Pria Kucing
Oleh: Reza Agustin
Candranika tak pernah menyukai kucing. Baginya makhluk berbulu itu tak lebih dari bola bulu yang spontan. Terlalu spontan sehingga ia tak dapat menerka-nerka apa yang sebenarnya berlarian di kepala mereka. Tak seperti anjing yang memiliki karakteristik patuh dan lebih mudah diatur. Kucing adalah mamalia yang seenaknya sendiri, seolah-olah mereka pusat dunia dan makhluk selain mereka diibaratkan sebagai pelayan. Mereka makhluk paling egois sedunia.
“Kamu mau aku datang ke sana?! Bersentuhan dengan kucing-kucing itu, bermain-main dengan mereka, lalu semua bau kucing itu melekat padaku?! Maaf, terima kasih. Aku sama sekali tidak tertarik!”
Itu adalah pagi yang agak lesu di kantor redaksi majalah tempat Candranika bekerja. Majalah pada dasarnya sudah tergusur oleh artikel digital yang bermunculan di internet. Tiba-tiba saja kepala redaksi mereka membuat gebrakan untuk membuat liputan video yang akan mendukung promosi majalah cetak yang juga akan dicetak dengan sistem pre order.
Maulia, senior Candranika memohon-mohon sejak kemarin lusa agar Candranika mengambil tugas liputan ke sebuah kafe kucing domestik yang baru-baru ini viral. Sang pemilik kafe adalah orang yang cukup tertutup pada media, pria tersebut menolak wawancara mendadak para pengunjung. Namun, ia menerima tawaran kepala redaksinya untuk membuat liputan video, yang nantinya akan nada versi lengkap dari video itu dalam bentuk cetakan. Ia pemerhati bahan bacaan cetak, rupanya.
“Nik, kamu, kan, tahu kalau aku alergi bulu kucing. Selain kamu, tidak ada yang bisa menggantikan tugas liputan ini, ya?” Maulia terus menerus membujuk, berharap sang rekan kerja berbaik hati mengambil alih liputan. Candranika sendiri enggan peduli.
Pintu ruang kerja mereka terbuka, seorang pria kisaran usia tiga puluhan masuk sambil membawa kamera. “Sudah, sudah, Maulia. Kamu tidak perlu membujuk Nika seperti itu. Berhenti merengek padanya, ya.”
“Tapi, Pak….”
“Tak perlu dibujuk. Candranika Prameswari harus ikut saya apa pun yang terjadi, kalau tidak ingin potong gaji.”
Ancaman final yang diberikan kepala redaksi mereka sontak tidak memberikan pilihan apa-apa lagi bagi Candranika selain mengikuti ke mana pun kepala redaksinya pergi. Bahkan jika itu ke ujung dunia atau Atlantis.
Maka sampailah kedua orang itu di sana. Sebuah kafe yang sedang ramai para pengunjung. Beberapa mengenakan kaus komunitas pecinta kucing, selebihnya adalah pengunjung biasa yang datang karena penasaran saja. Beberapa kucing beraneka warna menyambut kedatangan Candranika dan kepala redaksinya. Pria itu senang-senang saja ketika digelayuti kakinya atau ditangkap oleh kucing-kucing itu. Lain dengan Candranika yang membungkus dirinya dengan jaket tebal dan masker kendati cuaca sedang panas. Ia jijik saja.
Mereka disambut oleh pemilik kafe sekaligus kokinya ketika memasuki bagian dalam kafe. Kesan pertama tentang pria itu adalah: seperti kucing. Dengan mata yang tajam dan warna mata yang agak cerah daripada orang Indonesia pada umumnya yang cokelat gelap. Matanya berwarna cokelat muda dan dipayungi bulu mata yang lentik. Sebuah kacamata bertengger di hidungnya yang mancung. Ia pun cukup tinggi, bahkan lebih tinggi dari kepala redaksi. Candranika dapat menangkap kesan-kesan darah asing di wajahnya.
Dengan suaranya yang dalam, ia membimbing ke sebuah ruangan yang lebih eksklusif di mana para kucingnya lebih teratur dan jinak karena berusia cukup tua. Pria tersebut tak lupa menghidangkan menu andalan kafenya. Ia cukup bersih karena selalu mencuci tangan setiap habis berkontak dengan kucing-kucing yang menghiasi setiap sudut kafe.
“Jadi, bolehkah saya mengajukan pertanyaan? Ini tentang konsep kafe ini, sebenarnya apa konsep dan latar belakang yang mendasari dibangunnya kafe kucing ini, Mas Alvian?” tanya Candranika sembari menyiapkan alat perekam dan catatan, sementara kepala redaksinya merekam.
“Saya suka kucing dan memasak. Itu saja, apa salahnya kalau digabungkan?” Sebuah jawaban singkat yang tidak menjelaskan apa pun. Benar-benar arogan seperti kucing.
“Tapi kenapa Mas Alvian lebih tertarik dengan kucing domestik atau kucing kampung seperti ini? Padahal di luar negeri sana, kafe dengan konsep sama banyak menggunakan kucing ras.”
“Mereka sama-sama kucing, tidak ada alasan khusus untuk tidak menyukai mereka hanya karena hidup di jalanan. Merawat kucing yang telantar bukankah lebih banyak pahalanya? Saya ingin semua kucing mendapat rasa sayang yang sama.” Biarpun menjelaskan hal yang agak positif, ekspresi Alvian tetap datar. Biarpun ekspresinya nyaris tidak terbaca, Candranika dapat melihat ketulusan di binar matanya.
Wawancara tersebut berjalan dengan mulus, diakhiri dengan Alvian yang bertukar kontak dengan mereka berdua untuk memantau proses cetak majalah ke depannya. Pria berkacamata itu ingin memesan sepuluh eksemplar majalah yang nantinya akan disimpan di kafe dan sebagian dibagi untuk komunitas pecinta kucing. Berkebalikan dengan wajah dinginnya, pria itu ternyata memiliki hati yang hangat.
Candranika tak tahu pasti dari mana semua ini bermula, ketika ia dapat terhubung dengan Alvian melalui statusnya di aplikasi pesan instan. Awalnya ia hanya menggeser-geser, lalu menemukan foto Alvian yang mengubur buntalan putih kecil. Salah satu anakan kucing yang tidak dapat diselamatkan. Lalu, ketika Candranika mengunggah pilihan sampul untuk majalah edisi terbaru, Alvian ikut memilih. Saling tukar pesan itu mengubah hidup Candranika sedikit demi sedikit—tentang kebenciannya pada kucing maupun anggapannya tentang Alvian yang arogan. Pria itu hanya malu mengekspresikan diri. Ia tidak sekaku itu jika dihubungi via telepon ataupun bertukar pesan suara. Sedikit-sedikit pula Candranika mulai membuka mata tentang perawatan kucing. Jenis-jenis makanan yang dapat dikonsumsi kucing, vaksinasi rutin, sterilisasi, dan lain sebagainya. Ia tak lagi membenci kucing seperti dulu.
“Nika, cetakan majalah kita yang akan dikirim ke kafe sudah siap. Bisa kamu antarkan ke kafe, tidak?” tanya Maulia sembari menghampiri meja kerja Candranika.
Jika Maulia bertanya seperti itu beberapa minggu ke belakang sebelum mengenal Alvian, mungkin ia akan mendapatkan penolakan dari Candranika seperti biasa. Namun, Candranika tidak sedingin itu tentang kucing sekarang. Atau mungkin bukan tentang kucing lagi, tetapi Alvian. Ketika Candranika menyanggupi permintaan Maulia, rekan kerjanya itu menatap curiga.
“Kamu berubah, loh, Nik. Bukannya kamu paling anti dengan kucing? Perubahanmu ini mengejutkan, loh,” komentar Maulia, tidak percaya.
Candranika bukannya tidak menyadari perubahan-perubahan tersebut. Perkenalannya dengan Alvin memang membawa banyak pengaruh baik. Sebut saja keengganannya pada kucing, semakin lama terkikis. Ia mulai senang jika makhluk-makhluk berbulu dan menggemaskan itu menggelayuti kaki atau mengeong meminta perhatian. Kendati perubahan tersebut bertahap dan selalu terjadi jika Alvin ada di dekatnya, setidaknya rasa jijik dan benci kepada kucing perlahan luruh.
Namun, berlainan dengan rasa benci yang pudar itu, ketertarikan Candranika kepada Alvin semakin bertumbuh dan subur. Ditandai dengan jantungnya yang selalu berdebar tiap kali berdekatan atau bertukar pesan, juga ketika sentuhan kecil tak sengaja terjadi di antara mereka berdua. Saat memandikan kucing atau bermain dengan mereka. Alvian benar-benar mengubahnya.
***
Sebagaimana kucing yang memiliki karakteristik tak dapat ditebak, Alvian sering kali bercerita tentang topik atau hal tak terpikirkan. Ia banyak mengobrol jika bersama dengan Candranika sembari mereka memandikan kucing atau memberikan vitamin. Pria itu seperti kucing yang lekat pada majikannya jika bersama Candranika. Alvian, kucing hitam yang cerewet dan selalu mengatakan hal-hal tidak terduga.
“Kamu tahu kenapa saya suka dengan kucing? Karena saya ingin menjadi seperti mereka yang bebas, hidup secara soliter, dan tidak merepotkan orang di kala kematian mendekat. Saya ingin seperti itu,” ujar Alvin sembari mengulurkan tangannya pada langit senja yang berwarna jingga. Goresan-goresan acak pada pergelangan tangannya tertangkap oleh mata Candranika.
“Luka itu….”
“Saya ingin menjadi seperti kucing yang mati dalam kesendirian. Saya pernah melakukan percobaan bunuh diri ketika sesuatu yang tak dapat saya raih makin terlepas dari genggaman tangan saya. Beruntungnya saya selamat berkat kucing peliharaan saya yang mengeong keras hingga saya ditemukan.”
“Apakah itu kucing yang mahal? Kucing ras yang anakannya seharga ratusan juta?”
Alvian terkekeh sebelum membalas, ”Bukan, peliharaan saya selalu kucing domestik yang dipungut dari jalan. Yang menyelamatkan saya adalah kucing, lalu yang membuat saya ingin bunuh diri adalah kucing ras mahal, yang tak akan pernah tergapai biarpun saya punya ratusan juta untuk menebusnya.”
Tatapan Alvian yang sendu mengiris hati Candranika. Bukan karena cerita sedih yang dibagikan pria itu, tetapi kemungkinan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan Alvian di balik cerita tersebut. Perasaannya mendadak tak keruan.
***
Sore hari, ketika lembayung senja belum menuruni langit, Candranika membawa skuter matic-nya menuju kafe kucing. Laju motornya terhenti oleh seorang wanita yang terhuyung di tengah jalan. Dari penampilannya, wanita itu tidak mungkin gelandangan yang lemas karena tak makan berhari-hari. Ia mungkin kaya, terbukti dari mobil merek Jerman tempat wanita itu duduk setelah dibimbing Candranika menepi.
“Terima kasih, ya. Padahal kamu tidak mengenal saya. Tapi saya berterima kasih sekali karena kamu berbaik hati menolong,” ujar wanita tersebut yang mengenalkan namanya sebagai Felice.
“Sepertinya Anda sedang terkena masalah. Kalau tidak keeberatan, mau berbagi cerita dengan saya,” tawar Candranika sembari mengulurkan segelas teh manis hangat pada Felice.
“Ya, boleh saja, sambil menunggu tunangan saya datang ke sini dan menjemput. Saya terlalu sedih sampai-sampai tak bisa mengendarai mobil sendiri. Ya, ini masalah asmara. Klise sekali. Seseorang yang saya cintai dulu menghilang tiba-tiba ketika saya dihadapkan pada pilihan mencintai orang itu atau calon tunangan saya.” Felice memulai cerita. Binar di wajahnya memudar sementara matanya mulai berkaca-kaca.
“Apakah itu perjodohan?”
“Ya, saya dijodohkan dengan anak dari rekan bisnis orang tua saya. Untuk menjalin kerja sama dan memperluas bisnis tentunya. Sedangkan orang yang saya cintai itu berjiwa bebas. Seenaknya sendiri. Tidak mau dikekang dan asyik dengan isi kepalanya. Seperti seekor kucing, matanya seperti kucing. Dan, ia juga pecinta kucing.”
Senarai ciri-ciri yang secara tak sengaja disebutkan Felice mengingatkan Candranika pada Alvin. Pria bermata kucing dan pecinta kucing.
“Dia sama sekali tidak merasa bersalah meninggalkan saya tanpa kabar. Lalu ketika saya mengirimkan undangan pernikahan padanya, ia kembali meninggalkan saya seolah kami tak permah memiliki hubungan. Dengan sikapnya yang dingin seenak hati seperti itu, saya memiliki satu harapan kepada tunangan saya. Jika tunangan saya benar-benar menginginkan saya, maka saya akan melupakan laki-laki yang pernah saya cintai itu. Tapi saya harus berharap apa? Dia orang yang sangat sibuk, saya pasti bukan prioritas baginya.”
Namun, Felice salah. Tunangannya datang, langsung menjemput. Mereka berpelukan dan pria itu menguatkan Felice atas apa pun yang membuat calon istrinya bersedih. Maka, Felice telah menentukan pilihan, bahwa tunangannya adalah seseorang yang pantas untuk diperjuangkan. Ia menatap Candranika dengan tatapan selamat tinggal. Mungkin mereka tidak akan pernah bertemu lagi. Namun, Candranika mendapati sisa-sisa Felice tersisa di kafe Alvian.
“Nika, ada yang ingin saya katakan padamu.” Alvian menanti di depan pintu masuk.
Candranika yang dikerubungi kucing tiba-tiba saja menghentakkan kakinya hingga kucing-kucing tersebut berlari ke arah Alvian meminta perlindungan. Alvian tampak terkejut dengan perubahan sikap perempuan itu.
“Felis catus, kucing. Lalu wanita itu, namanya Felice. Kucing mahal yang tidak bisa kamu gapai bahkan jika memiliki uang banyak. Apa aku salah? Wanita yang kami tinggalkan tanpa kabar dan kamu abaikan ketika ia kembali membawa kabar bahagia?”
Alvian tak berkata-kata, sebuah pertanda bahwa ia memang mengakui semua yang sudah dikatakan Candranika. “Nika, kita bicara dulu, ya.”
“Kamu benar-benar kucing, ya! Seenaknya sendiri dan tidak peduli dengan orang lain! Semua pasti tentang kamu dan apa yang ada di pikiranmu! Aku kecewa padamu!”
Itu adalah hari terakhir Candranika bertemu dengan Alvian dan begitu pula sebalinya. Keduanya kembali menjadi dua orang asing yang tidak mengenal. Kendati keduanya sama-sama mengunggah momen keseharian melalui media sosial, tak ada satu pun di antara mereka yang berbesar hati menyapa. Pada akhirnya, mereka menjadi penonton pada unggahan di media sosial. Dua orang yang dulunya pernah begitu lekat menjadi dua orang yang enggan saling berurusan.
Harusnya jika seorang pria membuat wanitanya sakit hati atau menimbulkan kesalahpahaman, maka sang pria akan tanggap meluruskan masalah. Namun, Alvian berbeda. Tentu saja, ia seekor kucing hitam besar yang egois! Candranika perlahan menghapus sisa-sisa kehadiran pria yang sekarang enggan disebut namanya itu dari pikiran dan ponsel, juga barang-barang yang dibeli Candranika karena ingin lebih dekat dengan Alvian.
Kardus berisi makanan dan sampo kucing itu dibuang begitu saja di tempat sampah. Ia tak peduli jika nantinya para kucing liar berebutan dengan anjing atau tikus. Apa pun yang terjadi, ia sudah membuang semua jejak Alvian. Namun, langkahnya tertahan oleh sebuah rintihan kecil seekor kucing. Dada Candranika bergemuruh. Ia tidak akan menoleh, kucing itu pasti bisa bertahan. Mereka, kan, punya sembilan nyawa.
Rintihan kecil itu datang lagi dan makin menyayat hati. Hati Candranika luluh. Dulu ia memang membenci kucing, ia belajar menyukai kucing demi Alvian. Namun, kali ini beda. Atas nama kasih sayang sesama ciptaan Tuhan, ia membuka-buka tumpukan sampah sembari berharap dapat menemukan makhluk kasihan tersebut. Rasanya seperti patah hati yang teramat dalam ketika mendapati seekor induk kucing tewas sementara anak-anaknya yang masih kecil mengeong-ngeong seolah membangunkan sang induk.
Dengan tangan bergetar dan separuh menangis, ia membawa tubuh tak berdaya sang induk ke tempat lain untuk dikuburkan sementara anak-anaknya ditaruh hati-hati dalam kardus. Sebuah klinik hewan menjadi tujuan utama Candranika. Kendati ia hanya mengenakan celana pendek dan kaus harian yang lusuh, serta mengenakan sandal bermerek burung yang alasnya nyaris halus. Dalam kebingungan, ia membuka satu nama di kontak ponsel. Ditekannya ikon memanggil dan tak butuh waktu lama hingga panggilan itu diangkat.
“Nika….”
“Aku mau kamu di sini, temani aku. Kumohon….”
Kehadiran Alvian di sisi Candranika seperti seekor kucing yang menunggui majikannya di kala susah. Pria itu nyaris tak mengucapkan apa pun, ia hanya datang menyapa dan duduk di samping Candranika dan mengelus pundaknya pelan. Jarum jam seolah digelantungi beban, enggan bergerak. Menanti selalu menjadi momen yang tidak menyenangkan. Seorang pria berseragam biru keluar dari ruang pemeriksaan dengan wajah bercucuran keringat.
“Kucingnya mengalami malnutrisi. Beruntungnya mereka dibawa sebelum keadaan semakin memburuk. Mereka akan dirawat di sini sampai benar-benar sehat. Kamu berhasil menyelamatkan mereka.” Dokter tersebut menepuk pundak Candranika lalu melakukan hal yang sama pada Alvian. Bedanya, pada Alvian, pria tersebut mengedipkan sebelah mata, menggoda. Mereka berdua memang berteman cukup dekat. Malah terlalu dekat untuk mengetahui sesuatu yang terjadi di antara Candranika dan Alvian sendiri.
“Jadi, kamu menelepon ke sini untuk melihat anak-anak kucing itu?” tanya Alvian.
“Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi selain menghubungimu. Orang yang sangat ahli dalam urusan kucing,” ungkap Candranika. “Harusnya aku mengabaikan mereka. Tapi aku tidak bisa.”
“Kamu sudah melakukan hal yang benar. Mereka akan tumbuh menjadi sehat dan ceria nanti. Itu semua berkat kamu.”
“Alvian… maaf karena telah berpikir bahwa kamu orang yang buruk karena perlakuanmu pada Felice.”
Alvian awalnya enggan mengusik lagi topik ini. Ia meraba pergelangan tangannya yang dipenuhi goresan. “Aku memang orang yang buruk. Harusnya aku tidak menyerah saat orang tua Felice menentang hubungan kami. Tapi aku terlalu pengecut. Alih-alih berjuang mendapatkan restu mereka, aku justru memilih bunuh diri. Tapi, Nika. Sebenarnya orang yang sudah menolongku adalah tunangan Felice yang sekarang. Aku melarikan diri dari Felice bukan karena aku egois, tapi karena aku menemukan bahwa pria itu adalah orang yang tepat untuk Felice nanti. Sedangkan Felice tidak ingin berpisah dariku padahal ia sudah mendapat pria yang setara dengannya.”
“Lalu kamu tidak menceritakan ini pada Felice?”
Alvian menggeleng lemah. “Aku adalah kucing yang seenaknya sendiri dan memilih sendirian di akhir hidupnya. Aku berusaha membunuh rasa cintaku pada Felice dengan membangun kafe, tapi rasa cintaku tumbuh lagi tanpa kusadari. Dan bodohnya aku melakukan hal yang sama, memendam rasa itu lagi sendiri.”
“Setidaknya katakana pada Felice kalau ka–”
“Aku cinta kamu, Nika.”
Jarum jam seolah-olah berhenti bergerak. Semesta seolah-olah berhenti dan berpusat pada sepasang mata cokelat muda Alvian. Satu yang masih bergerak, debaran jantung Candranika yang tak terkontrol.
“Terima kasih karena kamu datang lebih dulu padaku seperti ini. Aku tidak akan menjadi kucing pengecut lagi.”
Sebuah kecupan mendarat di puncak kepala Candranika. Saat itulah dunia kembali berputar dengan mereka berdua sebagai porosnya.(*)
Reza Agustin. Berasal dari Wonogiri, kelahiran Agustus 1997. Seorang gadis yang gemar berkhayal dan menikmati kesendirian.