Pita Merah Muda
Oleh: Evamuzy
Setiap jam enam kurang sepuluh menit di pagi hari, kami—aku dan putri kecilku—mengunci pintu rumah sederhana bercat biru muda. Menuju motor dua tak yang kuparkirkan di halaman rumah. Mesin roda dua berwarna merah itu telah kupanaskan sebelumnya.
Sementara itu, putri kecilku yang cantik telah siap berseragam merah putih dan sepatu, lengkap dengan kaus kaki berenda sepanjang atas mata kaki. Rambut lurus panjangnya dikuncir dua. Kuselipkan pita cantik warna merah muda di tiap sisinya. Iya benar, akulah yang memasangkan. Sebab, sejak wanita ayu yang melahirkannya meninggal dunia empat tahun lalu, akulah ayah juga ibu baginya.
Nasi goreng dengan bumbu garam dan bawang merah ditambah sedikit penyedap rasa, telah mengisi perut kecil itu pagi ini. Segelas susu rasa madu pun telah habis diminumnya. Tak lupa dua potong roti tawar dengan selai stroberi di dalam kotak makan, tersimpan dalam tas sebagai bekal favorit gadis kecil berusia delapan tahun yang pandai menciptakan senyum di wajah sang Ayah.
“Anak Ayah, siap?” Kuacungkan ibu jari sebagai semangat mengawali hari kami. Tas selempang besar berwarna hitam untukku, sementara ransel kecil warna ungu muda bergambar tokoh kartun favorit bertengger di punggung mungilnya.
“Oke, aku siap, Ayah.” Kami melaju di jalanan dengan udara yang masih segar dan sepi.
Pekerjaan sebagai penjaga di sekolahnya mengharuskanku berangkat pagi untuk membukakan pintu gerbang tempat para siswa-siswi menuntut ilmu. Membuatnya selalu datang lebih awal dari teman-teman.
Sambil menunggu mereka datang, biasanya gadis kecil yang hobi membaca buku itu akan mencari kesibukan di atas kursi kerjaku. Sebuah kursi kayu lapuk dengan paku di sana-sini sebagai tanda sudah berapa kali tempat duduk itu didaur ulang agar bisa kembali digunakan.
Dia duduk mengayun-ayunkan kaki, sambil bernyanyi-nyanyi kecil dengan suara khas bocah, lucu. Atau sering pula mengulang pelajaran yang diberikan oleh ibu guru. “Satu hari 24 jam, satu jam 60 menit, satu menit ….” Wajahnya sedikit terangkat dengan ekspresi berpikir.
“60 detik, Nak,” aku coba membantu. Dia melempar senyum manis ke arahku yang sedang membersihkan halaman dari daun-daun kering yang berserakan.
Tak terasa, hitungan detik, menit, jam dan hari yang dia hafalkan bergulir begitu cepat. Bagai benda bundar yang biasa ditendang oleh ujung kaki, menggelinding di jalanan menurun. Tak dapat dihentikan laju berlalunya. Dia tumbuh dewasa. Menjadi gadis secantik sang Ibu. Juga dengan kelembutan dan kepiawaian mengurus rumah yang diwariskan oleh wanita ayu itu.
Dulu, aku yang menyiapkan sarapannya. Namun, sekarang, secangkir kopi hitam dengan aroma khasnya selalu tercium sebelum aku bangun di waktu Subuh. Tak ketinggalan nasi hangat, tempe mendoan dan sup sederhana tersaji di meja makan.
Gadis kecilku juga telah menyimpan ransel kecil warna ungu muda, kaus kaki berenda dan semua benda masa kecil di gudang penyimpanan belakang. Meskipun kulihat, dia masih sesekali menengoknya, membersihkan debu yang menempel pada benda-benda kesayangan di masa lalu. Kemudian saat tubuh renta ini mendekatinya, dia berkata, “Terima kasih, Ayah. Kau sudah merawatku dengan sangat baik.”
Kubalas dengan anggukan dan tepukan lembut pada bahunya.
***
Hari ini kadar binar di matanya bertambah, ceria gadis kecilku lebih kentara dan senyumnya lebih manis dari biasanya. Menghabiskan sarapan dengan lebih semangat, lalu mengambil tas selempang dan tumpukkan berkas tugas kantor tempatnya bekerja. Meminta tangan kananku kemudian dicium punggung tangan keriput ini dengan teramat takzim. Mencium pipi lalu mengucap kalimat yang menyadarkan lamunanku akan masa kecilnya. “Dia akan datang ke rumah untuk bertemu Ayah sore ini. Ayah bisa pulang cepat dari sekolah, kan?”
Iya. Mungkin sudah tiba waktunya, putri kecilku akan menjadi milik orang lain yang juga mencintainya. Semoga cinta pria muda itu sebesar yang aku punya. (*)
Evamuzy, gadis kelahiran kota Brebes. Senang bercerita dengan anak-anak.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata