Pulang?
By: Reza Agustin
“Oh, ini akan jadi lebaran keenam di negeri orang? Tak ada niatan untukmu pulang, Dian?” Kate menatap Dian lamat-lamat, segelas cokelat hangat di pangkuan terlupa. Sepasang mata cokelat Dian yang lebih cerah daripada minuman hangat itu lebih menarik untuk diselami.
“Ya, tak ada juga alasan untuk pulang. Mereka pasti juga tak mengharapkan kepulanganku. Karena pergi adalah keputusanku dan Bapak juga yang bilang. Aku bisa apa?” Dian tersenyum kecut. Rambut panjangnya yang ditiup angin, jaket berbulunya yang hangat, dan gaun tidur yang tipis. Sejak dulu, ia ingin bebas mengenakannya. Tanpa mendapat penilaian miring dari Bapak yang seorang guru agama.
“Kamu mau membiarkan rambutmu yang panjang itu dilihat banyak orang? Gaun-gaun pendek itu juga buat apa? Kamu mau Bapak malu karena anak seorang guru agama berperilaku enggak pantas seperti ini? Lebih baik kamu pergi! Bapak enggak mau punya anak kayak kamu!”
Nyatanya, pergi adalah sebuah keputusan yang tepat. Dian bisa mengenakan apapun yang ia kehendaki tanpa berhadapan dengan tatapan bengis Bapak dan sabetan rotannya. Sungguh, betisnya telah berulang kali terkena sabetan rotan yang menyebalkan itu. Padahal Dian hanya mengenakan celana sebatas lutut dan kemeja berwarna merah muda yang longgar. Tidak membuat lekuk tubuhnya tercetak jelas. Juga bukan bikini yang menjadikannya nyaris telanjang.
Kini, lemari pakaian Dian penuh sesak. Busana yang sesuai dengan empat musim di Amerika dan beberapa pasang sepatu hak tinggi rancangan desainer ternama. Koleksi tas yang beragam, mulai dari yang bermerek, hingga tiruan. Ia bebas mengenakan apa pun. Hidup seperti yang ia kehendaki. Menjalin hubungan dengan pria-pria yang menyukainya tanpa perlu terhalang restu dari Bapak. Seharusnya sesuai dengan impiannya. Namun, tidak. Hampa. Dunianya seakan tak lagi berwarna.
“Namun, kau sepertinya rindu rumah. Tidakkah kau menyadarinya, Dian?” celetuk Kate yang kini teralih oleh minuman cokelatnya. Bibirnya yang dipulas dengan lip gloss berwarna merah muda meninggalkan kilau pada pinggiran gelas. Dian selalu suka kilaunya. Atau bibir Kate? Oh, tidak.
“Aku tak merindukannya. Aku tak ingin pulang ke rumah. Tidak dengan Bapak yang tak mau menerima keputusan dan impianku.”
Semilir angin kembali menemani obrolan mereka. Duduk di atas kursi santai balkon sembari menatap langit berbintang. Kapan lagi Kate dan Dian bisa sejenak kabur dari rutinitas butik yang padat? Peluncuran koleksi busana musim panas yang akan datang tak mengizinkan dua desainer itu beristirahat. Terlebih lagi Kate, karena dialah pemilik butik.
Dian bisa dibilang cukup beruntung karena Kate datang padanya meminta bantuan. Pertemuan mereka masih di tahun pertama Dian meninggalkan Indonesia menuju Amerika. Ia mungkin orang paling nekat. Datang ke Amerika tanpa persiapan, mengambil kerja tanpa banyak perhitungan, lantas berakhir di sebuah rumah mode yang nyaris gulung tikar. Ia bahkan seperti gelandangan di tahun pertama itu.
Namun Kate datang seperti seorang malaikat. Menawarkan pekerjaan sebagai asisten desainer di butiknya baru saja buka. Nama Dian masih baru, tetapi ia unik. Memasukkan unsur Indonesia pada setiap desain buatannya. Entah mengapa menarik minat Kate yang pernah menetap di Bali selama satu tahun. Kate yang belum dapat melupakan pesona Tanah Dewata.
Singkat kata, mereka berdua menjadi pasangan yang tepat. Kate memang sangat tertarik dengan kebudayaan Indonesia. Setiap karyanya selalu disisipi sentuhan Indonesia. Pun dengan bantuan Dian semakin menyempurnakan nilai-nilai Indonesia itu. Beberapa kali karya mereka melenggang di atas catwalk pameran fesyen ternama. Namun, ketika pameran itu diadakan di Indonesia, Dian memilih absen.
“Dian, aku tahu kau pasti merindukan rumahmu. Tempat di mana Bapak dan adik-adikmu tinggal. Tak pernahkah sekalipun kau merindu? Makanannya, suasananya, apapun yang berhubungan dengannya,” ujar Kate lagi. Mata pirusnya menelusuri gurat-gurat yang tercipta di wajah Dian, mencoba menemukan jawaban. Karena Dian tak akan pernah menjawab jujur.
“Tidak.”
Hanya itu.
Kate mendesah, punggungnya kembali ia rebahkan pada sandaran kursi. Sementara kakinya tersilang dan minuman cokelatnya diletakkan di antara paha. Dian agak meringis, bagaimana jika bagian paling intim Kate tersiram minuman panas itu? Sedangkan Dian justru tak menyentuh lagi minumannya.
“Kau sedang melihat apa? Kau menginginkannya juga?” tanya Kate dengan tatapan jahil.
“Apa maksudmu? Dasar ambigu. Aku tahu kau panseksual, tapi setidaknya jangan menatapku seolah aku hendak menerkam kemaluanmu!” ujar Dian salah tingkat. Benar-benar, Kate adalah orang yang berbahaya.
Tawa wanita dua puluh tujuh tahun itu menggelegar. Dan benar saja. Minuman cokelat itu tumpah mengenai paha dan daerah intim Kate yang masih dilapisi celana santai. Dian orang yang paling khawatir. Ia bahkan kelimpungan mencari tisu dan mengambil es batu untuk mengompres paha Kate.
“Ah, mungkin ini karma karena aku sudah mengganggu hari liburmu. Aku pinjam toilet dan celanamu, ya,” pamit Kate lantas menunjuk kamar mandi.
“Jangan geledah lemariku seperti minggu lalu. Aku susah membereskan kekacauanmu,” balas Dian agak berteriak karena Kate keburu masuk ke kamar mandi.
“Tenang saja! Aku tak akan menggeledah punyamu lagi! Aku hanya mencari pembalut, tapi aku sadar kau tak punya itu!” balas Kate sembari berseru dari kamar mandi.
“Dasar Kate menyebalkan!”
Tawa kemenangan Kate kembali terdengar. Dian memberengut. Punya rekan kerja yang menyebalkan terkadang membuatnya ingin berhenti saja. Namun, rekan kerjanya itulah yang membuatnya bisa bertahan hidup selama ini. Seseorang yang entah mengapa selalu menjadi tempatnya bersandar. Tempat untuk pulang, seperti rumah.
***
“Kamu tak salat, Dian?” tanya Ameera, resepsionis yang baru saja bekerja di butik. Ia memiliki darah Lebanon dari ayahnya dan seorang muslim yang taat.
Dian menegang mendengar pertanyaan itu. Salat. Sudah berapa tahun ia melalaikan kewajibannya sebagai seorang muslim? Enam tahun atau bahkan lebih dari itu. Setiap kali ia selesai berwudu, ia hanya menatap sajadah dan mukena tanpa melakukan apa-apa. Pada akhirnya, ia tak melakukannya. Ada banyak keraguan di hatinya semenjak meninggalkan Bapak dan kampung halamannya.
Dian menggeleng, dengan dalih ia akan melakukannya di apartemen saja nanti. Sebuah kebohongan yang menyebalkan. Ia bahkan tak lagi menyentuh sajadah dan mukenanya, apalagi alquran. Banyak keraguan yang membuatnya tak berani bersentuhan dengan alat-alat yang menjadi penghubungnya dengan Sang Pencipta.
Ameera berlalu setelah mengucapkan ‘o’ dengan mimik wajah lucu. Sedangkan Kate hanya menghela napas. Sudah berkali-kali ia menyaksikan Dian berdusta tentang urusan ibadah. Mau sebanyak apa lagi ia menimbun dosa?
“Dian, untuk lebaran kali ini kamu harus pulang. Aku akan memberikan izin khusus supaya kamu bisa menemui keluargamu. Mereka juga ingin kamu pulang,” ujar Kate seraya merebut buku sketsa yang tengah Dian geluti.
“Aku ini aib bagi Bapak. Tak ada gunanya aku pulang. Dia mungkin kena serangan jantung jika aku pulang mengenakan gaun pendek dan sepatu hak tinggi seperti penyanyi dangdut.” Dian merebut kembali bukunya lantas menghindari Kate. Namun, wanita itu enggan menyudahi pembicaraan dengan Dian.
“Dian, dengarkan aku sekali ini saja. Aku memang lebih muda darimu. Namun aku tahu bahwa hal yang tepat untukmu adalah pulang. Ini momentum tepat, sebentar lagi lebaran. Sudah saatnya kamu memperbaiki hubungan dengan Bapakmu, juga menziarahi pusara Ibumu. Aku akan temani kamu jika kamu tak berani pulang sendiri.”
Raut wajah Dian menggelar. Buku sketsa dibanting agak kasar ke meja. Ia menatap Kate dengan pandangan terluka. Tatapan itu sedikit banyak melukai hati Kate pula.
“Kate, bagaimana bisa aku melihat pusara Ibu? Saat ia meninggal karena serangan jantung. Keputusanku menjadi perempuan dan desainer handal telah merenggut nyawanya. Bapak pun tak akan memberi ampun padaku. Kamu harus tahu itu.”
“Kalau begitu mintalah ampunan dari Tuhanmu! Dialah tempatmu seharusnya bersandar, rumah yang sesungguhnya jika kau tak mau pulang ke Indonesia!” Kate nyaris berteriak. Ia benar-benar ingin menyudahi pembicaraan dengan Dian. Saat tubuh Kate melewati sang rekan kerja, ia dapat melihat Dian benar-benar menegang di tempatnya.
Namun, Kate terhadang di pintu oleh Ameera. Wanita berkulit gelap itu menatap Kate dan Dian bergantian dengan berat hati. Apa yang ia katakan selanjutnya membuat Dian lemas, nyaris terjatuh ke lantai.
“Ada telepon untuk Dian. Penelepon bilang bahwa Bapak tengah sekarat dan dia ingin Dian pulang. Pulang seperti dulu, seperti Dian yang dulu Bapak didik dengan sabetan rotannya.”
***
Pada akhirnya, Dian kembali. Menginjakkan kakinya di tanah kelahiran dengan tubuh yang bergetar. Apalagi ketika ia berada di depan pintu kamar Bapak. Adik-adiknya dengan tatapan bercampur aduk menyambut kedatangan Dian. Dian yang mereka rindukan. Dian Putro Prakoso.
Dian yang sering kena sabetan rotan di betis oleh Bapak karena sering berpenampilan kemayu. Dian yang ingin menjadi desainer pakaian wanita ternama. Dian yang lebih mendamba sentuhan sesama daripada lawan jenisnya. Pengecualian untuk Kate yang entah mengapa telah mengaduk-aduk dadanya dengan debaran yang tak menentu.
Kate menyaksikan bagaimana Dian menangis di atas sajadah setelah memangkas rambutnya. Wanita itu menyaksikan pula bagaimana Dian menangis di atas tubuh Bapak yang telah dingin. Segala maaf dan sesal telah ia ungkapkan di depan Bapak sebelum Sang Ilahi memanggilnya pulang. Pria itu mengusap kepala Dian lembut, memberikan maaf pada tarikan napas akhir.
“Kamu sudah melakukan hal yang benar, Dian. Kembali pada keluarga dan kodratmu sebagai laki-laki, itu sudah benar.”
Di atas pusara Bapak, Dian masih enggan pergi. Tidak setelah banyak luka yang pernah ia torehkan pada pria tersebut. Juga kepada Ibu yang pusaranya berdampingan dengan Bapak.
“Setelah semua yang aku lakukan pada mereka. Bapak dan Ibu, aku tak tahu bagaimana mereka mempertanggung jawabkan semua dosaku di hadapan Sang Ilahi. Satu-satunya yang bisa kulakukan sekarang adalah menjadi anak yang saleh, dengan begitu aku bisa bertemu dengan mereka lagi di kehidupan yang abadi.”
“Ya, aku akan mendukungmu. Apapun keputusanmu.” Kate meremas jemari Dian lembut. Sebagian kepalanya ditutupi dengan selembar pasmina berwarna salem. Serta sebuah gamis longgar yang menyembunyikan lekuk tubuhnya. Sebuah senyum menyempurnakan kecantikan wanita tersebut. Membuat Dian menyadari sebuah rasa, yang ditegaskan dengan jantungnya yang bergemuruh.
“Terima kasih, Kate.”
END
Reza Agustin lahir dan besar di Wonogiri sejak 20 Agustus 1997. Pecinta kucing dan penggemar Hallyu. Instagram: @Reza_minnie. Wattpad: @reza_summ08. Cari namanya di Facebook, Kaskus, Joylada, dan Tinlit.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata