Petak Umpet

Petak Umpet

Petak Umpet

Oleh : Rinanda Tesniana

 

Raya tertawa geli melihat kelakuan murid-muridnya. Gadis manis itu senang melihat wajah riang murid-muridnya yang berlari ke sana-kemari.

“Ibu, Dian mana?” tanya Melati, salah satu murid Raya.

Raya menggelengkan kepala. Raya memang tidak tahu Dian bersembunyi di mana. Dari tadi, perempuan  itu sibuk memeriksa jawaban dari latihan anak-anak didiknya.

Kemudian mereka mencari sambil memanggil nama Dian. Terdengar bunyi kulkas dibuka, Dian keluar dari sana sambil cekikikan. Ternyata dari tadi bocah itu sembunyi di dalam sana.

“Kok, bisa buka kulkas, Nak?” Raya geli melihat sikap anak-anak usia empat tahunan ini.

“Hihihi, Ibu lupa ngunci.” Raya tak bisa menahan gelak tawanya. Biasanya, Raya mengunci kulkas besarnya agar anak-anak ini tidak bolak-balik mengambil minuman dingin yang selalu tersedia di dalamnya. Kali ini dia lupa.

Anak-anak yang les baca tulis di rumahnya ini memang obat stres paling ampuh. Kesendirian Raya terobati saat sore hari. Anak-anak yang masih lugu itu kadang bertingkah konyol. Hingga hidup Raya yang kelabu, menjadi berwarna jika mereka datang.

“Ibu, haus,” rengek anak-anak.

“Janji, ya, masing-masing cuma boleh ambil satu minuman saja.” Raya berkata tegas.

Anak-anak itu hafal jika isi kulkas Raya penuh makanan dan minuman. Mereka boleh mengambil, tapi tidak boleh berlebihan.

“Janji.” Serentak murid-murid menjawab.

Raya membuka kulkas dan anak-anak itu menyerbu untuk mengambil apa pun yang mereka inginkan.

Pukul lima sore, satu per satu murid-muridnya dijemput. Raya mengantarkan mereka sampai pintu.

“Salim sama Ibu,” perintah mama Dita kepada anaknya.

Dita menuruti perkataan mamanya.

“Terima kasih, Bu Raya, sejak les sama Ibu, Dita udah lancar membaca.”

“Alhamdulillah. Dita anak pintar, Ma. Gak susah mengajarinya,” puji Raya pada anak didiknya itu.

Dita tersipu malu.

“Kalau sama saya dia gak mau belajar, Bu,” ujar mama Dita lagi.

“Abisnya, Mama suka marah. Kalo Bu Raya gak pernah marah, Ma.” Dita berkata lugu.

Sontak Raya dan mama Dita tertawa geli mendengar ucapan bocah lugu itu.

Tertinggal Dian yang belum dijemput. Raya mengajak Dian membaca buku.

“Tumben mami Dian lama jemput, Nak. Biasanya Mami cepat datang.”

“Mami sakit, Bu. Mungkin Papi yang jemput,” kata anak itu.

“Oh,” ucap Raya. Raya belum pernah bertemu dengan papi Dian yang kabarnya pengusaha kaya itu. Setiap kali les, Dian diantar maminya.

“Itu Papi, Bu.” Dian berlari mengambil tasnya. Raya bersiap mengantarkan Dian ke depan.

Pria jangkung bertubuh tegap keluar dari mobil. Darah Raya serasa berhenti mengalir melihat wajah papi Dian. Ada luka yang kembali menganga. Duka yang susah payah Raya lupakan, seketika datang kembali. Lebih pedih.

Pantaslah, selama ini Raya memiliki rasa sayang yang berbeda terhadap Dian. Sebab anak itu sangat mirip dengan papinya—Riki.

Lelaki itu pun terdiam melihat Raya berdiri di pintu rumah. Lama dia menatap Raya, barulah dia berjalan ke arah pintu.

“Apa kabar?” Dengan jantan dia mengulurkan tangan pada Raya.

Raya membuang muka, juga tak menyambut uluran tangan Riki. Tubuh Raya menggigil, tangannya mencengkeram erat ujung bajunya. Menahan diri untuk tidak menempeleng pria itu. Juga menahan semburan makian yang rasanya sudah ada di ujung lidah.

“Ternyata kamu, Raya, ibu kesayangan Dian yang setiap hari diceritakannya padaku,” ujar Riki.

Raya hanya tersenyum kikuk. “Besok, aku tidak mau lagi anakmu les di sini!” kata Raya dingin.

“Tapi, Dian senang les bersamamu,” bantah Riki.

“Aku tidak suka, karena dia anakmu.”

“Bersikaplah dewasa. Jangan membawa urusan masa lalu pada anakku.” Suara Riki mulai lunak. Pria itu tahu betul watak Raya yang tidak bisa dikerasi.

“Masa lalu? Masa lalu kamu bilang? Kalau bisa, sekarang juga aku ingin membunuh kamu, untuk membalas kematian anakku.”

Riki melongo di depan pintu. Raya masuk begitu saja setelah Dian datang. Tak berniat membiarkan Riki tahu lebih banyak.

“Ibu kenapa, Pi? Kok, marah sama Papi?” tanya Dian dengan polos.

Riki tak menjawab. Dia hanya menghela napas.

***

Sepuluh tahun yang lalu,

“Aku hamil, Ki.” Raya menangis di hadapan Riki, kekasihnya.

“Ha? Gak mungkin, Ray. Kita baru melakukannya sekali,” bisik Riki. Takut terdengar oleh orang lain di kantin.

“Tapi aku memang hamil.” Raya mengeluarkan test pack bergaris dua dari dalam tasnya. Menunjukkan sedikit pada Riki.

“Astaga. Aku belum siap.”

“Sama! Apalagi aku.” Raya kesal melihat sikap Riki.

“Ya sudah, nanti aku cari jalan keluar.” Pria tampan itu mengelus tangan Raya, berusaha menenangkan kekasihnya itu.

Raya menunggu pertanggungjawaban Riki. Seminggu, dua minggu, hingga sebulan, Riki tak pernah muncul lagi di kampus.

Seperti orang bodoh, Raya mendatangi tempat  Riki biasa nongkrong. Dari teman-teman nongkrongnya, Raya baru tahu kalau Riki sudah pindah ke luar negeri.

Hati Raya hancur berkeping. Bingung sekaligus malu dengan kehamilannya. Pulang ke rumah, jelas tidak mungkin. Ayah akan langsung membunuhnya jika tahu anak gadis semata wayangnya ini hamil. Menggugurkan kehamilan juga Raya tidak mau, walaupun Raya bodoh karena berbuat dosa dengan Riki, dia tidak akan mengulangi kebodohan dengan membunuh anaknya.

Raya mengambil keputusan besar. Dia memutus kontak dengan seluruh keluarganya, dan pindah menyeberangi pulau. Hidup sendirian, tanpa siapa-siapa. Jatuh bangun Raya menghidupi dirinya. Untunglah, otaknya encer. Dia membuka les baca tulis untuk balita di rumah. Perlahan dia bangkit dan menemukan dunianya di tempat baru ini.

Setelah proses persalinan yang cukup berat, Raya melahirkan seorang anak perempuan cantik. Raya sangat bahagia, dan tak pernah menyesal mempertahankan Andini.

Namun, lagi-lagi musibah datang. Saat Andini berumur empat tahun, dia kejang dan tak bisa diselamatkan. Raya hancur sekali lagi. Kepergian Andini adalah pukulan terberat dalam hidupnya. Jauh lebih menyakitkan daripada ketika ditinggalkan Riki tanpa kepastian.

***

Dian turun dari mobil dan berlari kecil ke arah Raya.

“Maaf, Dian memaksa.” Riki menunduk dengan wajah menyesal.

“Ibu, masa Dian disuruh belajar di tempat ibu guru lain. Dian gak mau, Bu,” rengek Dian.

Raya menatap Riki dengan rasa muak. Setiap kali melihat wajah lelaki itu, Raya kembali ingat pada Andini. Emosi terkait kepergian Andini kembali masuk dalam memorinya. Padahal, sekuat tenaga Raya berusaha melupakannya.

Raya menatap wajah Dian dan Riki bergantian. Kemudian, dia tersenyum,

“Masuk ya, Sayang.” Dian melompat kegirangan.

“Terima kasih,” ucap Riki.

Raya membalasnya dengan senyum. Riki lega melihat senyuman Raya, tapi pria itu luput menatap amarah di mata Raya.

***

“Ssttt! Ibu diam, ya?” bisik Dian pada Raya. Raya mengangguk, dan mengacungkan jempolnya. Anak-anak sedang bermain petak umpet. Dian tidak menemukan tempat bersembunyi selain dalam kulkas.

Raya menutup dan menggembok pintu kulkas. Membiarkan Dian menginap semalam di sana. Besok, Andini tidak sendirian lagi. Andini bisa bermain di sana dengan Dian, adiknya. (*)

Pekanbaru, 02072020

 

Rinanda Tesniana, pembelajar di dunia literasi.

Editor : Tri Wahyu Utami

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply