Peternakan Uncle Jhon

Peternakan Uncle Jhon

Peternakan Uncle Jhon

Oleh : Freky Mudjiono

 

Pagi yang cerah. Kutatap langit yang terlihat lebih biru, lebih bersih, lebih teduh. Aku tidak tahu bagaimana menjabarkannya dengan tepat. Hanya saja matahari tidak bersinar terik di sini. Sehingga mataku bisa lebih leluasa memandang luasnya langit.

Keempat kakiku merasai rumput yang terasa lembut dan basah. Sesekali aku berjingkrak di atasnya. Ini sungguh menyenangkan! Tidak sia-sia aku menahan kuping berdenging dan rasa tidak nyaman di perut di saat berada di dalam sebuah benda besar mirip sebuah burung raksasa. Saat itu, aku sangat ketakutan. Untunglah Ibu menenangkanku. Ia bersenandung dengan lenguhan lembut seperti yang biasa ia lakukan setiap kali para penjagal membuka pintu bangsal dan menyeret salah satu sapi dewasa maupun remaja yang kukenal.

“Ibu …,” rengekku menyebut namanya.

“Tenanglah. Tidak apa-apa,” jawab Ibu dengan nada bergetar.

“Kita akan dibawa ke mana?”

“Ibu juga tidak tahu. Tapi tenanglah. Semua akan baik-baik saja.”

“Benarkah?”

“Tentu saja benar.” Ibu menatapku lama seolah meyakinkan. “Kita akan baik-baik saja.”

Aku sempat mengira Ibu berbohong. Sebab, setelah kami diturunkan oleh beberapa manusia, kami sempat dikurung di sebuah tempat selama beberapa hari.

Dari dalam tempat yang tertutup itu, aku hanya bisa meringkuk di dekat Ibu. Aku bisa merasakan bahkan udara di tempat ini berbeda.

Ternyata, Ibu tidak berbohong! Tidak sama sekali!

“Ibu, aku ingin bermain!” seruku gembira. Tanpa menunggu persetujuannya aku berlari mengitari areal cukup luas yang diberi pagar.

Tempat ini sangat menyenangkan. Sungguh jauh berbeda dengan areal sempit di mana bau anyir darah kapan saja bisa menguar di udara.

Sepasang manusia menghampiri kami. Mereka terlihat seperti beberapa orang yang membawa aku dan Ibu ke tempat ini. Rambut keemasan, bola mata biru dan berkulit putih. Mereka sepertinya sangat ramah. Aku beranjak mendekati yang wanita. Ia mengangsurkan segenggam jerami seolah menawarkannya padaku.

“Dia sangat manis,” kata sang wanita.

“Benar. Dia berasal dari bibit unggul. Kau tahu … sapi Afrika memang luar biasa.” Sang pria menyahut sambil membetulkan letak topinya yang berwarna krem, kini aku bisa melihat ternyata sang pria itu terlihat lebih tua dari sang wanita.

“Apakah mereka bisa beradaptasi di sini?” Suara sang wanita terdengar khawatir.

“Harus. Harus bisa. Kau tahu, kita mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk membawa mereka sejauh ini.” Sang pria menatapku penuh harap.

Pembicaraan keduanya berkali-kali terngiang di telingaku hingga senja tiba.

“Ibu, beradaptasi itu apa?” tanyaku menjelang tidur. “Dua manusia tadi, mereka bilang, kita harus beradaptasi.”

“Ibu tidak tahu. Mungkin maksudnya kita tidak boleh sakit di sini. Kau tahu, Tuan Modishu tidak ada di sini untuk membuatkan kita ramuan obat.”

Seketika aku teringat pada lelaki yang sangat perhatian pada kami di peternakan sebelumnya. Pria kurus dengan rambut hitam gimbal dan kulit yang terlihat gelap mengilat itu, sangat piawai mengobati sapi-sapi yang sakit. Pernah suatu kali, perutku terasa perih hingga tidak sanggup berdiri. Ia langsung memaksaku meminum cairan yang bau dan rasanya sangat aneh. Namun, ajaib. Tidak lama setelah itu, aku pulih seperti semula.

Pernah suatu kali, Tuan Modishu tidak ada di peternakan. Malang, salah satu dari kami ada yang sakit dan saat ia sekarat, para penjagal menyeretnya keluar.

“Aku tidak ingin sakit, Bu.” Aku menggeleng kuat hingga lonceng yang tergantung di leher berbunyi nyaring.

“Kalau begitu, makanlah yang banyak dan tidurlah yang cukup. Kita akan baik-baik saja.”

Aku menurut pada Ibu. Aku sama sekali tidak pilah pilih makanan. Lagi pula, jerami dan rumput di peternakan ini sangat segar. Bagaimana bisa kutolak? Aku juga suka berolahraga, berlari mengitari areal yang dibatasi pagar.

Jhon, pria yang sebelumnya mengatakan bahwa aku harus bisa beradaptasi, terlihat senang. Aku berjalan menghampiri ia yang datang hampir setiap hari. Ia menepuk-nepuk pundakku setelah kami cukup dekat.

“Kau sangat akrab dengannya.” Wanita pasangan Jhon tiba-tiba telah hadir. Aku sama sekali tidak menyadari kedatangannya.

“Dia berbeda. Dia seolah mengerti apa yang kupikirkan.” Jhon menatap tepat ke bola mataku.

Aku memberikan lenguhan setuju. Benar, Jhon. Tentu saja aku mengerti perkataanmu. Bila tidak, aku bisa menanyakannya pada Ibu. Ibu tahu banyak hal.

“Apakah dia telah siap?”

Pertanyaan itu membuat tatapan Jhon beralih kepada sang wanita.

Well, dia terlihat sehat. Bobotnya bertambah dengan cepat.” Wanita itu meneruskan perkataannya.

“Bagaimana? Apakah kau siap bergabung dengan yang lain?” Jhon melontarkan pertanyaan yang membuatku berpikir keras. Bergabung dengan siapa?

Keesokan harinya, Jhon membawaku dan Ibu ke sebuah areal yang lebih luas dari sebelumnya. Aku terpukau oleh indahnya bukit dan lembah yang diliputi rumput segar berwarna kehijauan. Beberapa buah pohon terlihat tumbuh menambah kesan teduh. Ini sangat luar biasa!

“Pergilah!” Jhon menepuk bokongku. Aku melihat ke arah yang ia tunjuk. Dari kejauhan terlihat beberapa sapi yang bergerombol. Tunggu … benarkah mereka itu sapi?

Bahkan dari kejauhan, aku bisa melihat, mereka tidak sama denganku. Aku berkulit cokelat sedangkan tubuh mereka berwarna putih dan hitam. Ragu-ragu, aku berpaling ke belakang, melihat ke arah Jhon yang menepuk-nepukkan kedua tangannya seolah memberiku semangat. Beriringan, aku dan Ibu mendekati gerombolan sapi yang tengah makan itu.

“Hai.” Ibu menyapa lebih dahulu. Aku hanya diam, berdiri di samping Ibu.

Beberapa sapi menghentikan kunyahan mereka. Menatap kami dengan tatapan aneh. Darahku berdesir, nyaliku ciut hingga tanpa sadar mundur beberapa langkah.

Kawanan itu beranjak, seolah sengaja memberikan jalan untuk seseorang. Tebakanku benar, jantan bertubuh paling besar muncul dari kerumunan. Kurasa, ia adalah pemimpinnya.

“Jhon membawa kami ke sini.” Ibu menerangkan dengan sopan. Kami sama-sama melihat ke arah Jhon yang masih berdiri di kejauhan.

Sang pemimpin itu terlihat marah. Ia berjalan mengitari aku dan Ibu.

Aku merapatkan tubuh pada Ibu, ketika dengusan napas sang pemimpin kawanan terasa di kulit wajah.

“Maaf sebelumnya, kami datang tidak dengan maksud jelek.” Ibu berusaha mencairkan suasana.

Tidak ada yang menjawab. Kawanan itu hanya makin merapatkan diri. Mengepung aku dan Ibu di tengah-tengah mereka. Aku bisa merasakan tatapan mereka yang penuh kebencian.

Makin lama aku dan Ibu makin terimpit, hingga tidak bisa bergerak. Di antara celah yang mengecil dapat kulihat Jhon berdiri terpaku. Ia tidak melakukan apa pun untuk aku dan Ibu.

“Bertahanlah. Kita … kita … tidak akan apa-apa,” bisik Ibu terputus-putus dengan napas yang kesusahan.

Aku mencoba sedapat mungkin berdiri. Meski kawanan itu terus mendesakku dari berbagai arah. Ibu … Ibu … aku suka di sini. Aku suka langit yang cerah dan rumputnya yang lembut.

Ibu … aku tidak ingin kembali ke tempat yang di mana anyir darah menguar. Ibu …. (*)

Medan, 10 Agustus 2020

 

Freky Mudjiono. Seseorang yang senang belajar dan mencoba banyak hal.

Editor : Fitri Fatimah

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply