Potret Wajah Nagasaki

Potret Wajah Nagasaki

Potret Wajah Nagasaki

Oleh : Lintang Ayu

 

Lama, mata Kimura Jiro terpaku pada reruntuhan bangunan di hadapannya. Bangunan gagah bertingkat dua itu kini telah rata dengan tanah. Dilihatnya orang-orang tertimbun puing-puing bangunan, bahkan banyak yang tergeletak dengan luka bakar hampir di seluruh tubuhnya hingga tidak bisa dikenali lagi. 

Para korban yang selamat membantu para pasukan tentara untuk mencari korban yang tertimbun di antara reruntuhan bangunan. Mereka segera membawa korban yang selamat ke barak darurat untuk segera ditangani. Lalu mengumpulkan korban yang meninggal di satu tempat untuk dibakar. 

Kimura masih berdiri di tempatnya. Terdengar jerit tangis dari tumpukan mayat-mayat itu. Kimura menoleh, mencari sumber suara. Pandangan matanya tertuju pada sosok wanita muda yang memakai yukata warna hijau bergambar bunga matahari tengah memeluk erat bocah kecil dalam pangkuannya. Bocah itu mengalami luka bakar yang cukup serius. Hanya bagian wajah dan tangan kiri yang masih utuh. Sedangkan tangan kanan dan kakinya sudah tidak berbentuk lagi. Suara tangis pilu wanita itu menghantam kesadaran Kimura.

Tiba-tiba Kimura teringat keluarganya di Tokyo. Bagaimana jika keluarganya yang menjadi salah satu korban pengeboman di Nagasaki? Dia tidak bisa membayangkan jika ibu serta kakak perempuannya terkena ledakan bom atom hingga bagian-bagian tubuhnya tercecer seperti yang ia lihat di hadapannya. Kimura Jiro mendesah, membuang gelisah yang mendera. 

Laki-laki berjaket hitam itu mengerjap berkali-kali, menjaga agar jangan sampai air matanya mengalir. Kimura tidak menyangka bahwa kota pelabuhan yang tengah ia injak kini telah luluh lantak. Gedung-gedung telah rata dengan tanah. Nagasaki begitu mencekam. Kepulan asap hitam masih menyelimuti kota Nagasaki, meskipun tidak separah kemarin, tetapi masih membuat pernapasan terganggu dan mata menjadi pedih. Sudah sering laki-laki itu mencari berita di berbagai penjuru di negaranya, melihat korban-korban peperangan, bencana alam, tetapi melihat kondisi di hadapannya membuat ia bergidik. 

Kesedihan Jepang atas ledakan bom atom empat hari lalu belumlah sembuh. Jepang belum kembali menata diri. Akan tetapi, Amerika sepertinya tidak memberi ampun. Kini, Nagasaki juga bernasib sama. Sebuah pesawat telah memuntahkan bom atom tepat pukul 10.58 pada 9 Agustus 1945, kemarin.

Dengan langkah gontai, Kimura melangkah melewati puing-puing. Mengabaikan pemandangan yang memilukan di hadapannya. Entah apa yang sedang ia cari. Laki-laki itu hanya mondar-mandir tidak tentu arah. Seharusnya sekarang Kimura sibuk mengumpulkan bahan berita untuk ia kirim ke kantor berita surat kabar Mainichi Shimbun di Tokyo tempatnya bekerja, sembari membantu mengevakuasi para korban. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Laki-laki itu terlihat bingung. 

Tiba-tiba Kimura terjatuh, hingga perekam suara di sakunya terlempar tidak jauh dari tempatnya. Laki-laki itu bangun, membersihkan debu di jaket yang ia kenakan, lalu mengambil perekam suara yang biasa ia pakai untuk menyimpan percakapan berita. Namun, mata Kimura terbelalak saat melihat tangan kecil bergerak-gerak dari dalam reruntuhan. Terdengar suara rintihan dari dalam puing. Suaranya lirih hampir serupa bisikan, membuat Kimura yakin bahwa sosok di dalam reruntuhan itu benar-benar masih hidup. Dengan sigap, Kimura menaruh kembali perekaman suara itu di saku jaketnya, lalu berlari ke arah bocah itu. 

“Bertahanlah. Saya akan menolongmu.”

Karena alat berat untuk mengangkat bongkahan besar reruntuhan gedung tidak ada, membuat Kimura harus menyingkirkan puing-puing itu dengan tangan kosong. Beberapa menit telah berlalu, tetapi Kimura belum juga bisa mengeluarkan bocah itu. Laki-laki itu akhirnya berteriak meminta pertolongan. Hingga tidak lama kemudian, datang seorang prajurit yang mungkin umurnya sekitar 50 tahunan. Laki-laki yang keadaannya penuh dengan luka di hampir sekujur tubuhnya itu pun segera membantu Kimura. Prajurit itu seakan-akan tidak merasakan sakit. Dengan cekatan laki-laki berseragam cokelat muda itu mengais puing-puing yang menindih tubuh bocah itu, sedangkan Kimura berusaha menarik gadis yang terus merintih kesakitan. Setelah sekitar sepuluh menit berjibaku menyingkirkan bongkahan bangunan yang menimbun bocah itu, akhirnya gadis kecil itu bisa keluar dengan selamat.

Kimura dan prajurit di sebelahnya bernapas lega. Satu lagi korban selamat telah ditemukan. Namun, itu hanya berlangsung sebentar. Kimura kembali dibuat panik setelah mengetahui bahwa kedua kaki gadis itu terluka parah. Tulang di kakinya menembus daging, bahkan darah masih mengucur di kaki sebelah kirinya. 

“Bawa gadis itu ke barak. Biar segera mendapat perawatan,” perintah prajurit.

Kimura mengangguk. Lalu menggendong gadis yang masih merintih kesakitan itu. Ia berlari menuju bekas gedung sekolah yang digunakan untuk mengungsi para korban bom atom. Salah satu gedung yang masih berdiri kokoh meskipun mengalami banyak kerusakan, tetapi masih bisa digunakan untuk mengevakuasi para korban bom. 

“Bertahanlah,” ucap Kimura saat mendapati gadis dalam gendongannya kesulitan bernapas.

Sekitar 200 meter lagi Kimura sampai ke gedung sekolah. Namun, pemandangan di sekitar gedung itu semakin membuat dada Kimura terasa nyeri. Jerit tangis, rintihan kesakitan dari para korban saling bersahutan. Para tenaga medis tampak kewalahan menangani para korban bom atom yang bergelimpangan di dalam maupun di luar gedung.

Kimura semakin mempercepat langkahnya, saat menyadari bocah dalam gendongannya tidak sadarkan diri. Kimura melewati tumpukan korban bom yang sudah tidak bernyawa. Terdapat beberapa tumpukan jasad penduduk Nagasaki yang siap untuk dibakar.

“Dokter, Suster, cepat tolong gadis kecil ini.” 

Kimura berteriak memanggil siapa saja petugas medis yang bisa segera menangani gadis dalam gendongannya. Tidak lama kemudian, seorang perawat wanita datang. 

“Tidurkan di sini,” perintah perawat itu kepada Kimura. 

Setelah laki-laki itu menidurkan gadis kecil itu di lantai. Perawat itu segera mengecek kondisi gadis yang masih tidak sadarkan diri. Hal pertama yang perawat itu lakukan adalah melihat kondisi kaki kiri gadis itu yang terluka cukup parah. Setelah membersihkan luka tersebut, perawat itu memanggil salah satu dokter yang bertugas di sana. Tidak lama kemudian, dokter itu datang.

“Bagaimana kondisi gadis ini, Yoshida-san?” tanya Kichida Hiro. 

“Kaki kirinya terluka cukup parah, Kichida Sensei.”

Dokter Kichida pun melihat kondisi gadis itu. Melihat sang gadis sudah ditangani tim medis, Kimura menjauhi Dokter Kichida yang tengah melakukan tindakan medis terhadap gadis itu. Kimura melangkah menjauh, melewati para korban yang bergeletakan di lantai. Lalu berhenti tepat di sisi bangunan yang dindingnya sudah roboh. 

Pandangan laki-laki itu menyapu setiap sudut ruang. Kimura mencari bolpoin dan kertas, lalu mencatat semua yang ia lihat seharian ini tanpa sedikit pun ia lewati. Setelah selesai mencatat semua berita yang akan ia kirim ke kantornya, Kimura mengeluarkan kamera dari dalam tas ranselnya. Beberapa kali Kimura memotret dokter Kichida dan perawat yang tengah sibuk melakukan tindakan medis kepada gadis kecil yang ia temukan. Tidak lupa ia juga mengambil gambar korban-korban yang tergeletak dengan luka ringan hingga luka bakar yang cukup parah. 

Selesai memotret, Kimura kembali melangkah, melanjutkan perjalanannya mencari berita dan membantu mengevakuasi korban pengeboman, baik korban selamat maupun yang tidak selamat. Setelah ia berjalan cukup jauh dari bekas gedung sekolah itu, langkah laki-laki itu terhenti. Matanya fokus menatap ke arah tumpukan puing tidak jauh dari tempatnya. 

Setelah memastikan bahwa penglihatannya tidak salah, Kimura berlari ke arah seorang wanita seusia ibunya tengah merintih kesakitan akibat sebagian tubuhnya tertimbun reruntuhan bangunan.

“Tolong,” ucap wanita itu saat melihat kedatangan Kimura.

“Tenanglah. Saya akan mengeluarkan Obasan dari sini.”

Wanita itu diam saja. Ia sudah tidak memiliki tenaga sedikitpun, meskipun hanya untuk berbicara. Napas wanita itu tersengal-sengal, membuat Kimura semakin panik. 

“Bertahanlah, saya akan menolongmu.” 

Melihat wanita di hadapannya tengah menangis kesakitan membuat Kimura teringat sosok wanita yang telah melahirkannya. Kimura bertekad, apa pun yang terjadi ia harus bisa menyelamatkan wanita itu. 

Setelah berhasil menyingkirkan bongkahan besar yang menindih kaki wanita itu, akhirnya Kimura bisa mengeluarkan wanita itu. Kimura segera menggendong wanita itu menuju barak darurat. Melihat kondisi wanita dalam gendongannya semakin lemah, Kimura pun mempercepat langkahnya. Namun, karena tidak terlalu memperhatikan jalan, kakinya menginjak paku yang cukup besar.

Darah mengucur dari kaki kirinya. Kimura menghentikan langkah, menurunkan wanita dalam gendongannya, lalu mengeluarkan paku berkarat itu. Ternyata besi itu menancap cukup dalam. Rasa nyeri menyergap, lalu menjalar ke seluruh tubuh. Napas wanita itu tersengal-sengal. Kimura panik. Ia pun segera melepas sepatunya, lalu menekan cukup keras luka tusukannya. Darah semakin deras mengalir. Setelah merasa sudah lebih baik, Kimura menggendong wanita itu, lalu kembali melanjutkan perjalanannya. 

Namun, baru beberapa langkah, rasa nyeri di kaki Kimura semakin terasa. Kakinya bahkan sulit untuk digerakkan. Kimura menghentikan langkah lagi. Ia kembali menekan bekas luka tusukan itu. Darah kembali mengucur. 

“Sa-saya sudah tidak kuat,” ucap wanita itu.

“Bertahanlah, Obasan. Kita hampir sampai.” 

Wanita tua itu menggeleng. Wajahnya pucat.

“Tidak,, Obasan harus bertahan. Saya akan membawa Obasan ke barak.” 

Wanita tua itu tidak menjawab. Tiba-tiba wanita tua itu kesulitan bernapas. Kimura panik. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Akibat rasa sakit di kakinya, ia tidak bisa berjalan dan membawa wanita tua itu ke barak. 

“Obasan, bertahanlah!” 

Namun, sepertinya wanita tua itu tidak mau mendengarkan ucapan Kimura. 

“Obasan, bangunlah!” Teriakan Kimura menggema setelah melihat wanita di pangkuannya sudah tidak bernyawa. 

“Obasan, bangun! Bangun!”

Kimura menangis sembari memeluk wanita itu dengan erat. Sudah berpuluh bahkan ratusan korban mati mengenaskan akibat bom atom Amerika yang ia lihat hari ini. Kini, ia kembali melihat korban meninggal tepat di hadapannya.

Kimura terlihat sangat menyesal karena tidak bisa menolong wanita itu. Seandainya ia bisa lebih berhati-hati, Kimura tidak akan tertusuk paku dan mungkin bisa membawa wanita itu sampai ke barak darurat tepat waktu.

“Obasan, maafkan saya.” (*)

 

Lintang Ayu, penulis buku Anak Jadah yang sangat menyukai fiksimini.

Editor : Devin Elysia Dhywinanda

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply