Petrichor

Petrichor

“Cepat bakar dia!”

“Ayo, kita bakar dia!”

“Benar! Dia pasti yang telah menyebabkan semua ini!”

Warga terus berteriak marah. Mereka masuk ke dalam hutan sambil membawa obor. Tadi sore, saat warga sedang menjalankan aktivitasnya, tiba-tiba saja tanah di tepi tebing longsor, lantas menimbun beberapa rumah yang ada di bawahnya dan merenggut banyak nyawa.

Sebenarnya tidak aneh bagi warga Mogire jika longsor terjadi setelah hujan lebat, itu sudah hal yang wajar. Di seluruh negeri juga pasti akan mengalami hal tersebut. Tapi kali ini berbeda. Negeri mereka sudah lama sekali tidak terguyur hujan—walau hanya gerimis. Musim kering melanda negeri ini selama beberapa tahun, bahkan di bulan Desember sekalipun. Membuat bahan pangan kian menipis sehingga banyak warga yang mati kelaparan. Tapi hujan juga tidak kunjung turun. Lantas bagaimana longsor bisa terjadi?

Warga yang marah terus melangkah cepat menuju rumah Lonia, sang penyihir putih yang tinggal di dalam hutan. Mereka hendak membakar wanita cantik tersebut. Berpikir kalau Lonia-lah yang telah membuat tanah di tebing menjadi longsor.

“Cepat seret dia!” teriak salah satu warga saat sudah berada di depan gubuk yang beratapkan jerami.

Tanpa permisi terlebih dahulu, seorang pria berbadan kekar dan berambut panjang langsung mendobrak pintu. Menarik Lonia yang sedang berbaring di ranjang.

“Ada apa ini?” tanya Lonia bingung.

“Sudah, langsung seret saja dia ke luar!”

Dengan bengisnya pemuda tadi langsung menarik paksa tubuh Lonia, membuat wajah wanita berambut pirang tersebut terpentok ke sudut pintu. Lantas Lonia diikat di salah satu pohon besar, ditimpuki dengan batu oleh setiap warga.

Cuih!

Tiba-tiba saja salah satu warga meludahinya. “Dasar penyihir! Kamu sengaja menyebabkan tanah longsor untuk membunuh kami semua!” ujarnya sambal menatap tajam ke arah Lonia.

Penyihir putih itu terbelalak. Bagaimana bisa itu menjadi salahnya. Dia bahkan tidak tahu apa pun soal tanah longsor.

“Jangan berpura-pura baik! Kami tidak akan tertipu dengan wajah cantikmu itu!”

“Aku tidak pernah melakukan sesuatu seperti yang kalian tuduhkan padaku. Kalianlah yang menyebabkan semua itu,” Lonia menatap satu per satu warga yang berdiri dengan penuh kebencian, “kalian pikir alam tidak akan marah dengan perlakuan kalian? Mereka akan murka jika kalian terus bersikap semena-mena. Kalianlah yang membabat habis pohon di dekat tebing, bahkan tidak pernah menanamnya lagi,” ujarnya sambil meringis, menahan sakit di sekujur tubuhnya.

“Kamu pikir kami akan percaya? Itu hanya akal-akalanmu saja! Kamu telah menggunakan sihir untuk kepentinganmu. Kamu menyembah iblis dan menjadikan kami tumbal untuk memantapkan ilmu sihirmu itu!” tukas seorang pria tua yang berdiri tak jauh darinya.

“Sudahlah, kita bakar saja dia!” sahut warga lain, membuat keadaan kembali riuh.

Tanpa menunggu aba-aba satu per satu warga mulai melemparkan obor yang sejak tadi mereka pegang pada Lonia, membuat tubuh penyihir putih itu mulai dikelilingi oleh kobaran api.

“Jangan salahkan aku jika alam mengutuk kalian,” serunya yang perlahan mulai dijilati api yang kian membesar.

Benar apa yang diucapkan Lonia. Warga telah melakukan kesalahan besar. Api yang mereka tujukan untuk membakar penyirih putih semakin besar, menyambar setiap pepohonan dan membuat mereka semua terperangkap dalam kobaran api yang tak bisa dihapus dalam sejarah.

Dan Desember tahun itu menjadi sebuah kejadian yang takkan terlupakan. Di mana seluruh hutan habis terbakar bersama orang-orang di dalamnya.

***

“Bagaimana Ayah bisa tahu cerita itu?” tanya Ronela penasaran.

Aku tersenyum kecut. “Karena Ayah juga berada di sana saat kebakaran itu tengah berlangsung.”

“Bukankah Ayah bilang semua orang yang ada di sana ikut mati? Hangus terbakar api yang saaangat besar,” katanya sambil merentangkan tangan lebar-lebar.

Aku menatap mata Ronela yang berwarna biru terang. Gadis kecil itu selalu saja penasaran dengan segala hal. Ia bahkan menanya tentang hal tersebut di saat anak-anak seusianya biasa hanya terfokus pada pikirannya soal kobaran api atau malah ketakutan jika kuceritakan. Aku menghela napas. Kisah itu, aku takkan pernah melupakannya seumur hidup. Itu adalah kisah yang teramat pahit untukku.

“Apa kau ingin mendengar kelanjutannya?” tanyaku sambil mengusap rambut lurusnya. Dia mengangguk cepat.

“Di tengah kobaran api, Ayah mendengar suara yang amat merdu. Itu berasal dari Lonia yang sedang bernyanyi.”

“Lagu apa itu?” Ronela kembali memotong ceritaku.

Aku mengangkat kedua bahuku. “Entahlah. Tapi lagu itu memiliki arti, ‘Aku di sini, dalam kobaran api. Aku merasakan sakit yang juga dirasakan bumi. Marahlah, tumpahkanlah semua yang selama ini terpendam. Aku dapat merasakannya. Namun meredalah, tenanglah. Di sini, di antara jiwa-jiwa yang membenci. Di antara jiwa-jiwa yang mementingkan diri sendiri. Aku ada. Aku memelukmu dengan penuh cinta. Jadi tenanglah! Redamlah!’”

Dan bersama dengan lagu itu, langit seakan bersedih. Menumpahkan air matanya. Membuat hujan luruh membasahi negeri yang tandus itu. Itu … adalah hujan pertama yang turun setelah kemarau panjang. Memadamkan api yang terus berkobar.” Aku menyeka mataku yang berkaca-kaca.

“Karena itukah Ayah selamat? Karena hujan telah memadamkan apinya?” tanya gadis kecilku sekali lagi. Nampaknya ia masih penasaran soal keberadaanku di hutan itu.

Aku mengangguk. “Benar apa yang dikatakan penyihir putih itu, ‘Bumi akan melindungimu saat kau melindunginya’. Di sana, saat api berkobar begitu besar, ada sesuatu yang seakan melindungi Ayah. Pohon besar tempat Ayah bersembunyi seolah menjaga Ayah dari besarnya api yang menyala-nyala. Bahkan hujan yang turun malam itu juga membuat api perlahan padam. Tak menyisakah apa pun selain Ayah dan pohon besar tersebut.”

Ronela menatap takjub mendengar jawabanku barusan. Matanya terlihat berbinar-binar, untuk beberapa saat kemudian ia kembali bertanya, “Jadi … Ayah kenal dengan penyihir putih itu?”

Aku mengangguk sekali lagi. Tersenyum pada gadis pintar yang ada di pangkuanku.

Iya, aku mengenalnya. Dalam hidupku, Lonia tidak hanya seorang penyihir putih. Dia mengajarkanku banyak hal. Tentang merawat alam, memberikan kehidupan pada setiap makhluk di bumi, dan segalanya. Bagiku dia adalah duniaku. Dia adalah ibu yang mengajariku tentang cinta. Dan untuk selamanya dia akan selalu hidup di hatiku.(*)

Lily Rosella, seorang gadis pencinta hujan yang lahir di Jakarta ini menyukai warna-warna pastel dan baru menjejakkan diri di dunia literasi. Pun begitu ia masih belajar untuk mengenal cerpen dan puisi. FB: Aila Calestyn. Email: Lyaakina@gmail.com.

Cerpen ini terpilih sebagai nominator pada KCLK (Kompetisi Cerpen Loker Kita) untuk minggu ke-4 Februari.

Selebihnya tentang KCLK, mari bergabung ke grup kami:

Grup FB KCLK
Halaman FB kami:
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan

Leave a Reply