Petrichor

Petrichor

Tangisan langit langsung menyapaku saat kujejakkan kaki keluar kantor penerbit. Hah … aku sedang rindu bau ini. Bau yang mengingatkanku pada banyak peristiwa dalam hidupku. Dengan pasti kulangkahkan kaki lebih jauh. Tidak kupedulikan prasangka orang-orang yang menyebutku sedikit gila. Bagaimana tidak, ketika orang-orang sibuk berteduh aku malah berlari menyongsong sang hujan. Dengan senyum lebar yang terukir di bibir, kulangkahkan kaki lebih cepat. Hanya lima ratus meter dari tempat kostku. Tak begitu jauh kukira.

Aku hanya ingin menikmati waktu dengan sang hujan. Sudah lama dari terakhir kali aku bermesraan dengan hujan. Hari ini aku sedang bahagia karena satu novelku dipinang oleh mas penerbit, itu artinya bulan ini akan ada uang untuk Mama. Dan aku ingin membaginya dengan hujan. Sampai depan gerbang kostku, aku disambut dengan pelototan Ira, sahabat karibku. Dan hanya kujawab dengan cengiran lebar di wajahku.

“Kebiasaan banget sih lo Ma! Kalau lo sakit gimana?”

“Hehehe … enggak bakalan, Sayang, kan gue dah kebal.”

“Awas aja kalau lo tiba-tiba ngerengek ke gue! Ga ada ya malem-malem ketokin kamar gue!”

“Udahlah, Ra. Janji ga bakalan ngrepotin kamu kalau aku sakit,” kupeluk dan kuciumi wajahnya yang sedang marah itu.

“Aku mandi dulu, dan tolong lap lantainya ya, Ra!”

Segera aku berlari ke kamar untuk membersihkan tubuhku, sebelum teriakan Ira kembali terdengar.

“Nirma!” teriak Ira setelah menyadari kalau bajunya basah gara-gara aku.

“Hahaha….”

Setelah mandi segera aku duduk depan laptopku. Mengerjakan PR yang diberikan oleh mas editor siang tadi. Kubaca perlahan naskah yang ada di file komputer dan naskah yang sudah diwarnai oleh mas editor. Hah … sudah beberapa novelku yang diterbitkan tapi masih saja banyak kesalahan yang kubuat. Kufokuskan diriku untuk kembali mengedit naskah. Hingga tak lama, badanku mulai terasa menggigil. Efek dari main hujan tadi mulai berasa. Kupaksakan badanku beranjak ke dapur. Setelah kutemukan jahe di dalam kulkas, segera kubakar di atas kompor. Sambil menunggu, tak lupa kujerang air. Kubolak-balik si jahe agar tidak terlalu hitam. Kulirik ke jendela. Ah … hujan masih saja setia.

Hawa dingin kembali menyeruak menyelimutiku. Segera kuseduh jahe panasku ketika kulihat air sudah mendidih. Kembali kuberjalan ke kamarku. Tak sengaja kulihat si hitam di dalam buffet. Memanggilku untuk kuseduh pula. Kuembuskan napas pelan, karena kali ini aku harus menolak. Menghangatkan badan kupikir jahe lebih baik daripada kopi. Kuhempaskan badanku ke meja komputer lagi. Kuminum pelan-pelan jahe hangatku sambil kukerjakan kembali naskahku. Pukul 10.00 tepat mataku sudah tidak bisa diajak kompromi. Sakit di kepalaku juga semakin menusuk. Kuputuskan menyudahi pekerjaanku dan tidur.

Pagi menjelang, kurasakan badanku sedikit lebih baik walau sakit di kepalaku masih bertahan. Kulirik jendela kamarku. Sisa-sisa hujan semalam masih ada. Kurapatkan kembali selimutku. Pekerjaan sebagai penulis tidak mengharuskanku untuk berangkat pagi. Kecuali kalau aku sudah ada janji. Kupejamkan kembali mataku setelah kusetel alarm ke pukul sembilan. Kembali melebur ke dunia mimpi. Kurasakan lapar setelah jarum jam menunjukkkan pukul 8.30. Bergegas mandi dan keluar untuk mencari makanan. Sepiring nasi uduk menjadi sarapanku kali ini.

Kudengar suara Ira di luar. Tak lama terdengar pula suara ketukan pintu.

“Masuk! Ga dikunci pintunya.”

“Ma, ada bokap lo di luar.”

“Bilang aja aku ga ada Ra!”

“Sori gue dah bilang kalau lo di kamar.”

Kuhela napasku dengan berat. Dua tahun sudah aku tidak bertemu dengannya. Segera aku berjalan ke ruang tamu. Tak lupa kuambil minum di dapur. Di ruang tamu kulihat beliau sudah duduk di sofa. Kuhidangkan segelas teh manis di atas meja.

“Ada perlu apa Anda datang kemari.”

“Tidak bisakah kamu menyapa ayahmu dengan sedikit hangat. Kamu lupa aku masih ayahmu?”

“Ayah? Ayahku sudah mati dua tahun yang lalu.”

Kudengar dia mengembuskan napasnya dengan kasar.

“Tidak bisakah kamu memberikan kesempatan untuk ayahmu meminta maaf?”

“Bukannya sudah kubilang kalau ayahku sudah mati,” kujawab pertanyaannya dengan dingin. Tidak pernah aku lupa saat di mana orang yang menyebut dirinya sebagai ayah mengusirku dan Mama di malam itu. Malam yang harus membuatku kehilangan sosok mamaku. Sedetik pun tidak pernah hilang dari ingatanku ketika lelaki yang menyebut dirinya sebagai ayah,  memaki Mama dengan kata-kata kasar. Sejak malam itu tak pernah lagi kulihat Mama tersenyum bahkan untuk aku, anak kandungnya sendiri. Tak pernah kulihat lagi sosok mamaku yang dulu.

Hingga setahun yang lalu aku terpaksa memasukkanya ke rumah sakit jiwa. Karena beliau seringkali mengamuk tanpa sebab. Bahkan beberapa kali beliau melukai dirinya sendiri. Bukannya mauku memasukkanya ke sana, hanya saja aku juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan kami berdua. Dua  tahun yang lalu aku bukanlah seorang kuli tinta seperti sekarang. Aku harus bersusah payah menemui penerbit untuk menerbitkan tulisanku. Berbagai tulisan kukirim juga untuk beberapa majalah dan koran tapi tetap tidak semudah yang kubayangkan. Hingga berbagai pekerjaan lain harus kulakukan untuk memenuhi kebutuhan kami berdua. Sampai akhirnya delapan bulan yang lalu usahaku berhasil. Ada penerbit yang mau menerbitkan tulisanku. Dan aku putuskan untuk fokus ke tulisan dan keluar dari pekerjaanku yang lain.

“Ayah hanya ingin bertemu dengan Mama, Nirma. Ayah mau minta maaf sama Mama. Sama kamu juga!”

“Maaf? Apa harus menunggu tiga tahun dulu baru Anda punya keinginan untuk minta maaf? Ke mana saja selama ini?”

“Nirma, Ayah tahu kalau Ayah salah sama kalian berdua. Ayah dijebak Nirma. Kamu tahu bagaimana Ayah mencintai Mama. Ayah tidak mau menyakiti Mama.”

“Hanya saja Anda sudah menyakiti beliau,” kujawab pertanyaannya dengan nada datar. Walau sebetulnya aku sungguh sangat ingin memeluknya. Dulu, lelaki ini adalah panutanku. Lelaki ini yang selalu aku puja.

“Untuk itu aku harus minta maaf Nirma. Tolong beri Ayah kesempatan sekali saja.”

“Kata maaf Anda sudah tidak berguna! Silakan pergi dari sini kalau sudah selesai!”

“Nirma, Ayah mohon, Sayang!”

“Silakan Anda keluar sebelum saya memanggil satpam.”

Kulangkahkan kakiku menuju kamar. Kakiku gemetar, tak sanggup lagi menopang badan. Aku benar-benar merindukannya. Tapi ketika mengingat bagaimana dia memaki Mama, aku juga tak bisa membenarkannya. Perlahan mataku terpejam tak sanggup lagi menahannya. Kuterlelap dengan rasa sesak di dada.

Keesokan harinya aku berencana mengunjungi Mama. Terakhir bulan lalu aku mengunjungi beliau. Dua hari yang lalu pihak rumah sakit sudah menghubungiku untuk segera melakukan pembayaran. Setelah selesai mengurusi administrasi kulangkahkan kakiku ke ruangan tempat Mama dirawat. Kulihat beliau sedang duduk di atas tempat tidur, menghadap jendela samping kanannya. Kuperhatikan wajahnya dengan lekat. Wajahnya terlihat semakin tirus. Kelopak matanya pun menghitam. Rambut panjangnya tak lagi terurus seperti dulu. Ingin sekali kubuka ruangan itu. Menghambur ke pelukannya, tidur di pangkuannya. Ingin sekali aku mendekapnya. Membisikkan kata-kata sayang untuknya. Memberitahunya kalau ia masih punya aku, putrinya. Kusandarkan tubuhku di terali jendela. Kucengkeram erat besinya. Sampai kapan aku bisa bertahan. Bolehkah aku berhenti sekarang? Aku lelah….

Sore itu ketika pulang dari rumah sakit, kembali aku menyusuri trotoar untuk pulang. Entah kenapa angin sore itu membawaku untuk menikmatinya. Semilir angin itu kembali membawaku mengingat masa-masa itu. Perselingkuhan Ayah dan sakitnya Mama. Dua peristiwa yang membuatku berada dalam titik terendah hidupku. Sampai tempat kos aku langsung membaringkan tubuhku. Tak lagi kupedulikan teriakan Ira di luar. Aku hanya ingin tidur. Besok hari aku berencana menemui editor novelku.

Pagi menjelang ketika handphoneku tak henti berdering. Memaksaku membuka mata yang terasa begitu berat. Kulirik penelepon yang mengganggu tidurku.

Suster Ratna?

Suster yang bertanggung jawab mengurusi Mama. Kenapa beliau menelepon sepagi ini? Tanyaku dalam hati. Seketika jantungku berdetak dengan cepat. Perasaan tidak enak menjalar merayapi tubuhku. Segera kuangkat telepon itu, seraya berharap tidak terjadi apa-apa dengan Mama.

“Halo, Sus?”

“Nirma, cepat datang ke rumah sakit sekarang juga!”

“Ada apa, Sus? Apa terjadi sesuatu dengan Mama?”

“Akan saya jelaskan nanti!”

Bergegas aku bersiap ke rumah sakit. Kulupakan janji dengan editor. Tak butuh waktu lama aku segera bersiap. Dengan motor yang kupinjam dari Ira, segera aku melaju ke rumah sakit. Detak jantungku masih berdetak dengan cepat. Perasanku semakin tidak enak. Segera aku berlari ke ruangan Mama, setelah kuparkir motorku. Kulihat rungan Mama kosong. Ke mana Mama? Segera kutanya suster yang kebetulan lewat. Aku berlari ke ICU setelah perawat itu memberi tahuku. Kulihat Suster Ratna di depan ruang ICU.

“Mamamu mencoba memotong nadinya habis subuh tadi dan petugas piket baru menemukannya tadi pagi. Mamamu kehilangan banyak darah. Dokter masih di dalam sekarang. Berdoalah! Semoga mamamu masih bisa bertahan”.

Penjelasan Suster Ratna bagai petir di telingaku. Kakiku melemas. Dan aku terduduk di lantai rumah sakit yang dingin.

“Setelah kau pulang kemarin, seorang laki-laki menemui mamamu. Dia sempat histeris semalam tapi tenang kembali setelah dokter mengunjunginya. Dan malam kemarin mamamu baik-baik saja!”

Ayah! Hanya dia yang terlintas di pikiranku. Hanya dia yang sekarang berusaha mencari Mama.

Terlarut aku dalam pikiranku sampai Suster Ratna bilang kalau dokter sudah keluar. Tanpa bicara dokter hanya menggelengkan kepalanya. Aku paham. Mereka menyerah. Artinya Mama pergi. Meninggalkan aku seorang diri. Berlari aku masuk ke ICU. Kulihar beberapa perawat mencabut peralatan di tubuh Mama. Kepeluk Mama. Kuciumi wajahnya. Kubaringkan tubuhku di samping Mama. Kutatap lekat perempuan yang dulu malahirkanku. Rasa sesak itu merayapi tubuhku. Kepejamkan mata, berharap bisa tertidur seperti Mama. Suster Ratna memaksaku berdiri.

Jenazah mama akan segera dibersihkan. Sore harinya jenazah Mama dikebumikan. Air mataku sudah tidak bisa kembali keluar. Dipelukan Ira kusandarkan tubuhku. Kulihat jenazah Mama dimasukkan ke liang lahat. Separuh jiwaku terasa ikut tertimbun. Rintik-rintik hujan ikut serta mengantar Mama. Kalian tahu? Dulu aku sangat suka dengan bau hujan. Tapi setelah hari ini aku tidak yakin akan menyukainya. Bau ini ikut mengantar jenazah Mama. Para pelayat pergi setelah ustaz mendoakan Mama.

“Ayo pulang, Ma!”

“Kamu duluan aja, Ra! Aku masih pengen di sini sebentar lagi.”

“Ma, lo jangan kaya gini. Lo masih punya gue, Ma!” Kurasakan tubuh Ira memelukku dengan kuat.

“Aku tahu, Ra. Aku cuma pengen nemenin Mama sebentar.”

“Jangan lama-lama ya! Gue ga mau lo sakit. Gue sayang sama lo Ma!”

Hanya kuanggukkan kepala sebagai jawaban. Kuusap nisan bertuliskan nama mama yang masih baru itu. Kucium dan kupeluk erat seolah itu adalah mama.

Hari sudah malam ketika aku beranjak pulang. Aku disambut senyuman Ira. Sungguh beruntung aku masih punya Ira. Setelah mandi kubaringkan tubuhku di atas kasur. Tak kupedulikan perutku yang tak kuisi sejak pagi. Aku ingin tidur. Berharap bisa ketemu Mama walau hanya dalam mimpi. Pagi menjelang ketika kurasakan perutku semakin perih. Kucoba membuka mata walau terasa berat. Mungkin efek menangis semalam. Kulangkahkan kakai ke dapur ketika selesai bersih-bersih badan. Senyuman Ira menyambutku ketika aku sampai.

“Sini Ma! Gue udah siapin sarapan buat lo.”

“Makasih ya, Ra!”

Anytime, Darling….”

Kita berdua makan dalam diam hingga dering bel pintu terdengar.

“Biar gue yang buka, lo terusin makan ya!”

“Ma, Bokap lo di luar!” kata Ira setelah beberapa saat. Dengan malas kuletakkan sendokku. Kutemui Ayah di luar.

“Sayang … maaf Ayah ke luar kota kemarin. Ayah tidak tahu kalau Mama pergi.”

Kusunggingkan senyum di sudut bibir kala kudengar kata-kata Ayah.

“Ayah mau kamu tinggal sama Ayah. Ayah janji akan menjaga kamu.”

“Tak perlu repot. Saya sudah terbiasa tinggal sendiri.”

“Izinkan Ayah untuk menebus semua kesalahan Ayah!”

Kutatap lekat wajah Ayah. Wajah yang sudah mulai menua. Durhakakah aku kalau menolak permintaannya?

“Besok akan Ayah jemput. Hari ini kamu bisa bersiap-siap. Tolong jangan tolak permintaan Ayah kali ini.”

Kuanggukkan kepala sebagai jawaban.

Entahlah … akan kupikir sisanya nanti. Ketika Ayah menjemputku keesokan harinya, aku sudah siap. Tapi entah kenapa perasaanku terasa begitu berat. Dengan diantar pelukan Ira, aku pergi ke rumah Ayah. Di perjalan hanya sepi yang menemani. Tak satu pun dari kami berniat memulai percakapan. Ayah hanya sibuk menyetir, sedang aku hanya memandangi pinggir jalan. Sampai di rumah Ayah, wajah cemberut ibu tiriku menyambut kedatanganku. Aku merasa dia tidak suka padaku. Ayah segera mengantarku ke kamar. Kamar ini bukanlah kamarku yang dulu. Kata ibu kamarku yang dulu sudah dipakai adik tiriku.

Seharian ini hanya kuhabiskan di dalam kamar. Makan siang dan malam diantar ke kamarku oleh Bik Inah, pembantu rumah ini. Ayah hanya menengokku sebentar sebelum tidur. Tengah malam, karena tenggorokanku yang kering aku berniat mengambil air minum. Secara tak sengaja kudengar pertengkaran ayah dan ibu tiriku. Dan semua karena aku. Tak tahan lagi segera kubalikkan badan untuk kembali ke kamar. Kembali kuratapi takdir hidupku hingga tak terasa aku terlelap. Wajah masam ibu tiriku kembali terlihat saat aku ke meja makan. Akhirnya kuputuskan untuk berpamitan pada Ayah.

“Tidak sarapan dulu, Nirma?”

“Tidak usah, Yah … Nirma ada janji,” aku bohong tentu saja. Bilang saja bahwa aku melarikan diri. Kuhentikan taksi untuk mengantarku ke makam. Ya … aku ingin bertemu Mama. Sampai di makam aku berjalan pelan menghampiri makam Mama. Terlihat bunga mengering. Kutaruh bunga lili di atas makam yang tadi sempat kubeli. Kubaringkan tubuhku di samping makam Mama. Kubelai pelan tanah makamnya. Kupeluk seakan itu Mama.

Biarkan mereka menganggapku gila. Entah berapa lama aku tertidur di sana. Titik-titik air membangunkanku. Sudah sore ternyata. Aku berjalan keluar makam. Menyusuri trotoar hingga sampai di tepi sebuah jembatan. Rintik-rintik hujan semakin deras. Dan aku tak perduli. Kutatap air yang mengalir deras di bawah sana. Kucium aroma favoritku. Aroma terakhir yang aku hirup. Derasnya hujan memelukku. Entah apa yang kupikirkan. Kupusatkan arah pandangku ke bawah sana. Kupejamkan mata kala air semakin dekat. Kurasakan tangan Mama mengandengku. Aku tersenyum. Tangan Mama kurasakan semakin erat. Aku lelah … Aku ingin tidur….

Bogor, 3 februari 2016

“Sesosok Mayat Perempuan Ditemukan Mengambang di Pinggiran Sungai.”

Judul yang menghiasi tajuk berita hari itu. Hampir semua koran memuat berita itu. Namun, belum seorang pun mengetahui siapa perempuan itu.

Singapore, 4 februari 2018

Susilowati, hobi membaca. Mencintai hujan, senja dan kopi

Fb: alexa chan. Email: alexa.chan90@gmail.

Meskipun tidak masuk nominasi, cerpen ini kami anggap layak terbit di KCLK (Kompetisi Cerpen Loker Kita) untuk minggu ketiga Februari.

Selebihnya tentang KCLK, mari bergabung ke grup kami:

Grup FB KCLK
Halaman FB kami:
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan

Leave a Reply