PINTAR VS BEJO
Oleh: Arnosa
Ini cerita pengalaman pribadi waktu masih unyu-unyu. Masih berseragam merah-putih, putih-biru, dan putih abu-abu. Waktu masih duduk di bangku SD tidak mempunyai prestasi sama sekali. Motivasi belajar tidak ada. Setiap hari, hanya bermain dan bermain. Mendapat nilai nol sudah menjadi makanan sehari-hari. Tidak ada rasa malu. Wajah sudah tebal dengan ejekan teman. Hidup serumah dengan Nenek dan Kakek membuat diriku menjadi manja.
Selepas lulus dari SD, Bapak dan Ibu memintaku pulang. Dari situlah awal mula motivasi belajarku muncul. Orang tua setiap hari mengingatkan untuk belajar. Kelas satu sampai tiga SMP, aku selalu mendapat peringkat tiga besar. Bahkan, waktu kelas dua aku masuk kelas unggulan. Namun, waktu ujian kelulusan nilaiku yang bagus entah raib ke mana. Aku selalu belajar sampai larut malam. Pagi pun aku lanjut dengan belajar. Tapi apalah daya, nasib berkata lain. Mungkin benar kata pepatah jawa, “Wong pinter kalah karo wong bejo.”
Kalimat itu selalu aku ingat sampai sekarang. Bukti nyata sudah terlihat di depan mata. Sarjana cumlaude banyak yang menganggur. Mereka mencoba keberuntungan mendaftar tes CPNS. Namun, banyak yang gagal. Sebaliknya, mereka yang IPK pas-pasan waktu pengumuman tes CPNS menduduki nomor urut teratas.
Menyalahkan keadaan sudah pasti. Mengapa takdir selalu tidak berpihak kepadaku. Apa yang guru agama sampaikan sudah dilakukan. Tawakal dan ikhtiar. Berusaha dan berdoa. Namun, semakin bertambah usia, apa yang aku sesalkan salah besar.
Semakin bertambah usia, kedewasaan seseorang semakin matang. Pintar memang perlu. Kepintaran untuk mengukur ranah kognitif seseorang. Pengetahuan sangat diperlukan di era sekarang ini. Akan tetapi, jangan sampai kepintaran kita ditunggangi dengan rasa sombong dan ingin dianggap orang lain. Dan, memang itu yang aku rasakan kala itu. Dengan percaya diri yang lebih, yakin mendapat nilai yang bagus. Secara, selama seminggu mulut tidak berhenti menghafal materi ujian. Karena ada rasa ingin di-wah orang, rasa percaya diri yang berlebihan, ‘Mbah Bejo’ tidak mau bersahabat. Waktu itu, menurutku pertanyaan dalam soal mudah sekali dan semua bisa aku kerjakan dengan baik. Saat pengumuman, masuk sepuluh besar saja tidak.
Begitu pun saat ikut tes CPNS. Empat kali ikut, tanpa hasil. Akhirnya, aku dihinggapi rasa malas untuk ikut tes lagi. Kuliah di jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Itu pun dipaksa oleh orang tua. Pekerjaan menjadi guru bukan cita-cita utamaku. Kala itu, aku menjadi guru honorer tahun dua ribu enam—bukan guru kelas—tapi guru pengganti.
Pengalaman demi pengalaman mengantarkanku mengikuti tes CPNS lagi. Tahun dua ribu sepuluh menjadi tahun penentuan. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Pengalaman membuat hati lebih bisa tertata. Yakin bisa mengerjakan pasti, tetapi rasa ingin di-wah sudah sirna. Tahun itu lebih mengikuti alur kehidupan yang digariskan Sang Illahi Robbi. Apa pun hasilnya, aku sudah pasrah. Ikhtiar yang dilakukan tidak pernah mengkhianati hasil. Apa yang sudah aku usahakan berbuah manis: aku lolos tes CPNS dan diangkat menjadi guru SD. Jarak sekolah dengan rumah tidak terlalu jauh. Ikhitar, doa, dan Mbah Bejo sangat berperan dalam kehidupan kita. Bersikaplah sewajarnya. Jangan berlebihan.
Arnosa. Emak-emak yang mencoba menjadi penulis. Masih mencari genre yang pas untuk dirinya. Mencoba menulis keluar dari zona aman. Surealis.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata