Oleh: Lily Rosella
Apakah hanya karena seseorang mencintaimu, lantas kau harus mencintainya?
Apakah saat ia berharap dapat bersamamu, maka kau harus hidup dengannya?
Bagiku … itu tidak benar. Aku hanya ingin menjalani hidup dengan caraku, juga mengikuti kata hatiku.
Tidak lebih, hanya itu.
***
“Bagaimana jika dia seorang pria lajang? Apa Adik mencintainya?”
Sebulan ini, pertanyaan itu terus menghantuiku. Semua orang di sekitarku, termasuk juga wanita bercadar yang sering kusapa dengan sebutan “Mbak”. Seluruh dunia seakan menodongkan pertanyaan yang sama.
Di sudut kamar, aku menangis dalam gelap, menutup mulutku. Menahan isak yang mulai terdengar. Aku bersembunyi dari suara-suara yang terus terekam, berusaha mengobati hatiku yang tertikam. Sekelebat pertanyaan muncul begitu saja, menyita ruang otakku.
“Apakah ini sebuah hukuman?” tanyaku dalam hening berkepanjangan.
Bip! Ponselku berbunyi, ada sebuah pesan yang mendarat. Pesan dari seseorang yang tak ingin kukenal lagi.
Aku tahu, bahkan sangat tahu, bukan hanya aku yang terluka dalam kisah ini. Tapi mengapa semua orang seolah menatapku dengan penuh kebencian. Akukah yang sepenuhnya bersalah? Akukah yang pantas dipersalahkan?
Aku menepuk-nepuk dadaku yang terasa sesak, berharap semua dapat kembali seperti sedia kala. Ya, kali ini aku goyah. Aku kalah, sembrono, teledor.
Seandainya aku bisa kembali ke masa itu, ketika aku belum bertemu dengannya, maka aku ingin kembali. Aku benar-benar ingin kembali. Tapi bisakah? Adakah waktu bisa kuputar untuk menghapus luka yang sudah membekas?
***
“Seseorang pernah berkata padaku. Cinta yang tak pernah kau miliki, akan menjadi cinta yang tak pernah mati,” tuturnya dengan mata berkaca-kaca.
Aku menatap wanita bercadar di sampingku. Aku tahu ia berusaha tersenyum di hadapanku, padahal jauh di lubuk hatinya ia memendam semua kesedihan. Matanya tak dapat berbohong walau sedetik pun.
“Aku tahu ada yang berbeda selama ini,” suaranya tersendat. Aku dapat melihatnya, ia ingin mengatakan lebih banyak, hanya saja ia tidak bisa. Kesedihan memaksanya untuk berhenti bicara.
Aku memberikan sebuah sapu tangan kepadanya. Wanita berpakaian serba hitam itu menerimanya, lalu mengusap pipinya yang basah oleh sebaris air mata. Aku mendongak, menatap sebuah pohon besar yang ada tepat di depan kami.
Hari ini aku berusaha untuk tersenyum. Aku tak berhak untuk meneteskan air mata. Kesedihan itu, apa aku pantas untuk merasakannya juga, setelah membuat hatinya terluka? Aku menggeleng. Aku hanya perlu bertahan dan berharap semuanya akan baik-baik saja.
“Menikahlah dengannya…,” tiba-tiba saja ia melontarkan kalimat tersebut, membuatku menoleh cepat.
Aku membelalakkan mata, bibirku yang terasa bergetar kupaksakan untuk berbicara, “Apa maksudnya, Mbak?” tanyaku.
Wanita bercadar itu menyeka ujung matanya, menatapku dengan mata yang masih berkaca-kaca.
“Menikahlah dengan suami saya,” ujarnya sekali lagi.
Aku tak pernah menyangka kalau kalimat itu akan keluar dari mulutnya. Selama ini aku tahu bahwa ia telah memendam luka yang dalam. Lukanya pasti sudah sangat menyakitkan tanpa perlu ia berkata demikian. Mengapa ia menambah luka di hatinya?
Aku menggeleng. Sejak tadi napasku terasa berat, sesak karena harus menahan air mata yang hampir menetes.
“Maaf, Mbak, saya hanya menganggapnya sebagai seorang ayah, tidak lebih,” jawabku yang berusaha meluruskan kesalahpahaman.
“Kenapa tidak? Dia pria yang baik.”
Aku tertunduk. Benar, pertama kali aku mengenalnya, aku sudah merasakan bahwa dia adalah pria yang baik dan dewasa. Kupikir di antara kami takkan pernah ada yang berubah. Ternyata aku salah.
Mungkin itulah kesalahanku. Kami terlalu dekat hingga lupa kalau tidak pernah ada ikatan darah. Aku lupa, kalau hubungan tanpa ikatan darah bisa jadi berubah suatu waktu—dan itu juga berlaku untuk kami.
“Bagaimana jika dia seorang pria lajang? Apa Adik mencintainya?” Sama sepertinya, mataku telah basah oleh genang air mata.
Bahkan sebelum pertanyaan itu terlontar dari mulutnya, beberapa orang juga telah menanyakan hal serupa. Mereka penasaran tentang kisah ini. Tapi tidak denganku, aku tak pernah mencintainya.
“Saya … bahkan jika dia seorang pria lajang sekalipun, saya tidak bisa mencintainya. Hati saya telah tertambat pada pria lain, dan Mbak tentu sudah tahu itu, bukan?”
Wanita bercadar itu hanya diam, tertunduk lesu. Tidak ada yang berkata sepatah pun, menyisakan suara deru kendaraan yang lewat, juga desir angin yang berembus, membuat debu berterbangan. Lengang.
Setahun lalu, harusnya aku memilih untuk tidak mengenalnya sama sekali.
Aku mengenal wanita bercadar itu terlebih dahulu. Seiring kami yang mulai akrab, tanpa direncanakan, tentu saja aku pun berkenalan dengan lelaki itu—karena lelaki itu adalah suaminya sendiri. Karena usianya berbeda tipis dengan usia ibuku aku lebih suka menganggapnya ayah dibanding seorang sahabat atau kakak. Singkatnya, mereka berdua sudah kuanggap seperti keluarga sendiri, karena itu aku tidak berpikiran buruk ketika lelaki itu mulai menunjukkan perhatiannya. Ternyata, diam-diam ia telah memendam perasaan padaku.
Waktu berlalu begitu cepat, setahun kemudian kudapati kami telah menjadi akrab. Kemudian semuanya telah berubah menjadi sesuatu yang tak pernah kubayangkan sama sekali. Pria itu … ia memintaku untuk menikah dengannya. Tentunya itu semua setelah mendapat izin dari istrinya yang tidak lain adalah sahabat baikku.
“Bagaimana jika adik mengenal suami saya lebih dulu daripada dia?” tanyanya.
***
Aku masih meringkuk di sudut kamar, menatap jauh ke arah bulan dari celah jendela yang tertutup kain gorden.
Ibu, apa yang harus aku lakukan? Hatiku sakit.
Aku mengusap setiap tetes air mata yang mengalir membasahi pipi.
Apa kita tidak bisa bersama?”
Ucapan lelaki itu mengiang di pikiranku. Aku menutup telingaku rapat-rapat, berharap suara itu berhenti terdengar. Sungguh, aku tak ingin mendengarnya. Aku ingin melupakan semua yang pernah terjadi.
Perlahan, aku meraih ponselku, membuka pesan yang tadi sempat mendarat.
“Apa Adik akan meninggalkan Abi?” begitulah isi pesan tersebut.
Aku menaruh kembali ponselku, menjauhkannya dari hadapanku.
Nampaknya, aku tak punya pilihan lain kecuali menghilang. Karena ingin diberi akhir apa pun, kisah ini tetap sama. Semuanya terlanjur terluka.
Mungkin aku akan kehilangan seorang sahabat terbaik. Juga kehilangan orang yang kuanggap seperti ayahku sendiri. Tapi ini adalah keputusan yang tepat. Bukankah dengan kepergianku, justru menyatukan apa-apa yang retak?
Untuk apa aku bertahan, hanya membuat yang retak menjadi hancur tak tersisa. Lagi pula … aku juga tak pernah mencintainya, aku tak punya alasan untuk menuruti permintaannya. Itulah mengapa aku memutuskan untuk pergi. Menghilang tanpa jejak.
Bagiku, bagimu, dan baginya, kisah ini hanya sebuah lagu pilu. Saat kita mencoba untuk mendengar setiap alunannya, maka kita hanya akan menyakiti diri sendiri. Menyayatnya perlahan. Oleh sebab itu, kuharap kisah ini segera terlupakan.
Sehingga kita pun bisa memulai kembali semuanya.
Memulai dari awal.(*)
Lily Rosella, gadis penyuka warna-warna pastel, kelahiran Jakarta 21 tahun silam, tepatnya tanggal 10 Desember 1996.
Fb: Aila Celestyn Email: Lyaakina@gmail.com
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan