Pintu Langit
Oleh : Vianda Alshafaq
“Aku sudah bosan hidup di dunia.”
“Maksudmu?” tanyamu dengan kening berkerut.
“Ya, kau lihat saja. Dunia semakin menggila. Tidak cuma dunia, manusia juga semakin gila.”
“Lalu kau mau tinggal di mana?” Kau mengenakan jaket hitam yang tadi kau jinjing di tangan kiri. Ah, mungkin kau mulai merasa kedinginan sebab angin laut mulai berembus lebih kencang.
“Aku ingin tinggal di langit.” Aku menatap wajahmu yang fokus pada langit yang mulai memerah. Ah, mentari akan segera mengubur dirinya sendiri ke dalam garis lurus di seberang itu.
“Kurasa bukan dunia yang gila. Tapi kau yang gila, Sania.”
***
Seperti biasa, hari ini aku mengajakmu mengelilingi Pasar Kaling. Yah, kita memang tidak punya pekerjaan. Kita pengangguran. Pengangguran yang menghabiskan uang tanpa tahu bagaimana mendapatkannya kembali. Dan, kita adalah pengangguran yang mengelilingi Pasar Kaling setiap petang menjelang.
Kau ingat waktu pertama kali kita ke pasar ini? Hari itu kau dan aku mengelilingi Pasar Kaling yang baru saja dibuka, untuk pertama kalinya. Pasar Kaling, tempat menjual barang-barang asing.
Kita berjalan ke mana saja, tanpa tujuan. Yang jelas, kita menikmati setiap hal-hal baru yang mereka tawarkan. Meski pada akhirnya kita tidak membeli barang-barang itu. Barang-barang itu tidak ada gunanya. Cuma menghabiskan uang saja. Mending dibelikan roti yang dapat mengenyangkan perut dan membuat kita bertahan hidup. Begitu katamu.
Masih di hari yang sama, kita pergi ke daerah selatan pasar. Di sana seorang laki-laki paruh baya yang kutaksir umurnya sekitar lima puluh tahun menjual topi hitam yang ia tumpuk sembarangan. Ia bilang, topi itu bisa membuatmu pergi ke tempat lain dan mengabulkan semua yang kau ucapkan. Kau dan aku sama saja, sama-sama tidak percaya. Yah, bagaimana mungkin sebuah topi hitam mampu membuat semua keinginan terkabul?
“Kemarilah, topi ini dijual murah. Hanya 10 ribu rupiah. Topi ini akan membuat semua keinginan kalian terkabul. Semuanya. Benar-benar semuanya.”
Laki-laki itu meneriakkan kalimat tersebut berkali-kali. Dan, tak bisa dimungkiri, banyak yang menghampiri lapaknya. Lapak itu akan membawamu pada kebahagiaan dan kejayaan. Begitu kata mereka yang melewati kita untuk pergi ke lapak lelaki paruh baya itu.
“Kau ingin ke sana?” tanyaku, sementara kau hanya mengangkat bahu, tidak peduli.
Sejujurnya aku sedikit kesal waktu itu ketika kau hanya menanggapiku dengan bahumu. Bagaimanapun, aku lebih suka mendengar suaramu. Kau seharusnya sudah tahu ini, tapi sepertinya tidak. Biar aku beritahu saja, seorang perempuan lebih suka jawaban jelas dengan suara dibanding dengan bahasa tubuh.
Tiba-tiba seorang nenek tua yang usianya kutaksir tujuh puluh tahun menghampiri kita. Dia menawarkan sebuah benda yang dilabeli sama seperti benda lainnya yang dijual di pasar ini, benda ajaib. Dia menawarkan sepasang gelang yang terbuat dari tali sepatu. Kau ingat apa yang kau katakan pada nenek itu? Aku tidak suka barang yang tidak cantik. Aku tidak suka gelang itu. Tidak ada istimewanya sama sekali. Hanya sepasang gelang yang terbuat dari tali sepatu. Apa gunanya membeli barang seperti itu. Begitu katamu pada nenek tua yang rigkih itu. Rasanya aku ingin menjitak kepalamu saat itu juga. Kau benar-benar tidak sopan, Lang.
Gelang itu berwarna biru muda dengan bitik-bintik putih di beberapa bagiannya. Di kedua ujungnya terdapat sebuah manik-manik putih, seperti mutiara. Tapi yang pasti itu bukan mutiara sungguhan. Hanya mutiara imitasi, sebagai aksesoris untuk mempercantik gelang itu, barangkali. Meskipun begitu, gelang itu benar-benar cantik–gelang paling cantik yang pernah kulihat. Karena itu, sepertinya kau benar-benar tidak mengerti nilai estetika sebuah karya seni sehingga kau mengatakan bahwa gelang itu tidak cantik.
“Nenek tidak menjual barang lain selain sepasang gelang biru ini?” tanyaku sembari meraba gelang itu.
“Aku hanya menjual sepasang gelang ini. Kalau kau mau, belilah seharga lima ribu.”
Aku langsung merogoh saku. Uang sepuluh ribu aku serahkan pada nenek itu sebagai bayaran untuk gelangnya yang kubeli. Nenek itu sempat mengulurkan uang lima ribu sebagai kembalian, tapi bukankah lima ribu itu terlalu murah untuk sepasang gelang yang indah ini?
“Gelang itu bisa membawa kalian ke langit,” ucap nenek itu ketika aku memasangkan salah satu gelang itu ke pergelangan tangan kirimu.
“Ah, benarkah? Bagaimana caranya, Nek?” tanyaku penasaran, seraya memasang gelangku sendiri. Kau masih sama seperti sebelumnya. Hanya diam dan menjadi penonton dan pendengar yang baik.
“Ucapkanlah keinginan itu dalam hatimu dengan tulus. Dan, keinginanmu akan terkabul jika kau benar-benar tulus mengucapkannya.”
“Aku tidak percaya,” ucapmu datar. Ah, dasar laki-laki dingin. Sepertinya kau perlu api agar nada suaramu itu terdengar sedikit lebih hangat.
Aku mencubit pinggangmu. Tidak sopan sekali. Apa salahnya kau hanya mendengarnya dengan baik seperti sebelumnya meskipun kau tidak setuju? Ah, kau memang benar-benar keterlaluan, kadang-kadang.
“Apa kalian sepasang kekasih?” Nenek itu bertanya dengan mata yang menatap lurus kepadaku.
Aku menatapmu. Tapi kau masih sama. Wajahmu datar. Tanpa ekspresi. Sepertinya kau benar-benar tidak berniat untuk ikut dalam pembicaraan ini.
“Tidak, Nek. Dia bukan kekasihku, dan, aku juga bukan kekasihnya.”
“Sungguh? Tapi kalian terlihat sangat serasi.”
“Kami hanya bersahabat, Nek.”
“Baiklah. Semoga kalian bahagia. Aku pergi dulu.”
Nenek itu melenggang, pergi. Langkahnya lamban. Ya, wajar saja karena dia sudah tua. Tanpa memedulikan nenek itu yang sudah mulai menjauh, aku menarik tanganmu untuk mengunjungi bagian lain pasar. Aku ingin ke bagian barat. Mungkin kita bisa menemukan sesuatu yang kau suka di sana.
***
Sudah sepekan berlalu, dan kita masih melakukan ritual itu–mengelilingi Pasar Kaling saat petang menjelang. Hari ini, kau menggunakan celana jins dan baju kemeja biru. Tidak seperti biasanya. Biasanya kau hanya akan menggunakan kaus oblong yang dilapisi dengan jaket kulit warna hitam. Dan sejujurnya, aku lebih suka melihatmu memakai kemeja seperti ini dibanding kaus yang kau lapisi dengan jaket kulitmu. Kau … terlihat lebih tampan.
“San, tunggu.”
Aku menoleh ke belakang, sementara kau tetap berjalan mendekatiku.
“Bagaimana jika hari ini kita tidak ke Pasar Kaling?”
“Lalu, kita mau ke mana?” Dahiku berkerut. Ya … apalagi yang bisa kita kunjungi selain Pasar Kaling. Restoran? Tidak mungkin. Kita ini pengangguran, jadi tidak punya banyak uang untuk dihambur-hamburkan di tempat seperti itu.
“Aku ingin mengajakmu ke pantai,” jawabmu sekenanya.
“Ya sudah kalau begitu. Ayo, ke pantai saja.”
Seperti katamu, kita pergi ke Pantai Kaling. Satu-satunya pantai yang pernah kukunjungi selama hidupku. Seperti biasa, aku berjalan dengan menggandeng tanganmu. Sebenarnya, wajar saja jika orang lain menganggap kita ini sepasang kekasih. Kita terlalu dekat, untuk dikatakan hanya sebatas sahabat.
“Kau benar-benar ingin tinggal di langit?” tanyamu saat kita masih di perjalanan menuju Pantai Kaling.
“Ya, bersamamu.”
Tiba-tiba kau berhenti. Melihatku dengan tatapan tajam yang menghunjam sampai ke ulu hati. Apa kau marah karena jawabanku? Tapi, jika benar, apa yang salah dari jawaban itu?
Kulihat kau memejamkan mata. Menarik napas dalam-dalam dan mengeratkan genggaman tangan kita. Aku tidak tahu apa yang sedang kau lakukan. Aku bingung. Apa kau tertidur? Tapi, kau tidak bisa tertidur dengan posisi berdiri seperti itu.
Karena sudah tidak tahan meihatmu seperti itu, aku melepaskan genggaman kita agar kau membuka mata. Dan, benar. Kau membuka matamu.
“Apa yang sedang kau lakukan?”
“Mengirimmu untuk tinggal di langit.”
Aku terkejut. Tidak pernah sekali pun terbayangkan olehku kau akan melakukan semua itu. Maksudku, kau tidak percaya pada gelang itu. Bagaimana mungkin saat ini kau tiba-tiba memercayainya?
Tiba-tiba, aku merasa tubuhku terangkat. Seperti mengawang ke udara. Aku melihat kau tertinggal di bawah, kakimu masih menapak di atas tanah. Sementara itu, aku terbang semakin tinggi. Seperti ada yang membawaku terbang. Tapi, entah apa.
***
Lang, apa kau baik-baik saja di bumi? Apa kau masih hidup? Aku … merindukanmu. Seharusnya aku juga melakukan apa yang kau lakukan. Seharusnya, aku juga mengirimmu ke langit. Jika aku melakukannya, aku pasti tidak akan kesepian dan ditelan rindu. Dan, aku tidak akan sendirian di sini, di langit biru dengan awan-awan putih yang menggumpal di beberapa sisi. Salah satunya yang kududuki saat ini. [*]
Vianda Alshafaq, seorang yang bukan siapa-siapa.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata