Oleh: Arya Kusuma Mayangkara
Jeritan Ponirah yang malang kembali terdengar. Entah sudah berapa lama dia dikurung di pondok belakang rumah oleh orang tuanya karena gangguan jiwa. Ponirah sering berteriak-teriak tanpa sebab dan mengamuk jika diganggu oleh anak-anak kecil di sekitar rumahnya.
Semua bermula saat Ponirah menjalin cinta dengan seorang pemuda, Rianto namanya. Ponirah yang lugu jatuh cinta pada Rianto yang pandai merayu. Pengangguran itu sering mampir ke warung milik Bu Siti orang tua Ponirah untuk membeli rokok. Terutama jika Ponirah sedang menjaga warung menggantikan ibunya yang pergi ke pasar.
Sebenarnya hubungan mereka sudah dilarang oleh ayah Ponirah karena nama Rianto sudah terkenal di desa mereka sebagai lelaki yang kurang baik. Akan tetapi Ponirah tidak mau mendengar. Baginya, Rianto lah satu-satunya lelaki yang mau menerima dirinya sebagai perempuan yang cacat kaki. Saat balita Ponirah terkena polio sehingga kakinya tumbuh tidak sempurna. Akibatnya jika berjalan, kaki Ponirah menjadi pincang sebelah. Sebelum berkenalan dengan Rianto, tidak ada satu pun lelaki di desa itu yang sudi meliriknya. Wajah Ponirah yang pas-pasan ditambah kekurangan fisiknya menjadikannya kurang percaya diri untuk bergaul dengan lelaki atau gadis seusianya.
Suatu hari saat orang tua Ponirah tidak ada di rumah, seperti biasa Rianto datang bertamu. Ponirah membiarkannya masuk ke dalam rumah. Melihat suasana yang sepi Rianto gelap mata. Akal busuknya timbul untuk memperdaya Ponirah.
Siang itu, bagaikan mimpi buruk, Rianto menodai Ponirah yang tak berdaya menghadapi keberingasannya. Setelah melakukan perbuatannya Rianto pergi begitu saja meninggalkan Ponirah yang menangis tersedu-sedu karena terpedaya oleh rayuan serigala berbulu domba.
Orang tua Ponirah menemukan anaknya dalam keadaan mengenaskan sepulang dari pasar. Mereka pun tahu siapa yang telah berbuat jahat pada Ponirah. Demi menutupi aib keluarga, orang tua Ponirah berusaha tutup mulut. Tak hendak mencari Rianto yang melarikan diri entah kemana.
Hari demi hari Ponirah sering melamun, kadang menangis, kadang menjerit. Dia terkena depresi berat dan sering demam di malam hari. Petugas puskesmas menyarankan orang tua Ponirah untuk membawanya ke Rumah Sakit Jiwa di luar kota. Akan tetapi orang tua Ponirah malah membawanya berobat ke dukun saja karena tak punya biaya.
Ponirah yang pendiam dan kurang percaya diri, kini berubah menjadi gadis bisu. Mulutnya hanya bersuara jika sedang menangis atau mengamuk. Dia menjalani hari-harinya yang suram dalam gubuk bambu yang pengap tak berjendela. Bau pesing dan busuk dari kotoran manusia menyeruak di sana. Tubuh Ponirah makin kurus dengan rambut panjang yang tergerai tak beraturan. Kakinya pun kini susah berjalan, akibat terlalu lama dipasung.
Mimpi Ponirah untuk dipersunting lelaki yang mau menerima dirinya apa adanya kini musnah sudah. Cinta pertama yang membuatnya hanyut dalam tipu muslihat. Cinta itu juga yang mengakhiri masa depannya yang bermartabat. Menguap bersama sinar di wajahnya yang semakin meredup. Ponirah yang malang sudah tersesat jauh, hidup dalam dimensi lain di mana tak seorang pun dapat menyakiti hatinya lagi.
Surabaya, 15/01/22
Bionarasi:
Arya Kusuma Mayangkara adalah nama pena seorang nakes yang sedang menyamar menjadi penulis. Dia lahir dan dibesarkan di kota Surabaya hampir setengah abad yang lalu.
Kegemarannya membaca buku membuat bapak dua anak ini tertarik untuk menulis naskah dalam bentuk cerita pendek di sela-sela kesibukan profesinya sebagai nakes. Dia menjadikan aktivitas menulis untuk menjaga kewarasan dan mencegah kepikunan.
Editor: Nuke Soeprijono