Pincang
Oleh: Inu Yana
Terbaik Ke-6 TL-19
Banyumas, 1987.
Dada Suraji selalu saja terasa perih setiap kali terkenang peristiwa itu. Sayup suara tembakan yang terdengar susul-menyusul dari arah hutan di sebelah timur masih menusuk gendang telinganya. Pandangannya kosong, teringat pada asap hitam yang membumbung ke angkasa membawa aroma kematian dan anyir darah.
Ia kerap kali menghibur diri. Ia tak ada sangkut pautnya sama sekali dengan peristiwa nahas itu. Ia tak bersalah, karena justru sebenarnya—meski tak seberapa—ia termasuk punya andil dalam perjuangan mereka. Lagi-lagi, ia mencoba untuk tenang, meski gemuruh di dadanya tak pernah bisa berbohong.
Ia masih bisa mencium wangi singkong rebus yang menguar pada saat ia membuka tutup kukusan bambu di atas dandang tembaga. Hangatnya asap menerpa wajahnya yang legam, lalu mengembun mencipta kilap di sana. Tangannya begitu semangat mengeluarkan kukusan kemudian menumpahkan isinya pada tampah yang sudah ia siapkan di sebuah lincak tak jauh dari tungku perapian. Setelah itu, dengan tangan kosong ia akan memindahkan satu demi satu umbi kayu tersebut ke dalam sebuah baskom seng motif blirik. Sesekali ia meniup, mengibaskan jari-jarinya yang kepanasan.
“Sisakan buat kami,” Runtah, istrinya, datang dari arah kamar seraya menggelung rambutnya yang tipis. “Kemarin kamu menyisakan kami hanya beberapa potong. Mana cukup untuk seharian,” lanjut perempuan yang wajahnya tetap terlihat garang meski masih mengantuk itu. Ia kemudian duduk di lincak pada sisi kanan tampah, mengawasi pekerjaan Suraji.
Suraji menarik napas, sejenak menoleh pada perempuan yang sudah memberinya tiga anak tersebut. Sudah beberapa bulan ini Suraji melakukannya, kenapa perempuan itu tak kunjung bisa mengerti.
“Kamu tahu sendiri, situasi sedang genting … penjajah sudah masuk ke kampung sebelah. Semakin susah bergerak. Tak ada yang bisa diharapkan untuk mengganjal perut selain singkong-singkong itu.”
“Aku tahu,” jawab Suraji dengan suara nyaris tak terdengar. Ia tahu, semenjak penjajah mulai masuk ke wilayahnya, Runtah tak lagi bisa berjualan tapai seperti biasanya. Kondisi keamanan sangat tidak memungkinkan, ditambah tengah hamil pula. Menoleh sebentar, Suraji kembali meneruskan pekerjaannya. Tak lupa ia menyisihkan beberapa potong singkong rebus itu pada sebuah piring seng. Itu jatah Runtah dan anak-anaknya.
“Hanya segitu?” tanya Runtah dengan nada tak terima. Bola matanya mengikut ke mana gerak tubuh suaminya membawa piring dan baskom seng tersebut.
“Mereka lebih butuh banyak tenaga,” timpal Suraji. “Lagi pula tidak setiap hari, kan? Pas kita sedang ada saja.”
“Tapi aku juga lagi ngidam, Kang.”
Suraji menoleh pada perut istrinya yang terlihat mulai membuncit. Ia tahu maksud istrinya, ia butuh lebih banyak makan sekarang, ada jabang bayi di dalam sana.
Perempuan itu terlihat menyedihkan memang. Kain jarik yang dipakainya lusuh dan kumal. Ia tak memakai baju. Tetek yang tak seberapa besar ukurannya itu hanya ia tutupi dengan kutang yang terlihat begitu longgar di dadanya. Tubuhnya yang kurus kering lebih membuatnya tampak seperti bocah cacingan ketimbang perempuan bunting. Memang, umur Runtah juga baru delapan belas saat itu. Mungkin masih bisa kalau disebut anak-anak meski dia sebentar lagi beranak empat. Laki-laki itu menghela napas, kemudian mengisi kembali piring seng tersebut dengan dua potong singkong yang ia ambil dari baskom. Sengaja dia memilih yang berukuran besar.
“Sebentar lagi singkong kita habis.”
“Kita akan merdeka sebelum kebun singkong kita habis.”
“Omonganmu itu seolah-olah kita punya hektaran kebun singkong.”
Suraji kembali menghela napas. “Makanya kita bantu pejuang-pejuang itu,” jawabnya, menggantung.
“Kamu mikirin hidup orang, kita makan saja susah,” ketus Runtah, “bisa-bisa kita mati sia-sia kebanyakan makan angan-angan.”
Suraji terdiam.
“Merdeka, merdeka, silit pitik!” umpat Runtah, melirik suaminya, “Kamu dapat apa kalau kita benar-benar merdeka?”
Runtah lagi-lagi membuat suaminya menarik napas dalam-dalam.
“Mungkin tidak ada,” jawab laki-laki itu. Ia mengambil daun pisang di sudut dapur untuk menutup singkong rebusnya. “Tapi aku tidak sedang memikirkan apa yang akan aku dapat. Aku hanya sedang memberikan apa yang aku bisa,” lanjutnya seraya memanggul baskom seng itu di kepala setelah sebelumnya ia bungkus dengan taplak meja. Ia harus segera berangkat. Satu jam lagi, azan Subuh terdengar dari langgar di ujung desa, ia tak mau keduluan.
Ia ingin berpamitan kepada istrinya, tetapi wajah masam perempuan itu membuatnya urung. Ia hanya menengok sekilas kemudian cepat-cepat meninggalkan rumah. Kakinya yang panjang sebelah membuat gerakan pundaknya bergelombang seperti sebilah kayu terayun ombak. Ia seperti hendak terjatuh, tetapi tidak. Ia sudah terbiasa dengan ketidaksempurnaannya. Ia semakin bergegas, tak ingin Sapon dan teman-temannya mendahuluinya.
Suraji terus berjalan ke arah timur, melewati ladang-ladang penduduk, menerobos semak dan belukar. Setelah sampai di mulut hutan, ia berhenti. Ia menurunkan baskom di kepalanya dan meletakkannya di bawah sebuah pohon angsana seperti biasa. Hari masih gelap, tetapi badan Suraji sudah basah oleh keringat. Setelah yakin singkongnya aman dari semut dan serangga lain, ia beringsut menjauh. Bukan tak ingin bertemu dengan Sapon, melainkan ia merasa lebih aman bila orang lain tak mengetahui apa yang dilakukannya. Dalam situasi seperti itu, kita tak pernah tahu siapa teman siapa lawan, tak ada yang bisa dipercaya, begitu pikirnya.
Suraji duduk menyembunyikan diri di antar semak belukar, sebentar lagi Sapon dan teman-temannya akan tiba.
Perkiraannya tak pernah meleset, berbarengan dengan kokok ayam jago yang bersahutan dari arah kampung, pemuda berbadan tinggi besar itu datang bersama rombongannya. Sapon yang sudah paham kebiasaan Suraji akan langsung mendekat ke arah pohon angsana, membagikan singkong rebus itu pada teman-temannya kemudian segera bergegas masuk ke dalam hutan. Suraji melihat kawanan orang itu dengan wajah bangga. Ia memang tidak bisa ikut ke medan pertempuran bersama orang-orang itu seperti mendiang ayahnya, tetapi paling tidak ia sudah memberi mereka sedikit tenaga untuk meneruskan perjuangan.
***
“Setelah singkong kita ludes, kamu mau mengorbankan pisang kita juga?” tanya Runtah ketika melihat suaminya hendak mengukus pisang yang baru selesai ia peram kemarin sore. Pisang itu memang belum begitu matang, karena itu Suraji memilih untuk mengukusnya.
“Aku hanya mengambil sebagian,” kilahnya sambil mendorong kayu bakar lebih dalam lagi ke dalam tungku perapian. Api semakin membesar, menjilat-jilat pantat dandang.
Runtah memperhatikan punggung suaminya yang membungkuk di depan perapian. Ia tahu suaminya ingin sekali ikut terjun bersama Sapon dan kawan-kawannya, tetapi tak bisa. Kakinya yang membuatnya tetap di sisinya hingga sekarang. Terkadang, perempuan itu merasa beruntung punya suami cacat. Runtah senang suaminya tak perlu turun ke medan laga. Meski pada kenyataannya perbuatan Suraji kerap membuatnya kesal.
“Merdeka itu cuma angan-angan,” cetus Runtah seraya bangkit, kembali ke kamarnya diikuti tatapan tidak suka dari suaminya.
Setelah pagi itu, bahkan hingga hari-hari berikutnya sampai hasil kebun Suraji habis, mereka saling bungkam. Suraji tetap melakukan kebiasaannya, tak peduli pada wajah Runtah yang semakin hari semakin ditekuk.
Semula Suraji menyangka, saat ia mengakhiri kebiasaannya, itu artinya negara sudah merdeka. Penjajah berkulit putih itu sudah hengkang dari negerinya. Tetapi kenyataannya tidak. Ia menghentikan apa yang dilakukannya jauh sebelum pidato kemerdekaan menggema di radio-radio.
Pada suatu siang yang terik, saat ia tengah mencari ganyong di ladang—masih untuk Sapon dan teman-temannya—ia tak sengaja melihat istrinya berjalan tergopoh-gopoh dari arah utara. Perempuan itu menggunakan kebaya hijau satu-satunya yang dimilikinya, yang dipakai asal karena tak bisa dikancingkan, terhalang oleh perut dan dadanya yang mulai membesar. Wajahnya nampak semringah. Kapur sirih yang dikunyahnya membuat bibirnya terlihat memerah.
“Dari mana?” cegat Suraji.
Perempuan itu tampak terkejut mendapati suaminya tiba-tiba ada di hadapannya. “Dari tempat Yu Par,” jawabnya ketus, berjalan cepat meninggalkan Suraji. Perut buncit dan rinjing di punggungnya seakan tak mengurangi kelincahannya.
“Situasi lagi begini untuk apa ke sana-sana?” gumam Suraji. Ia merasa ada yang aneh dengan gelagat istrinya, tetapi ia tak mau berprasangka buruk. Perempuan itu dari tempat kakaknya di kampung sebelah, bisa pulang dengan selamat saja ia sudah sangat bersyukur. Tak jarang ia mendengar perempuan-perempuan yang menjadi korban kebiadaban penjajah, dari diperkosa sampai dibunuh, juga tentang mayat-mayat yang dilemparkan ke kali. Saat hal itu terjadi, orang-orang di hulu akan mendapati air tempatnya mencuci berwarna kemerahan dan berbau anyir. Mereka akan naik ke daratan dengan tubuh bergidik dan tak akan turun ke kali untuk beberapa hari atau mungkin tak akan ke sana lagi sama sekali.
Pada malam harinya Suraji berusaha berbaik-baik kepada istrinya. Ia menanyakan alasan perempuannya ke tempat Yu Par. Runtah mengaku kalau ia ke sana untuk meminta gaplek. Suraji percaya, karena malam itu memang mereka makan dengan nasi gaplek. Pemberian Yu Par, berarti, pikirnya.
“Lain kali, kalau mau berhutang bilang dulu,” kata Suraji, teringat pada lima keping benggol yang tadi tak sengaja terjatuh saat ia menarik kain sarungnya dari lemari. Runtah mengangguk, lalu tersenyum.
Setelah menikmati makan malam dan anak-anaknya pergi tidur, Suraji naik ke dipannya. Sudah lama ia tak mencicipi nikmatnya aroma surga bersama istrinya. Malam itu, Runtah melayaninya dengan sangat baik hingga Suraji merasa teramat bahagia. Saat ia tengah lemas kehabisan tenaga oleh pertempurannya sendiri, suara letup tembakan terdengar dari arah timur. Beruntun, meledak-ledak. Suraji buru-buru mengenakan sarungnya, berlari ke luar. Dari arah hutan, nampak asap membubung tinggi ke udara, kebakaran. Perasaan Suraji mendadak tak karuan. Batinnya bertanya-tanya, apa yang terjadi. Pagi harinya, ia mendengar kabar bahwa markas persembunyian Sapon dan teman-temannya diketahui pihak lawan. Seseorang telah membocorkannya.
Suraji lemas, Sapon dan tiga puluh tujuh rekannya meregang nyawa di ujung popor senjata musuh. Sebagian dari mereka dipanggang hidup-hidup dalam kobaran api yang meluluhlantakkan hutan dan seisinya.
Suraji memejamkan mata. Penyesalan kembali menyusup ke dada tuanya saat ia mengenang apa yang terjadi selanjutnya setelah peristiwa tersebut. Itu lebih menyakitkan lagi untuknya.
Setelah markas itu terbakar, Suraji tak lagi mencari umbi dan lain-lainnya, tetapi ia tak bahagia. Ia ingin marah, siapa yang sudah tega membunuh saudara sebangsanya sendiri. Ia benci orang-orang yang seperti itu: pribumi yang silau pada tawaran yang datang dari pihak musuh, apalagi hanya untuk alasan perut.
Pada hari ketiga setelah markas terbakar, rombongan kulit putih menggebrak pintu rumah Suraji, meminta laki-laki itu keluar. Dengan tubuh gemetar Suraji terseok-seok keluar diikuti oleh Runtah dan tiga anaknya.
“Ternyata orang ini suami kamu?” tanya salah satu pribumi yang datang bersama rombongan kulit putih itu ketika melihat Runtah.
“Iya, kita sudah sepakat, bukan?” jawab Runtah tanpa gentar, membuat suaminya ternganga.
“Kamu orang pikir kami peduli!” gertak salah seorang kulit putih dengan aksen yang tak begitu jelas. Lalu setelah itu, dorr! Sebuah tembakan mengarah ke dada Suraji. Namun, laki-laki itu gesit berguling menghindar. Hingga tanpa ia sadari peluru yang ditujukan kepadanya justru menembus perut Runtah yang berdiri tak jauh di belakangnya. Runtah terenyak sesaat sebelum tubuhnya tumbang ke belakang diikuti jerit tangis tiga anaknya.
Lelaki tua itu menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya perlahan. Ia mulai mencabuti satu per satu rumput liar di atas pusara istrinya. Berpuluh-puluh tahun berlalu, tetapi rasa kecewanya masih tetap sama.(*)
Cikarang, 18 Maret 2022
Inu Yana, perempuan kelahiran Banyumas yang menjadikan menulis sebagai dunia keduanya.
Komentar juri, Berry Budiman:
Jalinan cerita maju-mundurnya tidak disampaikan dengan gamblang, menyelip di antara adegan demi adegan dan membuat efek “kenangan”-nya terasa lebih kuat. Seolah kita sedang melihat isi kepala tokoh utama dan masa lalunya yang tragis. Si “Pincang” yang patriotik ini harus bertarung dengan takdir dan desakan keluarga—terutama istri—yang menginginkan supaya ia tidak usah ikut-ikutan berjuang merebut kemerdekaan. Setiap keputusan pasti empunyai konsekuensi, dan si “Pincang” pasti sudah belajar banyak tentang hal itu setelah berpuluh tahun kemudian.
Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup FB Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata