Pria Bermuka Tembok

Pria Bermuka Tembok

Pria Bermuka Tembok
Oleh: Reza Agustin

“Dasar Muka Tembok! Udah enggak punya malu, masih punya nyali buat tinggal di sini! Mati aja sana!”

Matahari baru menyembul di sisi timur, jalanan masih lembap oleh embun, dan seorang pria memunguti bata yang berguguran dari wajahnya. Dia dipanggil dengan muka tembok. Wajahnya memang terdiri dari adonan semen dan beberapa keping bata yang telah usang. Catnya telah mengelupas sejak lama.

Seperti rutinitas biasa, ia akan mendapati dua atau tiga umpatan tiap kali melangkah keluar dari gubuk jeraminya. Kali ini seorang wanita melempar wajahnya dengan batu. Merontokkan sisa-sisa bata yang ia punya di wajah. Ia tak pernah bicara, sudah jelas karena wajah yang termakan waktu itu tak diberi mulut oleh Sang Pencipta.

Ia tak makan, tak minum, tak buang hajat seperti orang-orang pada umumnya. Dia bukan orang omong-omong. Tak ada yang bisa mendeskripsikan secara gamblang bagaimana pria itu tinggal di lingkungan kumuh mereka. Kehadirannya tak pernah diinginkan. Orang-orang tak menghendaki sebuah entitas di luar nalar berbaur bersama mereka yang sering menyebut kaum sendiri dengan manusia. Kaum-kaum yang bahkan tak mengerti ajaran manusiawi.

Muka Tembok berjalan menyusuri jalanan yang berdebu, di bawah terik kemarau yang kian memanas. Orang-orang menyebutnya sebagai pembawa bencana, sialan, puntung, nahas. Kehadiran si pria yang wajahnya rusak oleh mereka ditengarai sebagai awal dari kemarau yang tak bertepi. Orang-orang mulai haus, menjilati ludah-ludah anjing rabies untuk menahan dahaga, lalu mati tak lama setelahnya.

Sebuah lubang mengangap di tengah jalanan desa. Menampung mayat-mayat yang menggunung kian harinya. Orang-orang semakin murka, mengacungkan telunjuknya, melemparinya dengan batu lagi. Membuat bata-bata dan adonan semen yang telah lama rompoh itu makin terkikis dan berguguran lagi. Nyaris tak menyisakan bata untuk ditambal di wajahnya. Orang-orang begitu pelit untuk berbagi bata dan adonan semen untuk Muka Tembok.

“Kenapa kamu enggak pergi aja! Orang-orang di sini makin habis karena kamu bawa sial. Kalau kamu pergi hujan akan datang, orang-orang enggak mengalami kemalangan ini lagi!”

Bersamaan dengan deklarasi besar-besaran dari orang-orang yang membawa obor dan garpu jerami. Gubuk Muka Tembok habis dilalap api. Tak ada tempat lagi baginya untuk tidur dan menambal wajahnya yang tersisa separuh. Muka Tembok memang tak punya sepasang mata untuk menangis, atau mulut untuk meraung sedih. Tapi setidaknya ia masih punya hati untuk merasa. Dan sepasang telinga untuk mendengar cacian orang-orang.

Siapa yang tak akan bersedih bila mendapat perisakan karena perbedaan fisiknya. Orang-orang tak lagi memberikan pilihan, pergi adalah sebuah jawaban. Muka Tembok berjalan gontai. Ke mana kakinya membawa bisa jadi ke rumah baru atau justru neraka baru.

“Oh, pria ini bermuka tembok, tapi kasihan batasnya sudah mau lepas semua,” ujar suara wanita yang terdengar riang.

“Kalau bermuka tembok, lalu ada apa? Dia cuma akan menyusahkan jalan kita,” balas suara wanita lain, sinis dan ketus.

“Jangan begitu, dong. Kita harus membantunya, kasih mata dan mulut juga. Kasihan kalau dia enggak pernah melihat atau bicara.” Wanita Riang menyusuri wajah berlubang Muka Tembok dengan jemarinya lembut.

“Terserah mau lakukan apa. Jangan libatkan aku!” Wanita Sinis tak lagi terdengar suaranya. Namun Muka Tembok merasakan bagian-bagian yang hilang di wajahnya kembali terisi. Adonan semen, beberapa batu dan kerikil, lalu bata. Sudah lama rasanya ia tak memakai bata baru di wajahnya.

“Aku menemukan sepasang mata dan mulut yang masih bagus di kampung seberang. Orang-orangnya meninggal semua karena wabah rabies. Kamu beruntung masih ada mata dan mulut yang bagus. Aku akan memasangnya di wajahmu,” ujar Wanita Riang.

Dua buah benda lunak ditempel pada wajah baru Muka Tembok. Begitu matanya dapat beradaptasi pertama kali, ia mendapati wajah wanita yang selalu terdengar riang. “Lihat, wajahnya sudah benar lagi. Dia tampan kalau begini,” ujar Wanita Riang yang lantas memiringkan kepalanya. Sebuah wajah menyembul dari kumpulan rambutnya.

“Aku enggak peduli. Aku mau pulang!” Wajah Sinis bicara.

“Jangan begitu. Kita harus berkenalan dengannya.” Wanita Riang mengulurkan tangannya pada Muka Tembok. “Nama kami Muka Dua. Maaf kalau kata-katanya kasar, dia memang begitu.”

“Sudah jangan ajak dia bicara lagi! Nanti kita telat datang di perkumpulan kampung. Bisa gawat kalau Ringan Tangan marah karena kita telat. Bisa dipukul kita!” omel Wanita Sinis dengan bersungut.

“Ah, sudahlah. Emang biasa, namanya aja Ringan Tangan. Lebih baik daripada Hidung Belang, kemarin masa Kepala Udang digoda juga, padahal sama-sama lelaki,” balas Wanita Riang.

“Ah, sudah, ayo berangkat! Kamu juga ikut, nanti kamu bakal ketemu banyak orang di sana. Jangan lupa pakai baju dulu, dasar Muka Tembok!” Wanita Sinis melirik tubuh polos Muka Tembok.

“Bajunya tadi dicuri Panjang Tangan, kita carikan dulu dia baju.”

Muka Tembok bergeming, menyesuaikan pandangannya. Sebuah dunia di mana banyak orang-orang yang besar kepala mengenakan pakaian mewahnya, hidung belang yang di kanan-kirinya diapit wanita bermuka dua, dan ada beberapa orang bermuka tembok berkeliaran tanpa mengenakan busana.

 

Reza Agustin, kunjungi Facebook dengan nama yang sama, Instagram: @Reza_minnie, dan Wattpad: @reza_summ08.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply