Pulang
Oleh: Erlyna
“Copettt!”
Suara perempuan berambut panjang itu melengking, memecah keramaian di sekitar trotoar.
Ardi melonjak kaget. Matanya yang merah kurang tidur menatap sekeliling, mencari tahu sumber suara.
Di ujung jalan, seorang laki-laki berjaket hitam tengah berlari ke arahnya. Ardi tersenyum penuh arti, lalu bangkit dari duduk. Ia berlari memasuki gang sempit, mengabaikan teriakan seorang wanita gendut dengan daster macan yang mengepalkan tinju ke arahnya karena ia menendang ember cucian. Ia juga mendapat cacian dari seorang bapak tua pemilik salon yang kebetulan sedang menjemur burung.
Ardi terus berlari, memaksa matanya yang berat dan perih untuk tetap fokus. Di ujung gang ia berhenti, dan tepat seperti perhitungannya, pencopet itu berlari mendekat.
Dengan gerakan lihai, dijulurkan kaki panjangnya yang bersepatu hitam kusam, menunggu pencopet itu terjatuh lalu menghajarnya.
“Jangan macam-macam di wilayahku!” ancam Ardi sambil merebut sebuah tas mahal dari tangan pencopet.
Sebelum warga mendekat, Ardi bergegas pergi, hilang dalam tikungan gang sempit.
* * *
“Bu, aku lapar ….”
Seorang gadis kecil meringkuk sambil meremas perutnya.
“Sabar, ya, Nak! Kita tunggu kakakmu pulang.”
“Tapi, Bu … Nisa sudah tidak tahan. Ini perih sekali.”
Bu Ruli menatap anaknya dengan mata berkaca-kaca. Lalu pandangan itu beralih ke samping kanan kiri, menatap satu per satu deretan korban gempa bumi yang juga bernasib sama. Matanya resah menyusuri segala arah, mencari tahu di mana keberadaan anak sulungnya.
* * *
Ardi melangkah pelan sambil mengamati tas di tangan, memeriksa isinya satu per satu. Matanya melotot sejenak saat melihat sesuatu di dalam tas itu. Ia terus berjalan menuju sebuah rumah.
Tok! Tok! Tok!
Sepi. Ardi menunggu sambil menatap keadaan sekitarnya.
Klik!
Pintu terbuka. Seorang laki-laki gendut muncul dengan wajah seperti baru bangun tidur.
“Oh, kamu, Ar? Ada apa?”
“Tante ada, Om?”
“Ada. Lagi mandi. Duduklah dulu, saya mau lanjut tidur.”
Laki-laki itu bicara sambil menguap, lalu kembali masuk ke dalam rumah. Ardi menghela napas, memutuskan duduk di salah satu kursi rotan di samping pintu.
Mandi, ya? Pasti lama.
Ardi melepas topi yang sejak tadi dipakai, berniat menutup wajah lalu tidur sebentar.
“Hei, Bujang. Ada apa kau mencariku?”
Belum sempat memejamkan mata, Ardi lebih dulu dikagetkan oleh suara cempreng Tante Minda.
“Gak ada apa-apa, cuma mau tanya. Tante tahu tas ini, gak? Kira-kira harganya berapa?”
Tante Minda menatap tas yang disodorkan Ardi, memeriksanya sekilas, lalu melotot.
“Hei! Kau dapat dari mana tas ini?”
“Ini tasku.”
“Jangan bercanda. Tas itu harganya sekitar tiga puluh juta. Mana mungkin orang miskin sepertimu memiliki tas seperti itu. Lagi pula, itu tas wanita.”
Ardi sedikit kaget mendengar keterangan harga yang diucapkan Tante Minda. Ia tersenyum kecil, mengucapkan terima kasih lalu melangkah pergi.
“Hei, Bujang ….”
Begitu, ya. Jadi sekarang kau sudah jadi orang kaya.
Ardi melangkah setengah berlari. Ia berniat menuju sebuah warung, meminta kantong plastik hitam untuk menyembunyikan tas yang dibawanya.
Buk! Buk! Buk!
“Ampunnn … tolong … ampuni saya.”
Ardi mengerutkan kening saat melihat kerumunan warga di samping warung yang hendak ditujunya.
“Hei!!!”
Demi mendengar suara bentakan Ardi, suara gaduh itu berhenti. Para warga yang tadi sibuk memukuli pun menghentikan aktivitasnya.
“Apa yang kalian lakukan?” tanya Ardi marah. Matanya sedikit berembun saat melihat seorang anak laki-laki berjongkok dengan wajah babak belur.
“Aku tanya apa yang kalian lakukan?” teriak Ardi marah.
Ia menatap tajam ke arah warga yang tadi ikut memukuli anak laki-laki yang kini terisak.
“Bedebah kalian semua!”
“Tapi anak ini mencuri, Di.”
Ardi menatap seorang bapak-bapak gemuk yang baru saja menimpali pertanyaannya. Pandangannya lalu beralih ke anak laki-laki yang tadi dipukuli. Ardi melihat sesuatu di genggaman anak itu, sepotong roti seharga lima ribuan.
Ardi mendekat, lalu berjongkok mengambil roti dari genggaman tangan kurus yang dekil.
“Ini? Karena ini? Hanya karena ini kalian tega memukuli bocah ini?”
“Walaupun cuma sepotong roti, itu tetap saja mencuri, Di.” Seorang warga kembali membela diri.
“Oke. Aku bisa menelpon polisi dan melaporkan perbuatan kalian semua. Kalian bisa ditangkap karena main hakim sendiri!” teriak Ardi marah.
Beberapa warga tampak kaget, sebagian mulai bisik-bisik dengan wajah cemas.
“Maaf, Di. Tolong maafkan kami. Kami hanya tidak ingin ada pencuri di tempat kita ini. Meski hanya kampung kumuh dan kecil, setidaknya kita bisa menjaga dan melindungi warga kampung.”
“Menjaga? Melindungi? Cih! Lalu apa yang barusan kalian lakukan ini?”
“Tapi dia bukan warga kampung kita, Di.”
Ardi menatap bocah laki-laki itu, lalu menghela napas.
“Sudah, bubar! Masalah ini biar aku yang mengurusnya.”
Dengan patuh, warga pun membubarkan diri. Mereka menuruti perintah Ardi yang dikenal sebagai salah satu preman yang paling disegani.
Ardi melangkah menuju warung, menyerahkan selembar uang dua puluh ribuan.
“Kubayar roti ini, sisanya beri aku roti yang sama dan sebuah kantong plastik hitam!” perintah Ardi pada penjaga warung.
Penjaga warung itu mengangguk, lalu menyerahkan tiga buah roti dan sebuah kantong plastik.
Ardi melangkah mendekati bocah laki-laki itu, lalu tersenyum.
“Banguhlah. Terima ini!”
Ardi menyerahkan tiga buah roti yang baru saja dibelinya.
“Nama kamu siapa?”
“Rama.”
“Kamu tinggal di mana?”
“Tempat penampungan.”
Ardi mengerutkan dahi, lalu mengangguk mengerti.
“Boleh aku ikut ke sana?”
* * *
Ardi menatap nanar pemandangan di sekelilingnya. Matanya perih, menahan tangis.
Di hadapannya, berjajar tenda-tenda darurat dengan kondisi memprihatinkan. Hiruk-pikuk yang memekakkan telinga, panas yang menyengat membuat gerah, dan juga teriakan balita yang rewel membuat segalanya terlihat semakin tak keruan.
“Ini ….”
Ardi tak mampu meneruskan ucapannya. Mulutnya kelu. Pemandangan itu, mengingatkan dirinya akan masa lalu. Musibah yang sama, musibah yang membuatnya kehilangan orang-orang yang dicintainya.
“Di mana orang tuamu?” tanya Ardi pada Rama.
Rama meraih tangan Ardi, mengajaknya memasuki kawasan tenda.
“Assalamualaikum,” ucap Ardi lirih, saat mereka mendekati seorang wanita kurus yang memangku seorang gadis kecil.
“Waalaikumsalam. Lo, Rama? Dari mana saja kamu, Nak? Ibu cemas,” ucap Bu Ruli.
“Maaf, Bu. Aku tadi ….”
“Saya bertemu Rama di warung. Dia sedang membeli roti,” ucap Ardi menyela.
“Alhamdulillah.”
Bu Ruli mengembuskan napas lega saat melihat empat bungkus roti yang dibawa Rama. Ia memberikan satu bungkus kepada gadis kecil yang sejak tadi dipangkunya.
“Alhamdulillah, Nak. Akhirnya kita bisa makan,” ucap Bu Ruli dengan suara bergetar.
Ardi memandangi mereka dalam diam. Ada yang menggerus hatinya saat melihat keluarga kecil itu makan dengan lahap. Mereka terlihat sangat bersyukur, meski yang dimakan hanya sepotong roti.
“Maaf, Bu. Sejak kapan Ibu di sisni? Apa belum ada bantuan yang datang?” tanya Ardi sambil menatap sekelilingnya.
“Kami tiba di sini lima hari yang lalu, Nak. Setelah menumpang truk pengangkut sampah selama sehari semalam, kami dan beberapa korban gempa yang lain diturunkan di sini. Masalah bantuan, Ibu tidak tahu. Tapi selama Ibu di sini, belum ada bantuan sama sekali.”
Ardi melotot kaget, rahangnya mengeras menahan geram.
Sial! Apa saja yang dilakukan pemerintah kota ini?
Ardi melihat seorang laki-laki yang tak asing di luar tenda. Pakaiannya rapi. Setelah berpamitan pada Rama dan ibunya, Ardi menghampiri laki-laki itu.
“Om Danu, ya?”
Laki-laki yang disapa Ardi menoleh, lalu tersentak kaget.
“Kamu?”
“Ya. Ini aku,” balas Ardi santai.
“Apa yang kamu lakukan di sini? Pergi sana. Jangan membuat kekacauan di sini.”
Ardi tersenyum mendengar ucapan Om Danu. Dipandanginya laki-laki yang kini terlihat lebih gemuk dibanding saat terakhir kali ia melihatnya.
“Om sendiri sedang apa di sini?”
“Itu bukan urusanmu. Pergi sana!”
“Baiklah. Aku permisi,” ujar Ardi sembari membalikkan badan.
Baru beberapa langkah, Ardi teringat sesuatu, lalu menatap Om Danu lagi.
“O iya. Om tinggal di Kompleks Kenanga, kan? Kenal yang namanya Anggun?” tanya Ardi.
Om Danu tersentak. Matanya melotot ke arah Ardi.
“Hei, ada urusan apa kamu sama istriku?”
Ardi tersenyum sambil menganggukkan kepala.
“Ooo … dia istri Om Danu, ya. Baguslah,” ucap Ardi kembali meneruskan langkah. Matanya melirik tas mahal dalam kantong plastik yang sejak tadi dibawanya.
“Hei!”
* * *
Ardi duduk di salah satu kursi beton yang sudah pecah-pecah. Ia menyeka keringat. Sudah hampir setengah jam berjalan dari tempat pengungsian menuju rumahnya, tapi tak juga sampai.
Tiba-tiba sebuah mobil mewah berhenti tak jauh darinya. Seorang sopir keluar, lalu bergegas membukakan pintu belakang.
Seorang wanita cantik dengan pakaian minim muncul. Sebagian wajahnya tertutup kacamata hitam. Wanita itu berjalan menuju sebuah rumah makan mewah yang berada tepat di pusat kota. Ia duduk di balik sebuah meja di samping pintu. Matanya bergantian menatap jalanan dan jam tangan yang dipakainya, seperti sedang menunggu seseorang.
Lo, itu kan ….
Ardi mengerutkan dahi, memastikan penglihatannya tidak keliru.
Benar, itu Om Danu. Ada perlu apa beliau ke sana?
Demi memenuhi rasa penasarannya, Ardi diam-diam ikut masuk ke rumah makan itu. Beruntung suasana sedang ramai dan mereka tidak menyadari kedatangannya. Ardi terdiam di balik salah satu kursi tak jauh dari mereka, mencoba menguping pembicaraan.
“Bagaimana urusannya?”
“Beres, Bu. Lima puluh persen hadiah itu sudah saya kirim ke rekening Anda.”
“Bagus. Kamu boleh ambil setengah dari sisanya. Jangan lupa buat laporan serapi mungkin. Bagaimanapun ini adalah bisnis berharga kita.”
“Siap, Bu. Tenang saja. Negeri ini penuh dengan dermawan bodoh.”
Tak lama terdengar suara tawa. Ardi melirik mereka dari sela topi yang dipakainya. Rahangnya mengeras, telapak tangannya terkepal menahan geram.
Setelah wanita berbaju minim itu pergi, Ardi bangkit. Langkahnya tergesa, berusaha menyusul Om Danu yang sudah mendekati mobilnya.
Bug!
Sebuah pukulan keras berhasil didaratkan Ardi tepat di rahang laki-laki yang merupakan adik kandung ibunya itu.
“Hei!”
Tiba-tiba seorang wanita keluar dari mobil Om Danu. Ardi terkejut melihatnya. Wanita itu adalah seseorang dari masa lalu. Wanita itu adalah korban dari … tidak, bukan. Wanita itu adalah wanita jalang yang telah menghancurkan rumah tangga orang tuanya. Wanita yang diam-diam pernah dicintainya.
“Anggun ….”
Ardi menatapnya sejenak, berusaha menata perasaan.
Bug!
Belum sempat Ardi berkata-kata, sebuah pukulan balasan lebih dulu menghantam hidungnya. Darah mengalir keluar dari dua lubang hidungnya yang mancung.
“Kurang ajar! Berani sekali kau memukulku!” pekik Om Danu.
Ardi terhuyung ke belakang, tangannya sigap mencari pegangan sebelum tubuhnya terempas ke tanah.
“Jadi ini, ya? Ini yang dilakukan Om selama menjadi pejabat? Memakan uang rakyat?”
“Diam! Bocah tak berguna sepertimu gak usah ikut campur!”
“Begitu, ya. Om sama sekali tidak berubah. Sejak dulu, tetap saja kejam. Dulu saat keluargaku jadi korban gempa, Om juga menutup mata, kan? Om tidak mau tahu? Bahkan saat Ibu ingin meminjam uang untuk pengobatan adik, Om milih pergi dari tanggung jawab, persis seperti yang dilakukan Bapak.”
Plak!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Ardi. Laki-laki yang tumbuh dewasa di antara duka nestapa itu tersenyum mengejek sambil memegangi pipinya.
“Dan kamu … wanita macam apa kamu ini? Kenapa sekarang bisa bersama Om Danu? Di mana ayahku? Apa kamu sudah mencampakkannya? Apa kamu sudah membunuhnya?” tanya Ardi berang.
Ada luka yang menusuk-nusuk dada. Sakit sekali rasanya, melihat wanita yang sangat dicintai berada di sekelilingnya bersama orang lain.
Bug!
Om Danu memukul Ardi lagi. Kali ini tubuh kurus Ardi sukses terempas ke tanah, diiringi darah segar yang mengalir dari sela-sela bibirnya.
Sial!
Tiba-tiba tanah tempatnya berpijak berguncang. Semakin lama semakin hebat. Ardi melotot panik. Di pikirannya terbayang Rama beserta keluarga, juga para korban gempa yang lain. Semoga mereka baik-baik saja.
Ardi menatap Om Danu yang juga terlihat cemas.
“Lihat! Inilah azab.”
“Diam kau bocah!” Om Danu membalas dengan nada bergetar. Tangannya sibuk berpegangan sambil berusaha menghubungi seseorang.
Dengan langkah terhuyung-huyung, Ardi mendekati Anggun.
“Ini tasmu, kan?”
Anggun menatap tidak percaya.
“Jadi, kau yang mencopetnya?”
“Tidak penting siapa yang mencopetnya. Yang jelas aku menemukan sesuatu yang aneh di dalam tas mahal ini.”
“Tidak … jangan …,” ucap Anggun dengan wajah pucat. Tiba-tiba matanya melotot, diikuti napas yang terengah-engah.
“Kau tahu, betapa menderitanya aku sejak kau datang dalam hidupku?”
Anggun terus melotot. Kali ini mulutnya terbuka, berusaha mencuri napas.
“Kau menghancurkan semuanya! Keluarga, karir, perasaan dan hidupku. Orang sepertimu itu pantasnya mati.”
Ardi menatap Anggun sekali lagi, sebelum wanita itu terkulai. Pelan-pelan ditariknya pisau lipat kecil yang sejak tadi dihunjamkannya ke dada Anggun.
“Hei! Bocah!”
Om Danu berteriak keras demi melihat istrinya tergeletak bersimbah darah. Di antara guncangan yang memukul-mukul perasaan, Ardi hanya terdiam. Tangannya erat berpegangan pada salah satu sisi bangunan.
Laki-laki yang selalu kesepian itu terus tersenyum, bahkan saat bangunan di sampingnya roboh dan menimpa dirinya.
Ibu … aku pulang.(*)
Purworejo, November 2018
Erlyna, perempuan sederhana kelahiran Jakarta yang menyukai dunia anak-anak. Hobi makan, melamun dan menyaksikan anak-anak menciptakan keajaiban.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata