Pria Gila yang Menyukai Kakakku
Oleh : Fathia Rizkiah
Aku turun dari boncengan saat motor yang dikendarai kakak kelasku berhenti. Liburan kali ini aku pulang diantar pengurus pondok, karena nomor telepon kakakku tidak bisa dihubungi, begitu pun dengan nomor orangtuaku, jadi, hingga seluruh santri pulang—kecuali pengurus pondok pesantren—hanya aku yang masih mendekam di asrama menunggu jemputan. Aku kesal, namun juga khawatir. Ada apa dengan mereka? Kenapa tiba-tiba semua menonaktifkan nomor telepon?
Saat aku turun, seluruh tetangga mendadak memperhatikanku. Banyak bayi menggemaskan di sekitar mereka, namun tatapan mereka masih saja terpaku padaku. Ada apa? Apa cara berkerudungku aneh sehingga bentuk wajahku terlihat aneh juga? Atau, mereka terpesona dengan kulitku yang memutih karena hampir setiap beraktivitas tidak terpapar langsung dengan sinar matahari? Ah entah, aku tersadar saat kakak kelasku menyalakan klakson.
“Ana balik dulu ya, Nay. Selamat liburan. Jangan lupa bantu Mama di rumah, jangan tidur terus.”
Aku tertawa. “Hati-hati, Ukhti.”
Motor melaju perlahan, aku melambaikan tangan dan kembali menoleh sekali lagi. Mereka masih menatapku. Lama-lama aku menjadi risi, dan akhirnya kuputuskan untuk tidak terlalu peduli. Aku hanya tersenyum kemudian berjalan riang memasuki gang. Ya, rumahku ada di dalam gang.
Masih sama dengan tatapan tetangga sebelumnya, bahkan tetangga yang terbilang dekat dengan mamaku menatapku dengan terkejut. Ia terburu-buru masuk ke dalam rumah saat melihatku lewat. Aku makin penasaran. Ada apa, sih?
Rasa penasaranku semakin menjadi-jadi saat menatap rumahku sendiri. Di pintunya tertempel sebuah kertas bertuliskan “Kontrakan ini dikontrakkan”. Lho? Kok? Aku berlari, mencoba membuka pintu rumah, namun tidak bisa. Pintunya dikunci. Tanganku meraba ventilasi di atas pintu, biasanya di sana tempat Mama menyimpan kunci. Tetapi sama saja, tidak ada! Ini memang bukan rumah keluargaku, kami di sini hanya menumpang, tapi kabarnya bapakku sedang berusaha agar rumah ini menjadi rumah kami.
“Naya?” panggil tetangga yang sangat dekat dengan keluargaku, rumahnya ada di paling ujung di deretan kontrakan ini.
“Bude.” Begitu aku memanggilnya. Ia mendekatiku.
“Udah libur?” tanyanya basa-basi sambil meremas tanganku setelah aku mencium punggung tangannya.
Aku mengangguk cepat. Sebelum aku menanyakan apa yang terjadi, Bude merangkulku, mengajakku masuk ke rumahnya. Sambil berjalan ia berbisik, “Nanti Bude kasih tau di rumah, jangan cerita di sini, nanti ada yang dengar.”
Aku semakin penasaran. “Siapa?”
Bude tidak menjawab, ia mempercepat langkah.
Setibanya di rumah Bude, ia pergi ke dapur untuk membuatka teh hangat.
“Sebenarnya kenapa sih, Bude?” tanyaku setelah Bude kembali dan duduk di sebelahku.
Bude mulai bercerita, semenjak aku masuk pondok pesantren, pria yang tinggal di rumah besar persis di depan gang rumahku—panggil saja Galang—ternyata selama ini menyukai kakakku, Suci. Ia pernah memberikan kakakku cokelat. Tetapi kakakku menolak, karena kakakku mengira cokelat itu diberikan Galang untukku, bukan untuknya. Saat itu kakakku berpikir aku sudah masuk pondok pesantren, mungkin lima bulan lagi baru akan pulang, jadi untuk apa menerima cokelatnya jika hanya untuk menjadi pajangan di dalam kulkas?
Mulai sejak itu Galang marah dan menjadi gila, ia terus-menerus mengejar kakakku. Keesokannya pukul 22.00 Galang datang sambil membawa sepiring makanan. Menurut cerita Bude, makanan itu dimasak sendiri oleh Galang, tetapi Bude tidak ingat makanan apa yang diberikan. Malam itu hanya ada Kakak di rumah, Mama sedang pergi ke rumah Bulik, Bapak sedang berdagang keliling. Dulu, kakakku juga anak pesantren, jadi begitu Galang datang, ia menolak dengan alasan tidak boleh menerima tamu pria saat anak perempuan sendiri di dalam rumah. Ditambah lagi, hari sudah malam yang tidak memungkinkan untuk orang menerima tamu.
Tetapi, Galang memaksa. Ia terus membujuk kakakku agar ia bisa masuk ke dalam rumah. Awalnya kakakku menanggapi dengan halus, dan mencoba menjelaskan lebih detail kenapa ia tidak membolehkan Galang masuk. Entah sudah berapa kali kakakku mengulang kalimat yang sama, Galang tidak juga mengerti. Ia tetap memaksa mau masuk ke dalam rumah.
“Cuma cicip makanan aja kok, ini saya yang masak loh. Ayo cobain,” ucap Bude seraya mempraktikkan gaya Galang malam itu. Kebetulan saat itu Bude sedang lewat setelah membeli sesuatu di warung depan gang.
Semakin lama kakakku menjadi risi, akhirnya ia menutup pintu tanpa memedulikan ucapan Galang lagi.
“Setelah itu Bude dan tetangga semua langsung keluar, Galang ngamuk sambil nendang pintu rumahmu.”
“Terus gimana sama Kakak, Bude?”
“Kakakmu nangis, badannya gemetaran.”
Aku merinding membayangkannya, aku belum pernah melihat Kakak seperti itu, meskipun ia dalam kondisi sangat takut, ia tidak pernah menangis apalagi sampai tubuhnya bergetar. Bude melanjutkan ceritanya. Setelah itu kakakku menginap di rumah Bude sampai Mama dan Bapak pulang.
Keesokan hari setelah Galang mengamuk, pacar Kakak datang ke rumah. Ia datang untuk mengajak Kakak membeli cincin tunangan. Galang, yang memang seorang pengangguran, tak memiliki aktivitas lain selain ngopi di teras rumahnya, menatap Kakak dengan sangat sinis saat Kakak dan kak Syaif—pacar kakak—berboncengan naik motor melintasi rumahnya.
Sorenya, seperti biasa Kakak mengobrol dan bercanda dengan tetangga sekitar. Kakakku sangat menyukai anak kecil, setiap melihatnya kakakku pasti datang dan mengajak anak-anak kecil itu berkomunikasi. Kebetulan sekali anak-anak tetanggaku banyak yang balita. Dan sore itu, penyebab kakakku datang untuk mengobrol bukan lain karena di sana ada anak-anak. Tak bisa menahan kegemasan mereka, kakakku menggendongnya.
Tiba-tiba Galang datang. Ia membawa sebotol minuman dengan mimik wajah marah. Setelah ia berdiri di depan kakakku, ia membuka tutup botol yang ia bawa, kemudian menumpahkan isinya ke kaki kakakku. Kakakku terkejut, itu bukan air minum biasa, itu bensin!
Kakakku berteriak, ia membuka sandalnya dan berlari dalam keadaan masih menggendong bayi.
Galang merogoh saku celananya, meraih korek api kayu dan membakar sandal kakakku.
Keadaan menjadi heboh, banyak tetangga berkumpul, termasuk Mama, Bapak, dan Bude.
“Itu anak siapa? Belum nikah aja udah punya anak, katanya lulusan pondok pesantren tapi hamilnya di luar nikah. Dasar lonte.”
Aku terkejut. “Itu Galang yang bilang begitu, Bude?”
Bude mengangguk tegas. “Iya!”
Bapak langsung maju, ia tidak terima kakakku dikatai seperti itu. Tangannya sudah mengepal kuat. Belum sampai bogemnya melayang tepat sasaran, beberapa pria dewasa menahan bapakku. Mereka menenangkan bapakku sambil berbisik, “Nggak usah diladeni. Kita yang waras ngalah.”
Bude terdiam sebentar, ia menyeruput gelas teh miliknya.
“Separah itu ya, Bude? Berarti keluarga Naya pindah, karena kejadian ini?”
Bude mengangguk. “Keluargamu ngambil jalan aman. Semakin hari tingkah Galang semakin nggak karuan. Kalau keluargamu ngga pindah, mungkin kamu juga ikut jadi sasaran. Kemarin mamamu sudah kena, bapakmu juga sudah, bahkan sudah berantem juga sama Galang-nya. Hampir aja Galang-nya dilaporkan polisi, dua kali dia mau bakar kakakmu.”
Aku mau menangis rasanya. “Sekarang Mama-Bapak tinggal di mana, Bude?”
“Untuk sementara tinggal di rumah bulikmu. Mau ke sana?”
Aku mengangguk.
“Sebentar, biar Bude telepon kakakmu. Nanti Bude antar kamu ke depan, kakakmu jangan sampai masuk ke sini, bisa bahaya kalau Galang lihat.”
“Memangnya kenapa, Bude?”
“Bisa ditelanjangi di jalan ntar. Alasan kuat keluargamu pindah karena mama dan kakakmu hampir ditelanjangi Galang. Dan orang-orang yang membantu keluargamu akan kena teror gilanya juga.” Bude menghela napas. Kemudian bersuara lagi setelah telepon di ujung sana diangkat. “Ya, halo Suci ….” (*)
Fathia Rizkiah, pencinta kucing oren yang tinggal di Kota Tangerang. Ada yang percaya kalau cerita yang saya tulis ini nyata? Hehehe.
Editor : Fitri Fatimah
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata