PULANG
Fika Anggi
Kau nyaris saja ketinggalan kereta tadi, memasuki pelataran stasiun ketika suara petugas meminta para penumpang untuk segera bersiap karena kereta akan segera tiba. Kau melangkah gegas ke meja pemeriksaan, menunjukkan tiket di tanganmu berikut tanda pengenal, lalu bergabung bersama puluhan penumpang yang tergopoh-gopoh berdiri menanti kereta memasuki mulut stasiun. Tidak seperti beberapa tahun lalu, saat kau masih sering menggunakan kereta untuk mengunjungi orang tuamu di kota lain, kereta lebih sering datang terlambat ketimbang tepat waktu. Kini, setiap orang setidaknya mesti tiba seperempat jam lebih awal di stasiun jika tidak mau berkejaran dengan waktu.
Kau dapat mendengar suara rem kereta ditarik dan ular besi itu perlahan-lahan berhenti di depanmu yang masih ngos-ngosan mengatur napas. Tiga orang penumpang hendak keluar dari pintu yang terbuka, kau menepi bermaksud memberi jalan. Percuma saja, beberapa orang di belakangmu justru menyerobot dan berdesakan menyumpal mulut gerbong. Kau menghela rasa kesal karena kelakuan barbar manusia. Kau baru menaikkan kakimu di tangga ketika pintu benar-benar kosong dari penumpang.
Setelah memastikan kursi sesuai dengan tiket di tanganmu, kau meletakkan tas ransel pada enam batang besi yang berjajar memanjang di atas bangku-bangku. Kau hempaskan pantat dengan perasaan beruntung karena mendapat tempat duduk di sebelah jendela. Kau tak akan terlalu bosan selama enam setengah jam ke depan. Kursi di sebelahmu kosong, seseorang mungkin akan mengisinya di stasiun berikut. Sesaat setelah suara mesin operator mengumumkan bahwa kereta bersiap berangkat, kau merasa kereta mulai bergerak merambat meninggalkan stasiun utama kota di mana kau kini menetap menuju sebuah kabupaten yang telah lama terkubur dalam ingatanmu.
Hamparan padi berganti-ganti dengan rimbun tebu, jajaran pokok pisang, juga barisan batang ilalang. Ingatanmu mengikuti rel-rel yang menjauh ke belakang saat kereta melewati jalan melengkung dan kau dapat melihat gerbong paling belakang dari jendela tempat pelipismu menyandar. Kenangan berlompatan dari jendela kereta dan berkejaran di bawah bias cahaya dan kau dapat melihat mereka menari-nari seolah sedang mementaskan sebuah adegan yang selalu berusaha kau lupakan.
“Maafkan aku, Yus, aku tak mungkin menolak kehendak Bapak menerima pinangan Pak Rahardjo.” Suaranya begitu lirih ditingkah isak tangis sesekali pada sebuah senja ketika terakhir kali kau menemuinya di bawah beringin alun-alun kota.
Betapa kau ingin menghardiknya sebagai perempuan yang tak punya pendirian dan enggan memperjuangkan cinta. Setelah janji hati untuk setia tenyata pada restu orang tua juga dia menyerah. Namun, demi melihat butir-butir air berderai dari mata indahnya, mulutmu hanya membuka untuk kemudian terkatup lagi. Kau tak tahu apa yang bisa kau lakukan untuk menggagalkan rencana perjodohan itu. Seorang sarjana calon kepala desa telah disiapkan sebagai pendamping kekasihmu ketika kau masih belum juga punya pekerjaan tetap. Maka senja itu, kau tinggalkan kekasihmu yang mematung di alun-alun dengan sebuah janji bahwa kau tak akan mengganggu lagi.
Pandanganmu kau alihkan pada seorang anak yang berlarian sepanjang lorong gerbong. Kereta api jarak jauh memang jarang penuh kecuali di waktu-waktu tertentu, hari raya atau tahun baru. Teriakan-teriakan ibunya membawa ingatanmu kembali pada malam saat orang tua kekasihmu menghardik lalu mengusirmu karena ketahuan sedang memadu kasih dengan anak gadis mereka. Penghinaan yang sesungguhnya dapat kau tanggungkan selama kekasihmu tak menyerah. Meski begitu, kau tinggalkan juga tanah kelahiran dan menelan kecewa dengan cara yang hanya mampu kau pahami sendiri.
Seorang petugas melangkah masuk dari gerbong depan, memeriksa tiket penumpang. Tangannya dengan cekatan menarik tiket yang disodorkan padanya, lalu membuat lubang dengan sebuah alat. Kau meraba saku kiri tempat tiket kau selipkan, bertahun lalu kau pergi dari kota kelahiranmu dengan sebuah lubang menganga di relung jantungmu. Setelah kepulangan kali ini kau berharap, luka itu bisa menutup kembali.
Kau menerima sebuah berita seminggu lalu, dari seorang sepupu yang mengabarkan berita duka. Ada yang bergetar perlahan di hatimu. Seperti getaran cinta yang selalu kau timbun dengan banyak bekerja. Seperti debaran rindu yang kau peram ribuan malam dalam diam. Sebuah kabar kematian suami kekasihmu. Hidup tak pernah mudah bagimu yang berkubang dalam kenangan dan dendam. Kepulanganmu kali ini untuk menyanding kekasihmu kembali setelah bertahun lamanya kau rapalkan mantra dan kau kirimkan dengan napas tertahan setiap malam bulan mati.(*)
Fika Anggi, seorang perempuan yang sedang belajar menjadi manusia, ibu dan penulis yang baik.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata