Pria Pendosa
Oleh : Dyah Diputri
Kupandangi wanita ringkih yang terbaring di pembaringan itu. Wajahnya hampir tak berekspresi. Menurut anakku, beberapa jam yang lalu, itu terakhir kali dia mampu membuka mata. Setelah beberapa sendok air susu berhasil masuk ke tenggorokannya, dia tertidur. Entah, kapan istri cantikku itu mau membuka mata lagi. Aku ingin mengobrol dengannya.
Namanya Tatik. Mungkin, bagi sebagian orang dia tidak cantik. Wajah standar wanita Jawa zaman dahulu, gigi sedikit berantakan, dan satu matanya juling. Namun, sepanjang hidupku, dialah yang tercantik. Bahkan, meski tubuhnya tidak sesehat dan sebugar dulu, dia tetap yang terbaik. Helai-helai rambut mulai bertumbuhan satu sentimeter, setelah sebelumnya kepalanya plontos. Aroma tubuhnya berganti dengan obat-obatan, yang pasti tercium dari jarak dua meter sebelum memasuki kamar.
Kapan hari, Tatik pernah bertanya kepadaku, “Pak, selama ini aku kurang apa menjadi istrimu?” Suaranya yang terdengar lemah mengiris-iris hatiku. Aku bahkan hampir lupa kapan kali terakhir mendengar nada bersemangat yang keluar dari pita suaranya.
Kugenggam tangannya erat, sama seperti saat dia masih sehat.
“Tiga puluh lima tahun Ibu menemaniku. Tidak ada … tidak ada yang kurang,” ujarku, dengan mengumpulkan ketegaran bulat-bulat penuh sebelumnya.
Tatik hanya memandangku sekilas, kemudian dia kembali bicara, “Maaf, kalau ada kurangnya, Pak. Terima kasih sudah menemaniku selama ini.”
Kekuatan hati yang kubangun tinggi-tinggi akhirnya runtuh juga. Seperti sebelum-sebelumnya, setelah mengatakan itu, pasti Tatik mengucapkan pamit—jika sewaktu-waktu Tuhan mengambil nyawanya. Meski tak henti aku memberi dorongan dan membesarkan hati, tapi Tatik kembali lemah dan menyerah. Jika sudah begitu, aku hanya bisa menyuruhnya istirahat agar tidak terlalu jauh berpikir.
Apa dia tidak tahu kalau aku tidak pernah siap untuk kehilangannya?
Nothing’s gonna change my love for you
You ought to know by now how much I love you
One thing you can be sure of
I’ll never ask for more than your love
Nothing’s gonna change my love for you
You ought to know by now how much I love you
The world may change my whole life through
But nothing’s gonna change my love for you
***
“Pak, bangun, Pak.” Seseorang menepuk bahuku perlahan. Rupanya sedari siang aku tertidur dengan posisi duduk di sebelah tempat tidur, sambil tetap menggenggam tangan Tatik.
“Tari, iya, Nduk. Kenapa?” Kugosok-gosok mata, kemudian meregangkan badan sebentar. Beberapa hari ini tenagaku seperti mudah terkuras, terlebih saat sering berjaga malam di gereja. Maklum, mendekati Natal, penjagaan lebih diperketat.
Tari tersenyum lembut. Anak sulungku memang selalu tampak tenang dan dewasa pemikirannya.
“Ibu, nggak bangun lagi, Pak. Kakinya dingin. Pagi tadi obat sudah nggak bisa masuk.”
Dahiku berkerut. “Loh, kata Yanti bisa masuk beberapa sendok susu, tho?” Aku menyebut nama anak kedua.
Tari menggenggam tanganku. “Nggih, Pak. Tapi, obat ndak bisa. Kita bawa ke rumah sakit lagi, ya?”
Pandanganku beralih pada Tatik. Dia memang tidak bangun lagi. Hatiku ciut rasanya. Namun, jika harus membawa ke rumah sakit—padahal bukan jadwal kemoterapi—lagi, rasanya kok seperti tergesa-gesa. Tapi kalau Tatik bisa bicara saat ini, tentu dia akan menolak. Dia selalu enggan dirawat di rumah sakit jika bukan anak-anak yang memaksa dalam keadaan darurat.
“Pak, penanganan di rumah sakit lebih baik daripada di rumah.” Tari meyakinkan.
Aku pun pasrah, saat Tari mengeluarkan kursi roda dan memintaku memindahkan Tatik yang tak ada daya sama sekali itu. Saat akan menggendong, terasa olehku detak nadi lemah miliknya bak sebuah simfoni letih atas segala yang mendera. Sebagian tubuh bagian bawah dingin. Bahkan, dia tidak mampu mengangkat kepala saat sudah bersandar di kursi roda.
Kami keluar rumah tepat pukul empat sore, melewati gang demi gang sempit untuk sampai di jalan besar. Mobil yang disewa Tari sudah menunggu di sana. Sepanjang jalan menuju mobil, banyak pasang mata tetangga memperhatikan kami. Kemudian mereka saling berbisik, yang mana bisikannya mungkin sama seperti biasanya.
“Kasihan Mbak Tatik, ya. Tambah lemah keadaannya.”
“Iya, rupanya dibawa ke RS lagi. Padahal waktu abis operasi waktu itu, sudah bisa jalan-jalan lagi. Bisa jualan gorengan lagi. Eh, sekarang malah drop.”
Begitulah kiranya suara-suara yang sering tertangkap oleh indra pendengaranku. Paling-paling kutanggapi dengan senyum. Kemudian, dalam hati kurapal doa agar Tatik sembuh seperti sedia kala, walau mungkin Tuhan tak akan pernah mengabulkannya. Entahlah, apa mungkin Tuhan marah kepadaku? Apa kesalahanku di masa lalu cukup besar sehingga Tatik yang harus jadi korbannya?
Aku ingat, aku pernah berbuat dosa besar pada Tuhan. Ketika itu, kulihat Tatik di pesta pernikahan adiknya—Sari. Lalu, terlintas ide jahat untuk menikahinya, hanya sebagai balas dendam karena Sari menolak cintaku. Kedua bersaudara itu memang berbeda, Sari perempuan cantik dan manja, sementara Tatik cenderung pendiam dan berwajah pas-pasan. Pikirku, dengan menikahi Tatik, maka Sari akan merasa tersinggung.
Kuberanikan diri melamar Tatik pada orang tuanya. Emak Tatik yang terkenal paling galak sekampung sontak melemparkan penggorengan besi berpantat gosong ke arahku. “Berani modal apa kau lamar anakku, hah?!” teriaknya.
Jelas, wanita itu tidak sedang membicarakan materi, melainkan keimananku. Beruntungnya, semua sudah kusiapkan matang-matang. Aku membawa serta seorang kiai gadungan untuk bersaksi bahwa aku telah berpindah agama. Maka, di tengah omelan emak Tatik yang pedas sangat, bapak Tatik justru memberi restu.
Kami menikah. Kubelikan sepetak rumah tidak jauh dari rumah orang tuanya. Tatik si mata juling itu bahagia bukan main, tanpa tahu penderitaannya baru akan dimulai.
Sebulan pertama, dia menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Aku terkejut bukan kepalang. Sungguh, tidak ada niatan yang benar untuk memiliki keluarga utuh dengannya. Terlebih, rencana untuk membuat Sari cemburu gagal total karena suaminya memboyong dia ke luar kota, bahkan sebelum ijab kabulku dengan Tatik terlaksana. Sial!
Namun, aku tak habis akal. Memang benar, aku berdosa pada Tuhan. Kubawa Tatik ke dukun aborsi untuk menggugurkan kandungan, bukannya ke dokter. Sekali, dua kali, tiga kali … hingga akhirnya Tatik lelah dan menyembunyikan kehamilan keempatnya.
Aku kecolongan, kandungan yang sudah terlanjur menginjak bulan ketujuh itu tidak mungkin bisa digugurkan. Sambil menangis dan merintih, Tatik memohon agar diizinkan melahirkan dengan tenang.
Untuk pertama kali, aku menemani seorang wanita melahirkan. Mataku menjadi saksi betapa Tatik bertaruh nyawa demi melahirkan anak kami—Tari. Namun betapa piciknya aku. Saat hati mulai tersentuh akan perjuangan hebat Tatik hingga berkorban penambahan minus rabun jauhnya, eh … otakku malah sibuk menyusun rencana untuk membaptis putri kami sebulan lagi.
Anehnya, Tatik setuju-setuju saja sewaktu kuutarakan niat kembali ke keyakinan yang dulu, sekaligus membawa keturunanku untuk ikut serta. “Terserah Bapak saja, aku dukung apa pun itu.”
Aku tidak mengerti bagaimana jalan pikirannya. Kenapa dia bisa berbesar hati menerima apa pun yang keluar dari bibirku? Padahal, dosa ibarat busana yang melekat dalam diriku.
Ya, aku kembali berbuat dosa pada Tuhan. Aku masih ingat, saat aku bermain api secara terang-terangan di hadapan Tatik. Dia sama sekali tidak menangis begitu tahu aku berselingkuh dengan seorang sahabat lamanya. Terlalu legawa, kubilang. Jarang kudengar dia mengeluh, menangis, maupun meminta pisah. Yang kutahu, dia hanya memalingkan kepala Tari kecil saat kami berpapasan di tempat umum, mungkin … agar anakku tidak melihatku yang digelayuti wanita selain ibunya. Kemudian tampak satu tangannya yang lain mengelus perut yang tengah bunting anak kedua.
Pada malam yang entah hari keberapa aku minggat, aku pulang lagi ke rumah. Tatik menyambutku dengan baik, seolah-olah aku baru pulang dinas luar negeri. Sambil menguleni adonan donat untuk jualan besok hari, dia bilang, “Suatu saat Tuhan akan membuka hatimu. Entah dengan cara apa dan bagaimana. Aku yakin, kok, nanti kamu akan mencintaiku.”
If the road ahead is not so easy
Our love will lead the way for us
Like a guiding star
I’ll be there for you if you should need me
You don’t have to change a thing
So come with me and save the view
I’ll help you to see forever too
***
“Ibu harus masuk gawat darurat khusus, Pak.”
Tari menyadarkanku dari lamunan masa lalu. Tanpa terasa, setitik air jatuh mengaliri pipi. Begitu tidak sempurnanya aku menjadi bagian hidup Tatik. Mengecewakan. Terlalu banyak kesalahan, yang walaupun telah kusadari sejak lama, tapi sesalnya tak kunjung hilang. Bisa jadi perkataan orang-orang memang benar, cinta Tatik telah membutakan matanya untuk menilaiku, dan aku … terlalu naif untuk masih berharap dia selalu ada agar aku bisa menebus kesalahan.
Kini, aku berdiri di titik yang menyakitkan. Saat aku telah belajar mencintainya, saat aku belajar mengerti perasaannya … saat itulah Tuhan mengirimkan sel kanker untuk berkembang di mulut rahimnya. Tuhan punya kuasa untuk merajam hatiku dengan mengambil Tatik sewaktu-waktu, tanpa peduli aku masih bisa bernapas tanpanya atau tidak.
If I had to live my life without you near me
The days would all be empty
The nights would seem so long ….
With you I see forever, oh so clearly
I might have been in love before
But it’s never felt this strong
Detak jarum jam di rumah sakit terasa berjalan cepat-cepat. Sementara di balik UGD, aku masih menunggu hasil pemeriksaan dokter. Hanya satu orang diizinkan untuk mendampingi Tatik, dan kuserahkan tugas itu pada Tari. Aku sungguh tidak punya kekuatan lagi saat ini.
Beberapa kali Tari keluar masuk ruangan gawat darurat khusus itu hanya untuk mengabarkan kondisi ibunya yang semakin buruk. Dadaku bergemuruh hebat disertai ngilu seakan-akan tertusuk pisau kasat mata. Sakit.
Hingga akhirnya, Tari menghampiriku lagi. Di balik kaca mata tebal, dia menyembunyikan sisa air mata. Namun begitu, seorang anak tidak akan mampu menghapus riak duka di hadapan ayahnya.
“Gimana Ibu, Nduk?”
“Nadinya sudah tidak teraba. Saat ini, Ibu bisa bertahan karena alat-alat, Pak. Sebenarnya ….” Tari menggantung kalimatnya.
Napasku seakan-akan terhenti detik ini. Apa aku harus bersiap walau tak akan pernah bisa?
Hold me now
Touch me now
I don’t want to live without you ….
“Ikhlaskan Ibu, nggih, Pak. Biarkan Ibu pergi dengan tenang. Kalau dipaksa bertahan, mungkin akan lebih sakit buat Ibu.” Tari meluapkan air mata dan memelukku.
Untuk sesaat, rongga dadaku terasa begitu penuh dan panas, seperti banyak dedak yang menyumpal. Air hangat menggenang di pelupuk mata, lalu dalam sedetik tumpah tanpa bisa kucegah. Aku memang seorang pria pendosa, tapi aku masih punya hati untuk merasakan takut kehilangan.
“Apa Ibu sudah memaafkan semua kesalahan Bapak, Nduk?” tanyaku ragu.
“Kenapa bilang begitu, Pak?”
“Karena Bapak tidak menjadi suami yang baik untuk ibumu.”
Tangis Tari semakin berderai. Telah begitu banyak hal yang dilalui Tatik, dan Tari menjadi saksi hidup. Betapa Tatik telah berjuang dan mengimbangi langkahku selama ini. Bahkan dalam keadaan sekarat setelah operasi pengangkatan rahim, wanita tegar itu masih bisa menunjukkan senyum termanisnya.
“Ibu sayang sama Bapak. Ibu ndak pernah marah sama Bapak. Itu yang Tari tahu.”
Sedikit terobati kekalutan ini. Sepertinya aku harus berpikir dari sisi yang lain. Mungkin Tuhan memang sedang memberi pelajaran padaku. Bukan berarti Tatik yang mendapatkan karmanya, sebab wanita berhati besar yang sepanjang hidupnya mendewakan kasih sayang—seperti Tatik—tidak mungkin tersakiti oleh-Nya.
“Bapak ikhlas, Nduk. Bapak ikhlas.”
Air mata kami mengalir bersamaan. Hati juga sakit bersamaan. Mungkin selama beberapa waktu akan merasakan kehilangan, tapi cinta dan kenangan Tatik tidak akan pernah hilang dan terganti oleh apa pun.
Nothing’s gonna change my love for you
You ought to know by now how much I love you
One thing you can be sure of
I’ll never ask for more than your love
Nothing’s gonna change my love for you
You ought to know by now how much I love you
The world may change my whole life through
But nothing’s gonna change my love for you …. (*)
Catatan Kaki:
Lagu Nothing’s Gonna Change My Love for You pertama kali dirilis oleh George Benson pada tahun 1985. Kemudian dirilis lagi oleh beberapa penyanyi termasuk boy band Westlife di era 90-an.
Dyah Diputri. Pecinta diksi yang tidak sempurna.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata