Pilihan Wina

Pilihan Wina

Pilihan Wina
Oleh: Eda Erfauzan

Wina termangu menatap laut yang semakin kelabu. Hujan mulai menderas dan air mata  kembali luruh, mengaburkan pandang pada luasnya samudera. Laut selalu memanggilnya saat ia merasa remuk redam karena luka dan terjatuh dalam kehidupan. Pada tepinya Wina belajar tentang penerimaan setiap kali ombak menerjang atau sekadar arus lembut yang menyentuh pantai. Ombak dan pantai adalah guru tentang ketabahan dan kesabaran serta cara  membangun kekuatan. Melangkah ke depan meski gelombang terus menghantam.

Ah, air mata belum mau kering jua. Merembes bersama tarikan napas yang terasa menyakitkan. Wina sadar ia luka teramat dalam tetapi ia juga tak bisa menghapus rasa yang telah terpateri ribuan hari.

Masih jelas semua dalam ingatan Wina pada hari yang  seharusnya cerah karena hujan tak lagi turun. Dia melihat Tara di sebuah mal, berdiri tak jauh dari pintu kaca sebuah toko buku. Terlihat tenang dan berkharisma, tetapi sebelum gerak bibirnya berubah menjadi suara yang memanggil, sosok  semampai tiba-tiba saja muncul di hadapan Tara dan menggamit lengannya dengan mesra.

Wajah-wajah berbahagia yang meretakkan hati Wina, membuatnya berdiri kaku dengan tangan terkepal. Seperti ada pisau berkarat yang menusuk hati, sakit, perih tetapi belum berdarah.

“Win ….”

Keira menggamit lengannya berusaha mengalihkkan perhatian Wina.

“Itu Tara ‘kan, Ra?”

Keira mengangguk. Wina tidak salah lihat. Ada rasa dingin yang mulai menjalar dan sesuatu bergolak dalam perutnya membuatnya merasa pening dan mual. Keira menarik Wina ke sebuah resto tak jauh dari mereka. Wina mengikuti dengan langkah tersaruk dan kepala serasa kosong.

Bagaimana mungkin? Satu jam yang lalu Tara menelpon, mengingatkan untuk melihat dumy undangan dan meminta maaf tak bisa menemani karena ada pekerjaan yang harus diselesaikannya.

Di sini, usai melakukan apa yang dikatakan Tara, melihat dumy undangan, memastikan tak ada huruf dan kata-kata yang keliru, mereka bertemu di mal dan Tara tidak sendiri. Air mata Wina menetes.

Keira kembali menyentuh lengannya, menyodorkan segelas teh hangat. “Minum, Win tenangkan dirimu,” ujarnya lembut.

Keira memahami apa yang sedang dirasakan sahabatnya. Mendapati calon suami menggandeng gadis lain sementara kau baru saja memastikan undangan pernikahan kalian. Bukan sesuatu yang sederhana. kan?

Wina terbatuk ketika minuman hangat melewati tenggorokannya. Ia mengerjap, rasa hangat yang menjalar hingga ke perut seperti menyadarkannya.

“Mungkin hanya sepupu jauh yang belum sempat dikenalkannya padamu,” hibur Keira.

Wina menggeleng, ia dan Tara tumbuh bersama. Mereka seperti keluarga besar, semua anggota keluarga saling mengenal. Orangtua Tara anak tunggal, begitupun Tara.

“Jangan ambil keputusan apa pun saat ini, Win. Kamu butuh waktu untuk mengendapkan, jangan emosi. Cobalah menjauh sebentar. Lihat hubungan kalian dalam perspektif yang berbeda. Lihat hatimu.”

Dan itulah alasannya dia ada di sini. Menyepi di pesisir, mencoba berjarak dengan hari-hari bersama Tara. Langkah mereka, ia dan Tara sudah sejauh ini. Pernikahan mereka sudah di ambang pintu dan akan terselenggara dengan restu kedua orangtua.

Keira benar, menjauh sebentar, melihat segalanya dengan proporsi seimbang sebelum mengambil keputusan membuat Wina tak lagi merasa orang termalang sedunia.

Meski pedih, jujur harus diakuinya, Tara adalah sosok hero masa kecil Wina. Dia selalu ada saat para sepupu menganggunya. Memarahi mereka tiap kali Wina berteriak karena kepang rambutnya ditarik atau melempari Wina dengan bulu-bulu kemoceng Nenek hingga gadis itu menjerit-jerit. Ia memiliki rasa takut berlebihan pada bulu-bulu yang beterbangan.

Trauma setelah burung lovebirdnya mati karena luka-luka diterkam si Gembong. Saat sekarat burung itu terbang hingga bulu-bulunya berjatuhan sebelum tubuh mungilnya terbanting. Ah, Wina ingat ia menangis berhari-hari setelahnya. Dan Tara membawakannya burung pengganti, seekor lovebird cantik dengan bulu-bulu berwarna hijau, merah dan oranye. Tara pula yang paling sering mengumpulkan buah juwet yang berjatuhan di halaman rumah Nenek saat buah lebatnya luruh karena angin  dan  memakan buah ranum itu hingga  bibir mereka berwarna ungu kehitaman.

Perasaan Wina tumbuh seiring bertambahnya usia. Wina menyukai dan menyayangi Tara dalam diam, meski pernah terpisah jauh karena Tara mengikuti orangtuanya bertugas di Kalimantan. Getar itu selalu dan tetap ada  terutama tiap kali Tara muncul dalam acara keluarga.

Hidup terus mengalir laksana air, kedekatan Wina dengan Tara tak luput  dari perhatian keluarga. Entah siapa yang memulai, ide itu pun bergulir.

Ayah Tara sudah seperti anak bagi Nenek karena sejak usia empat tahun Neneklah yang merawat setelah kedua orangtuanya meninggal dalam kecelakaan.

Semua menjadi begitu mudah, dikelilingi orang-orang yang  menyayangi, Wina dan Tara ditunangkan. Dua  bulan lagi pernikahan akan dilaksanakan.

Kehangatan keluarga besar membuat hidup Wina terasa lengkap. Impian masa kecilnya sebentar lagi mewujud tak pernah terpikir olehnya untuk menanyakan bagaimana perasaan Tara sesungguhnya, Wina terlalu sibuk dengan kebahagiaan dan perasaannya sendiri.

Sesekali terucap juga oleh Tara kalau pertunangan dan pernikahan mereka hanya untuk menyenangkan ayah dan ibunya. Anehnya Wina malah bangga, pikirnya seorang pria yang mengambil keputusan memilih teman hidup dengan mempertimbangkan perasaan ibunya pasti akan memperlakukan pasangannya dengan baik. Naif.

Tara tetap bersikap baik walau semakin banyak berdiam diri, seakan tengah bergulat dengan sesuatu dalam dirinya dan sejatinya memang dia tak pernah tahu apa yang Wina tahu di sore yang mengubah pandangannya terhadap sosok Persada Utara, sosok guardian angel-nya, sosok yang mampu membuat Wina bertahan, memperjuangkan cintanya, sendiri.

Rasa cinta dan keinginan memiliki yang besar membuat Wina mencoba untuk mencari penyebabnya. Menegarkan diri menemui gadisnya Tara.

Ah, ia ternyata seorang gadis yang ramah, terbuka dan baik. Mungkin karena saat itu Wina mengenalkan diri sebagai adik Tara. Seorang gadis yang memang pantas untuk dicintai Tara. Tiba-tiba saja kehangatan pribadinya membuat Wina menggigil. Ia merasa iri.

Melihat mereka bersama, kehangatan antar mereka, pendar mata, cara menyentuh dan saling tatap yang diam-diam diamatinya membuat Wina sadar, itu tak pernah ada saat Tara bersamanya.

Pertunangan ini cuma ada cinta dari pihaknya tidak dari Tara, lalu pernikahan seperti apa yang akan dijalaninya nanti?

Ah, ada banyak pertimbangan yang kemudian muncul. Tentang kesehatan Nenek, konflik  antarkeluarga, rasa malu yang harus ditanggung karena pernikahan tak jadi dilaksanakan, undangan, sewa gedung, katering, juga … perasaan cinta Wina pada Tara. Setelah apa yang terjadi masih saja Wina menginginkan Tara walau dengan hati tak lagi utuh.

Sore di ujung Desember yang basah, senja merayapi gelap, Wina dan Tara duduk  di halaman belakang rumah Nenek, halaman yang cukup luas untuk  bermain petak umpet, dulu.

“Kamu Yakin, kita bisa melewati semua ini, Win?”

Pertanyaan Tara membuat Wina  tercenung, lama. Apakah ia ingin aku mundur setelah sejauh ini?

“Kamu tahu, Win, semakin dekat hari pernikahan, aku merasa semakin gamang.”

Lelaki itu malah tak berusaha menatap gadis di sampingnya.

“Harusnya kita saling menguatkan ketika mulai ragu.”

Ada rasa tak nyaman tiba-tiba singgah di hati Wina. Ia mengubah posisi duduknya hingga dapat menatap Tara. “Kenapa Mas tak menolak sejak awal?”

Tara balik menatap Wina, mata cokelatnya terlihat gelisah.

“Aku tak ingin kehilangan keluarga, Win, aku menyayangi kalian. Aku ingin membahagiakan Nenek, Ayah dan Ibu. Ini permintaan Nenek. Kamu tahu ‘kan Ayah tak pernah menolak apa pun permintaan Nenek. Dan kupikir, akan bisa menyayangimu lebih dari seorang adik.”

Wina menunggu, tetapi Tara memalingkan wajah.

“Siapa dia?” Wina bersuara setelah jeda cukup lama yang terasa menyakitkan.

“Maksudmu?”

Wina mengulurkan gawainya. Memberi Tara waktu untuk melihat foto dirinya bersama seseorang. Tangan pria itu terlihat gemetar. Helaan napasnya terdengar berat.

“Nuri, hubungan kami sudah berakhir saat kita bertunangan.”

“Lalu?”

“Dia datang untuk menagih apa yang pernah kujanjikan.”

Kata-kata itu lirih, tetapi seperti sentakan panas di telinga, membuat Wina mengibaskan kepala untuk mengusir dengingnya.

“Maukah kamu mengizinkanku untuk menikahi Nuri juga?”

Wina tersedak, tiba-tiba ia merasa membentur dinding, dingin dan beku, tak percaya, ditatapnya Tara.

Sadarkah dia, apa yang dikatakannya? Apa ini, belum menikah saja dia sudah menginginkan ada orang lain? Kenapa laki-laki ini menjadi egois?

Wina merasa hatinya berdarah. “Apakah … terjadi sesuatu yang membuat Mas harus menikahinya?”

Tara menggeleng, ”Aku … maafkan Win, maafkan. Ternyata aku hanya seorang pengecut.”

Ia menyugar rambutnya dengan kasar. Menutup wajah dengan kedua tangan.

Ya Tuhan, aku menyayangi Tara dengan sangat.  Melihatnya terlihat kacau sekaligus tak berdaya membuatku merasa bersalah dan sakit, please, wake up girl …!

Wina membatin dan berusaha menenangkan diri.

“Maaf, Win, aku tak ingin membatalkan pernikahan kita, tetapi aku juga tak ingin kehilangan Nuri.”

Dengan wajah sedih dia pamit meninggalkan pertanyaan yang menggantung dan pelan-pelan menikam Wina.

Hujan mulai menipis, rinai jarumnya nyaris tak tampak, langit  perlahan memutih. Satu dua camar mulai tampak, terbang tinggi lalu tiba-tiba  meluncur, menyambar sesuatu di air laut yang berangsur tenang.

Wina menghela napas sepenuh dada. Ada yang perlahan terangkat dari hatinya saat semua melintas. Hidupnya terlalu berarti untuk dipertaruhkan dengan apa pun.

Tak akan hancur jika kenyataan yang harus dihadapi berbeda dengan rencana. Wina yang akan memilih meski tak mudah.

Ia yakin sepenuh hati  bisa melalui pilihannya sepanjang ia hanya mengambil apa yang menjadi tanggung jawabnya.

Ia akan menemui Nenek. Perempuan bijak itu pasti mengerti. Dan jika memang Tara harus menikah demi menjaga martabat keluarga, ia rela namanya berganti dalam undangan. Saatnya mengucap selamat tinggal. Hidup masih akan terus mengalir, kan?

 

Tentang Penulis:

Eda Suhaedah/Eda Erfauzan gemar membaca dan hingga kini masih menyukai  dongeng-dongeng klasik dunia. Berharap suatu saat bisa berkunjung ke negeri di mana dongeng-dongeng itu lahir.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply