Puisi Penuh Debar

Puisi Penuh Debar

Puisi Penuh Debar
Oleh : Erlyna

CINTA DI LUAR TANGKAP KATA


di luar tangkap mata
kata-kata memaknai singkat
perjumpaan
merawatnya agar tetap
melayang-layang di langit kamar.
Selarik nama menggenang
dan pelan-pelan
mengusik kesendirian

Cinta.
pada seseorang dan
membuat bibir tertawa
atau gelisah pada tingkap doa.

Perasaan, sepertinya
perang yang sebentar lagi bertamu

dan kamu adalah mesiu
yang meledak di hatiku.

_Teruntuk Silvi-ku_

Silvi mengatupkan mata dalam-dalam. Tak lama, sepasang kristal bening mengalir membelah pipinya.
Ia menatap kembali secarik kertas dalam genggaman. Puisi ini, ah ….

Tidak ada yang bisa mendefinisikan apa yang dirasakannya. Tidak, tidak ada seorang pun yang bisa, termasuk dirinya. Perasaan ini, sama persis dengan yang dirasakannya dua puluh tahun silam. 

Puisi ini … mungkinkah?

Silvi merapatkan jaket. Angin sore musim kemarau sejak tadi menampar tubuhnya lewat celah-celah jendela kayu di sampingnya, tanpa ampun.

Dirabanya punggung tangan yang mulai dingin. Bekas luka ini ….

* * *

Bruk!
Silvi meringis kesakitan. Sepeda baru yang ditungganginya menabrak sebuah pohon di pinggir jalan.

“Hei! Kau tak apa?”

Silvi terlonjak. Seorang laki-laki dengan tubuh hitam legam menghampirinya dengan wajah cemas.

Silvi menggeleng, menyembunyikan punggung tangannya yang berdarah.

“Itu berdarah, lo. Pasti sakit, ‘kan?”

Silvi menggeleng lagi, kali ini disertai tatapan meyakinkan bahwa tangannya baik-baik saja.
Gadis berambut panjang itu kembali melotot saat menyadari laki-laki itu menarik tangannya yang berdarah. Menatapnya sebentar, meniup, lalu membalut luka goresan itu dengan sapu tangan yang dikeluarkan dari sakunya.

“Lukanya cukup dalam. Jika tidak diobati, ini bisa infeksi,” katanya.

Hening.
Silvi hanya diam, tidak tahu harus berkata apa. Gadis berusia dua belas tahun itu seolah-olah belum menyadari dengan baik apa yang terjadi padanya.
Laki-laki itu tiba-tiba bangkit, lalu pandangannya menatap sekeliling.

“Kamu, tunggulah di sini sebentar. Aku segera kembali,” katanya, sebelum akhirnya berlari menjauhi Silvi menuju ladang.

Silvi menghela napas. Ia bangkit perlahan, membersihkan rok dan kakinya yang dipenuhi debu. Lalu meraih sepedanya.

“Ssshhh!” bibir mungilnya mendesis pelan. Punggung tangan yang dibalut sapu tangan berwarna putih itu mulai dipenuhi darah. Lukanya mulai berdenyut, sakit sekali rasanya.
Silvi mulai terisak. Suasana sekitarnya sepi sekali.

Tentu saja, tidak ada orang yang berkeliaran di ladang tepi hutan saat jam istirahat seperti ini.

“Maaf, telah membuatmu menunggu.”
Silvi menoleh. Tak jauh darinya, lelaki itu kembali. Kali ini dengan beberapa helai daun antanan di genggamannya.
Lelaki itu lalu menumbuk daun-daunan yang dibawanya di atas batu besar.

“Kemarilah!”

Ragu-ragu, Silvi melangkah perlahan.
Lelaki itu membuka balutan di punggung tangan Silvi. Ditatapnya luka itu sambil mengernyitkan dahi. Wajahnya tampak cemas.
Ia mengajak Silvi menuju sungai yang terletak di samping kiri mereka.

Silvi menggigit bibir bawahnya sambil mendesah menahan perih. Lelaki itu mengguyur lukanya dengan air sungai yang jernih. Ia lalu berlari mendekati batu besar, mengambil daun yang sudah ditumbuk halus, lalu menempelkannya perlahan di punggung tangan Silvi.

Silvi menghela napas dengan cepat, gigitan di bibir bawahnya kian kuat. Seolah berusaha mentransfer rasa perih luar biasa di punggung tangannya ke bagian lain.

“Tahan. Ini memang perih. Tapi daun-daun ini akan membuat lukamu cepat kering. Percayalah!”
Lelaki itu tersenyum menatap Silvi.

“Kamu, anak dari keluarga yang baru pindah kemarin, kan?”

Silvi mengangguk, lalu balas tersenyum, canggung.

“Kenalkan, namaku Satrio,” ucapnya lagi sambil menjulurkan tangan.

Silvi diam untuk sesaat. Ia lalu membuka tas sekolahnya, mengambil sesuatu. Mereka lalu bersalaman. Silvi kembali tersenyum sambil menyodorkan Kartu Pelajar miliknya.

Satrio menatap kartu itu, melirik namanya, lalu kembali menatap Silvi.

“Silviana … kamu ….”

Silvi mengangguk. Seolah mengerti apa yang hendak dikatakan Satrio.

* * *

Senja hampir datang. Rona-rona jingga perlahan menghiasi sisi langit. Silvi menghela napas, matanya berkaca-kaca. Pertemuan itu … pertemuannya dengan Satrio telah membuatnya berani bermimpi. Untuk pertama kalinya, gadis bisu itu merasa memiliki teman.

* * *

Sejak pertemuannya dengan Satrio, Silvi seolah punya semangat baru. Laki-laki berusia dua tahun lebih tua darinya itu, seolah paling bisa memahami perasaan Silvi.

Satrio bahkan bisa menebak suasana hati Silvi hanya dengan menatap matanya.

Seperti saat ini, misalnya. Keduanya tengah asyik duduk di atas batu sambil memainkan air sungai yang menyelimuti kaki mereka.

“Kamu?”

Silvi menatap Satrio dengan wajah bingung. Seolah ingin berkata “Ada apa?”

“Kamu sedang jatuh cinta, ya?”

Silvi melotot. Pipinya bersemu merah. Sementara bibir bawahnya ia gigit kuat-kuat.

“Ha … ha … ha ….”

Satrio tambah semangat menggoda Silvi. Ia bahkan mengambil air sungai dengan telapaknya, lalu melemparkannya ke wajah Silvi.

Silvi yang tidak siap, tampak tergagap. Lalu kemudian balas mendorong tubuh Satrio hingga jatuh ke sungai. Keduanya kembali tertawa. Lepas, tanpa beban.

* * *

Silvi memandang langit jingga. Ia kembali mendesah pelan. Tiba-tiba wanita itu tersentak. Tubuhnya bergetar hebat. Di antara senja, ia melihat sepasang siluet anak-anak. Siluet itu bergerak. Sang anak laki-laki tampak tengah menyerahkan setangkai bunga kepada anak perempuan. Siluet itu … sama persis dengan kenangannya dengan Satrio dua puluh tahun silam. Sebelum akhirnya, Satrio ditemukan bunuh diri sebulan yang lalu dengan selembar puisi di tangannya.

 

Purworejo, 7 September 2018

Erlyna, perempuan sederhana yang jatuh cinta dengan dunia anak-anak.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

 

Leave a Reply