PHILL

PHILL

PHILL
Fika Anggi


Kemarin pagi, Phill menghubungiku, sudah hampir dua minggu ini ia tak menelepon. Sejak Martha meninggal setahun lalu, Phill dan aku jarang bertukar kabar. Dulu, Martha kerap melakukan video call dengan Phill, seminggu bisa dua sampai tiga kali. Aku biasanya hanya menjadi cameo yang lewat di belakang punggung Martha.

“Katakan pada Daddy untuk berhenti sejenak dan ikut nampang di depan kamera, Mama,” kata Phill sewaktu aku melintas menenteng bor listrik. Aku kemudian hanya melambaikan tangan dan kembali meneruskan pekerjaan memasang bingkai-bingkai foto keluarga. Setelah pensiun, pekerjaanku adalah mengurus tetek bengek memperbarui tampilan ruang tamu.

Setelah Martha tak ada, Phill lama sekali tak menghubungi nomorku. Phill mungkin merasa hampa karena tak ada tawa renyah ibu menyambutnya. Lagipula, kukira Phill paham kalau seperti lelaki pada umumnya, aku tak suka tampil di layar. Phill hanya akan menghubungiku di akhir minggu, menanyakan mungkin ada sesuatu yang kuperlukan. Apakah seorang anak lelaki memang sedikit berjarak dengan ayahnya?

Namun kemarin pagi, ia menelepon padahal belum hari sabtu.

“Aku akan mengenalkan seseorang padamu, Dad.”

“I hope it would be a woman.”

“Tentu, Daddy, tentu saja.”

Baguslah! Phill terlalu lama melajang. Umurnya sudah nyaris empat puluh dan tak satu pun wanita ia kenalkan padaku dan Martha. Padahal, Phill mengadopsi ketampananku yang paripurna dan punya pekerjaan bagus. Dia bahkan mampu menyewa sebuah flat di Lower Manhattan yang ongkos sewanya tergolong mahal di seluruh New York. Malam ketika mengembuskan napas terakhir, Martha memintaku menjodohkannya dengan seseorang entah siapa. Pokoknya, buat dia menikah, Sammy, erang Martha di tengah napasnya yang tinggal satu satu. Sebuah tugas yang berat. Siapa pula lelaki yang mau dijodohkan di zaman sekarang? Untung saja Phill sendiri yang akan membawa calon istrinya padaku hari ini.

Anakku itu, entah kenapa, demikian berbeda denganku. Ketika umurku masih dua puluhan, aku sudah berganti wanita belasan kali. Yang lebih istimewa, pacarku selalu berusia lebih muda dariku lima sampai delapan tahun. Aku bahkan pernah punya kekasih yang usianya nyaris lima belas tahun di bawahku. Martha, istriku tercinta, terpaut sepuluh tahun denganku. Daripada mengencani gadis-gadis muda, Phill lebih suka ada di depan komputer jinjingnya sejak masih mahasiswa.

“Aku saja yang tak tertarik, Mom,” jawab Phill ketika aku dan Martha bertanya apa tak ada satu gadis pun yang tertarik padanya. Kau pasti bercanda, Sayang. Tak kurang perempuan cantik di blok Manhattan, desak Martha kemudian.

“Bukan seleraku, Mom.” Selalu begitu alasan yang disodorkan Phill. Ohh, ayolah! Memangnya bagaimana tipe perempuan kesukaanmu? Martha setengah berteriak saat mengatakannya. Phill menghela napas panjang sebelum menjawab, “aku suka perempuan dewasa, Mom.”

Jadi Phill tidak menyukai wanita kekanak-kanakan. Tentu saja, kupikir, gadis sekarang memang suka sekali keluar masuk butik pakaian dan tas dan sepatu, menghambur-hamburkan uang tanpa perhitungan. Latar belakang Phill sebagai seorang konsultan keuangan bisa jadi membuatnya selalu memperhitungkan biaya jika berkencan serius dengan salah satu dari mereka.

Arlojiku sudah menunjukkan pukul sebelas lebih tiga belas menit saat aku keluar dari 86 Street Station. Menyusuri East 86th Street dan berjalan lurus ke arah barat melewati Park Ave, Madison Ave lalu keluar di Fifth Avenue. Beberapa menit memperhatikan deretan restoran, aku masuk ke sebuah kedai yang dari dalamnya menguar aroma sedap chicken broth. Aku membayangkan sebuah pertemuan hangat dan kental persahabatan dengan kekasih Phill. Sengaja kupilih bangku di luar, bagi orang seumurku, menikmati jerit girang anak-anak di Mariner’s Gate Playground mengirimiku energi meluap-luap.

Kukirimkan sebuah pesan pada Phill berisi nama restoran tempatku mengawasi lalu lalang manusia kota besar. Lalu kucoba mereka-reka penampilan perempuan teman berkencan anakku semata wayang. Rambut ikal dicat dengan warna mirip jeruk, bibir merah darah dan kacamata hitam bertengger di atas kepala. Mulut yang tak henti mengunyah permen karet juga sesekali menggelembungkannya. Sepatu boot hitam bertumit lancip, celana toreador warna khaki dan blus dari bahan twistcone bewarna daun maple tua. Namun selera Phill bisa saja berbeda denganku, aku menyeringai. Phill tak pernah terlambat, beberapa belas menit lagi ia pasti akan sampai.

Daun-daun oak gugur, terserak memenuhi jalanan dan kesiur angin meniupnya ke segala arah. Di puncak musim gugur Central Park bewarna oranye cerah.

Sesuai dugaanku, kulihat Phill melenggang, bergandengan tangan dengan seseorang. Aku berdebar-debar, Sayang. Kukatakan hal itu pada arwah Martha yang mungkin saja menyaksikan pertemuan kami dari surga. Hal yang dikuatirkan Martha akan sirna, tanpa terasa senyumku terkembang sempurna.

Perempuan di samping Phill menatapku tak berkedip, begitu pun aku. Phill memperhatikan heran yang menyemburat di wajahku dan kekasihnya itu. Duhh, bagaimana kujelaskan pada Phill _dan Martha yang menyaksikan dari surga_ bahwa perempuan yang dibawa oleh Phill adalah Catherine, yang pernah menjadi kekasihku saat usianya masih enam belas tahun. (*)


Fika Anggi, seorang perempuan yang sedang belajar menjadi manusia, ibu dan penulis yang baik.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply