Puisi untuk Mama
Oleh: Asrunalisa
Jam menunjukkan pukul sembilan pagi lewat lima belas menit. Linda mengoleskan lipstik di bibirnya, lalu ia memakai jilbab warna biru muda dan menyematkan aksesoris di kerudung yang ia kenakan. Dia sedang siap-siap untuk menghadiri undangan sekolah. Hari ini adalah hari pengumuman juara peserta melukis.
“Semoga Nadia dapat juara, amiiin.”
Linda bercermin. Kemudian matanya tertuju pada sebuah bingkai foto. Diraihnya bingkai tersebut dan ia pun mengusapnya. “Seandainya kamu ada di sini, Mas. Kita akan menghadiri undangan itu berdua. Semoga saja Nadia kuat tanpa kehadiranmu di sisinya. Anak kita sudah besar, dia sudah berusia sepuluh tahun sekarang. Dia anak yang tangguh sepertimu, Mas. Wajahnya pun semakin mirip denganmu,” tutur Linda lirih.
Tanpa terasa butiran mutiara jatuh membasahi pipi tirusnya. Matanya penuh genangan air mata. Dipeluknya erat bingkai foto suaminya itu. Dia merasakan kerinduan yang sangat mendalam. Sebuah kerinduan yang tidak mungkin lagi untuk dicurahkan. Tanpa sengaja matanya tertuju pada jarum jam yang terus bekerja.
“Astagfirullah, aku harus segera ke sekolah. Acaranya hampir dimulai,” kata Linda sambil meletakkan kembali bingkai foto itu pada tempat semula. Dia mengusap air matanya dan bergegas untuk berangkat.
***
“Baiklah, para hadirin sekalian, mari kita sambut para juara melukis.” Terdengar suara moderator dari dalam aula.
Mata Nadia sibuk mencari sosok yang ditunggu, yaitu ibunya. “Mama duduk di mana ya, kok nggak kelihatan. Apa Mama belum datang, atau Mama lupa kalau ada acara hari ini di sekolah,” Nadia bergumam dalam hati. Dia ingin mamanya ada ketika pembagian hadiah nanti.
Matanya terus mencari mamanya, tetapi sosok yang ditunggu pun belum juga hadir. Kesedihan kembali menyelimuti perasaan gadis kecil itu. Nadia berharap agar acara pengumuman juara ditunda.
“Ya ampun, Mama di mana ya. Sebentar lagi kan acara pengumumannya dimulai. Coba aja kalau Papa masih ada, pasti Papa bisa hadir tepat waktu. Kalau Mama tidak datang, siapa yang akan mendampingiku nanti?” Nadia terlihat gelisah, ia megusap wajahnya dengan telapak tangan. Kelihatannya dia sangat gelisah sekali.
Di parkiran Linda memarkirkan sepeda motor miliknya. Matanya terbelalak melihat begitu banyak kendaraan yang sudah terparkir. Dilepasnya helm yang ia kenakan. “Masih adakah waktu yang tersisa untukku?” gumamnya sambil melangkah cepat. Dia langsung bergegas menuju aula.
Setibanya Linda di sana, dia melambaikan tangan pada putri tercintanya. Nadia tersenyum. “Syukur alhamdulillah, ternyata Mama belum terlambat,” batin Nadia.
Acara pun berlangsung khidmat dan akhirnya tibalah pada acara pembagian hadiah. Nadia menduduki juara pertama bidang melukis. Dia memang punya bakat dalam melukis. Namun, sekarang perasaannya bercampur aduk antara senang, terharu dan juga sedih. Dia sedih karena yang mendampingi hanyalah mamanya. Sedangkan temannya yang lain turut hadir kedua orangtuanya. Tidak terasa butiran bening jatuh ke pipinya.
Nadia mengusap cepat air yang membasahi pipi tembemnya, dia berusaha menyembunyikan perasaannya. Dia tidak ingin mamanya ikut sedih memikirkan perasaan Nadia. “Aku harus kuat walau tanpa kehadiran Papa.” Tanpa sepengetahuan Mama, Nadia telah menyiapkan sebuah puisi untuk Mama tercinta. Puisi tersebut dibacakan setelah sesi pembagian hadiah.
Satu demi satu Nadia menaiki tangga panggung itu, dengan langkah pelan dia menuju ke tengah panggung. Berdiri di hadapan orang banyak memang sudah keinginannya sejak minggu lalu. Sebuah puisi dipersembahkan kepada orang yang sangat dicintainya.
Mama ….
Memelukmu adalah kenyamananku
Melukis senyummu adalah keinginanku
Mencintaimu sudah tentu kewajibanku
Dalam senyummu kau sembunyikan lelahmu
Derita siang dan malam menimpamu
Tak sedetik pun menghentikan caramu
Untuk bisa memberikan harapan baru bagiku
Mama ….
Setiap kali aku tersilap
Kau hukum aku dengan nasihat
Setiap kali aku kecewa
Kau bangun di malam sepi lalu bermunajat
Mama ….
Setiap kali aku dalam kesakitan
Kau obati dengan penawar dan semangat
Tidak pernah aku lihat air mata dukamu
Yang mengalir di pipimu
Semangatmu sangat menggebu
Wajahmu yang lembut penuh kasih sayang
Senantiasa menemaniku saat dilanda ketakutan
Begitu kuatnya dirimu
Mama ….
Aku sayang padamu
Kasihmu memang tak tergantikan
Genangan air mata jatuh membasahi pipi Linda. Dia sangat terharu akan puisi yang Nadia bacakan. Begitu polosnya gadis kecil itu. Tanpa ada rasa takut dan kurang percaya diri, dia tampil di hadapan orang banyak.
Terdengar suara tepuk tangan yang begitu semangat. Suara gemuruh para hadirin pun menyeruak memenuhi ruangan. Linda berlari ke arah panggung, dipeluknya erat tubuh gadis itu. “Mama bangga sama kamu, Nak,” bisik Linda sambil menyapu air matanya dan mengecup pipi putri kesayangannya.
Sungguh pandangan yang mengharukan. (*)
Asrunalisa, lahir di tanah Serambi Mekkah 6 Mei silam, ingin menjadi wanita penikmat kata dan pecinta sastra. Selalu berusaha menuangkan imajinasi dalam bentuk tulisan. Menyukai warna coklat.. FB: Asrunalisa Asnawi
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata