Promise

Promise

Promise

Oleh: Fitriani

 

Cinta terkadang labil. Untuk mengerti arti sejati harusnya hanya ada aku dan kau dalam alur yang sama. Namun seseorang muncul begitu saja seperti tokoh ketiga dalam cerita, tidak untuk menengahkan, melainkan sebaliknya.

***

Namaku Rena. Gadis manis bertubuh mungil yang selalu ceria dalam menjalani harinya. Aku suka bermain musik juga membawa buku dan pena, menulis sajak-sajak problamatika hidup.

“Rena!” Seseorang menepuk pundakku dan ikut duduk di kursi panjang taman sekolah.

“Hai, Aldo,” sapaku ramah.

Aldo adalah sahabatku sejak kecil. Kami melewati sekolah dasar hingga menengah atas bersama. Banyak orang yang menanyakan kepastian hubungan kami, berpikir kalau mungkin saja diam-diam kami berpacaran. Tapi ya, mau bagaimana lagi, jawabannya tentu sama. Sahabat! Belum ada yang berubah sampai saat ini.

“Kau sedang menulis?”

Aku hanya mengangguk.

“Cobalah untuk mem-publish-nya Rena. Bukankah itu mimpimu?” kata Aldo mengarahkan.

“Itu memang mimpiku. Saat ini aku menulis untuk diriku sendiri, Al. Aku merasa belum pantas jika tulisanku harus di-publish,” jawabku dengan tenang.

“Baiklah. Teruslah menulis, lalu publish-kan jika kau sudah merasa pantas,” Aldo berlalu setelah mengucapkannya sambil mengacak pelan rambutku.

“Dasar!” gerutuku sebal, merapikan rambutku yang teracak.

Aldo mengetahui semua hal mengenai diriku, dari hal yang tidak aku sukai sampai yang tidak aku sukai. Aldo memang juaranya dalam hal itu. Hingga suatu hari Aldo membawaku ke pantai menikmati senja. Aku selalu tertegun melihat senja di ufuk barat sana.

“Ren, entah hanya aku atau kau juga merasakan hal yang sama. Aku merasa terjebak dalam situasi friendzone. Maafkan aku yang tidak bisa menahan naluriku dalam hal mencintaimu,” ucap Aldo kala itu.

Aku hanya bergeming. Entah mengapa detak jantungku pun menggebu. Mulut seakan bungkam namun kupaksakan untuk mengatakannya, “jangan meminta maaf, Al. Aku juga mencintaimu.”

“Benarkah? Lalu bagaimana jika kita mencoba untuk menjadi pasangan kekasih?” tanya Aldo sambil menatapku penuh harap.

Aku berdesah panjang. “Al, kita masih seorang pelajar dan aku tidak mungkin menjalin hubungan lebih dari sahabat. Maafkan aku. Kuharap kau mengerti,” jelasku.

“Baiklah, Ren. Aku tidak akan memaksamu dan akan terus menunggu sampai kau siap. Berjanjilah kalau kita akan tetap menjaga perasaan ini.” Aldo mengacungkan jari kelingkingnya.

“Janji.” Aku pun mengeratkan kelingkingku.

Aku masih mengingat kejadian itu dan tidak pernah mengingkari janji yang sudah kami buat. Namun beberapa waktu terakhir sikap Aldo yang ramah, penyayang, dan peduli, tak lagi tampak. Ia juga selalu menolak untuk berangkat dan pulang sekolah bersamaku. Aku berusaha memahami keadaannya. Mungkin Aldo terlalu sibuk dengan tugasnya kerena ia seseorang yang cukup aktif dalam berbagai kegiatan di sekolah. Hanya saja saat di taman kota aku melihat Aldo sedang duduk di salah satu bangku, di sampingnya seorang gadis menyandarkan kepalanya pada bahu Aldo.

Perlahan tubuh gontaiku melangkah pada kursi panjangnya. “Aldo,” suaraku melemah.

“Rena?” Aldo langsung bangkit begitu melihatku.

“Kau … apa yang kau lakukan dengan Meli? Apa kalian?” Aku terdiam sejenak. “Lalu bagaimana dengan janjimu bahwa kau akan menungguku?”

Air mataku mengalir begitu saja saat menatap Meli. Dia adalah teman baikku, seseorang yang tahu jelas seperti apa perasaanku pada Aldo.

“Maafkan aku, Rena. Aku tahu apa yang kamu pikirkan tentangku sekarang, tapi aku juga menyayangi Aldo,” isak Meli. Ia hendak memelukku namun aku berhasil menepisnya dan bergegas pergi sebelum hatiku bertambah perih.

***

Kini aku memilih untuk duduk di bangku tepi danau, menuliskan tentang kejadian hari ini pada buku bersampul biru cerah. Rasa pedih, duka, dan lara tak lagi bisa terbendung. Seseorang yang bertahun-tahun aku percaya begitu mudahnya mengingkari janji yang telah dibuatnya untukku, menyisakan sesak dan air mata.

“Dia bukan Aldo! Dia bukan Aldo!” jeritku untuk menghilangkan stres.

Tiba-tiba seseorang memelukku dari belakang. “Jangan menangisi Aldo. Asal kau tahu, dia senang sekali mempermainkan perasaan wanita, Rena. Kau tidak pantas bersanding dengannya,” katanya lembut sambil mengusap rambutku.

Aku menarik tubuhku lepas dari pelukannya. “Dion?”

“Iya, ini aku.” Dion langsung duduk di sampingku.

“Apa yang kau katakan, Dion?”

“Percayalah, Rena. Hubungan mereka tidak akan bertahan lama.”

“Dari mana kau tahu? Apa Aldo mengatakannya padamu?”

“Jangan memikirkan tentang itu. Aku di sini untuk menghiburmu bukan untuk membicarakan Aldo.”

“Kenapa kau ingin menghiburku?”

“Kenapa?”

“Apa ini kerena apa yang Aldo katakan barusan padaku?”

“Tentang apa?”

“Saat aku hendak pergi, Aldo langsung memegang bahuku. Dia bilang setelah mengetahui perasanmu padaku, maka dia memutuskan untuk menganggapku sekadar adik untuknya. Tapi kenapa? Kenapa dia berubah hanya karena tahu kalau kau mencintaiku?” isakku.

“Pertama, aku memang mencintaimu. Kedua, aku tidak tahu apa pun mengenai itu. Kami tidak cukup akrab untuk saling mengalah soal seseorang yang kami cintai.”

Aku diam untuk beberapa saat. “Maafkan aku, Dion. Aku tidak dapat—”

“Ssst! Bukan tidak dapat, tapi belum,” sergah Dion sambil tersenyum manis.

Setelah hati ini waktu berlalu sangat cepat, dan benar saja apa yang Dion katakan soal hubungan Meli dan Aldo. Belum genap sebulan dan hubungan mereka sudah berakhir. Aku masih memerhatikan Aldo dari kejauhan meski sudah menjaga jarak dan berteman dekat dengan Dion, tapi untuk mengubah perasaanku, sepertinya aku belum dapat memutuskannya. (*)

 

Fitriani, seorang pelajar yang berasal dari Kebumen.

FB: Any Fitriani

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita