebaikan keluarga kami selalu mengalir setiap kali selesai salat. Tak urung juga, terkadang semangat itu terkikis saat mendengar para tetangga yang tanpa sungkan dan senang hati mengomentari kehidupanku. Seakan mereka melihat dengan sendirinya kalau Bang Pras di kota sana selingkuh ataupun menikah lagi. Sebagian bapak-bapak dan pemuda kampung yang biasa nongkrong di perempatan jalan, kerap kali menggodaku ketika aku lewat sana. Aku merasa terhina. Aku ingin mendatangi mereka dan meminta agar lebih menghargaiku. Kadang juga terpikir olehku untuk menyerang mereka layaknya serigala lapar. Tapi, seketika aku bisa meredam emosiku ketika teringat dengan kedua putriku. Siapa yang akan menjaga mereka jika terjadi sesuatu denganku? Maka, kupikir menurunkan egoku demi Shafa dan Marwa jauh lebih baik daripada menuruti kemarahanku.
“Bu, Ayah ada nelfon?”
“Handphone Ayah rusak, Nak. Tidak bisa nelfon. Lebih baik Shafa dan Marwa doakan semoga Ayah baik-baik saja.”
“Tapi… Shafa belum sempat bilang untuk minta dibelikan sepeda, Bu.”
“Sabar, Sayang. Insya Allah nanti kalau ada rezekinya pasti dibelikan.”
“Iya, Kak sabar ya… kata Ayah orang sabar itu disayang Allah.”
“Bener, Bu?”
“Iya, inget enggak cerita Ayah tentang Nabi Ayub?”
“Inget, Bu. Nabi Ayub yang selalu sabar ketika diuji Allah,” kata Shafa dan Marwa, nyaris bersamaan.
“Wah, anak Ibu hebat. Sini peluk Ibu.”
“Yeay!” teriak Shafa dan Marwa.
Bang… Abang di sana sehat kan? lihat anak kita. Mereka masih ingat ceritamu. Cepat pulang, Bang. Kami rindu.
Aku sedang melipat baju sambil nonton TV. Ketika itu, tv sedang menampilkan berita kriminal yang semakin menjadi-menjadi: perampokan, begal, hingga seorang ibu tega membunuh anaknya. Zaman semakin tua. Kelakuan manusia semakin biadab. Ngeri! Tiba-tiba saja aku dikejutkan oleh teriakan Shafa dan Marwa.
“Bu!”
“Sayang, pelan aja ya ngomongnya. Kalau teriak-teriak orang lain bisa tergangggu.”
“Bu, tadi ada suara kelotok berhenti di dermaga. Siapa tahu Ayah pulang kan, Bu?”
“Kemarin-kemarin gitu, setiap ada kelotok yang berhenti dikira Ayah pulang”
“Tapi Shafa kan rindu Ayah. Bu… Sudah lama Ayah enggak pulang. Enggak ngomong dengan Shafa.” Kata Shafa dengan mata berkaca-kaca. Sedang Marwa diam menunduk. Setetes air matanya jatuh.
“Ibu juga rindu Ayah, Sayang. Sabar, ya.” Kupeluk mereka berdua.
Tiba-tiba saja suara seorang pria menyelinap begitu saja di antara keharuan kami bertiga. “Ayah juga rindu kalian.”
Deg!
“Bang Pras!”
Kedua putriku langsung menoleh ke belakang. Berlari mendekati Bang Pras dan memeluknya. Tangis yang sejak tadi berusaha ditahan kini pecah. Melepas rindu yang terpendam.
“Yeay! Ayah datang bawa sepeda baru, Bu!”
Di bawah sinar purnama Shafa dan Marwa segera mencoba sepeda barunya. Berdua berboncengan. Mengelilingi pekarangan rumah sambil tertawa. Puas memerhatikan Shafa dan Marwa, Bang Pras berjalan menghampiriku. Merentangkan tangan memelukku. Lega. Sebahagia ini rasanya ketika orang yang dirindukan tampak di depan mata.
“Akhirnya pulang juga kau, Bang.”[]
Jemy, yang bermimpi bisa menerbitkan banyak buku. Tapi menulis masih amatir.
Editor : Uzwah Anna
Grub FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi penulis tetap di Loker Kata