Pesta Patah Hati
Karya: Eni Ernawati
Aku mendadak menjadi wartawan malam ini. Namun sepertinya aku salah memilih narasumber. Sedari tadi kutatap bayangnya, ia terus saja diam. Tak ada gerak-gerik yang menandakan jika ia akan menjawab pertanyaanku. Justru ia semakin bingung, terlihat dari gerakan tangannya yang menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Baiklah, sepertinya harus kuhentikan wawancara kali ini. Lebih baik besok aku mencari orang yang tepat—yang bersedia untuk aku wawancarai. Bukankah menghakimi diri sendiri itu tidak baik?
Perkataannya tadi siang benar-benar membuatku tidak tenang. Atas dasar apa ia berbicara seperti itu. Tidakkah ada kalimat lain yang lebih halus? Beberapa orang di luar sana mungkin sudah terbiasa mendengar ucapan itu, tetapi aku tidak demikian. Bagiku apa yang diucapkannya itu tidak pantas ia lontarkan padaku—yang sama sekali tidak mengerti sebab atas apa yang dipermasalahkannya.
“Halo,” ucapku pada orang di balik telepon. Ia menghubungiku setelah pesan yang ia kirim tidak aku balas.
“Kukira kau sudah tidur.”
“Belum.”
“Kenapa?”
“Gapapa.”
“Apa kau sedang ada masalah?” Aku terhenyak mendengar pertanyaan yang ia ucapkan. Dari mana ia tahu jika aku sedang tidak baik-baik saja.
“Kenapa kau tanya seperti itu?””Kau tak seriang biasanya, suaranu parau,” jelasnya lembut. “Jika kau butuh seseorang untuk mendengarkan keluhmu… aku siap.”
“Tidak, terima kasih, Kak.” Aku tidak mungkin menceritakan masalah ini kepadanya. Sebab ia sendiri sedang menghadapi masalah yang jauh lebih besar dariku.
Bayang-bayang orang yang kuwawancarai tadi menghilang. Seiring aku menutup jendela dan bergegas menuju ranjang. Iya, aku lelah berdialog dengan diriku sendiri, sebab tak kutemui jawaban yang melegakan hati. Sejujurnya aku belum mengantuk, hanya saja aku menuruti ucapan Kak Fandy. Tadi ia bilang jika aku sebaiknya tidur, karena malam sudah sangat larut.
***
“Hai, Na.” Aku menghampiri Mona yang sedang duduk di depan perpustakaan. “Bisa bicara sebentar?”
“Sorry, aku alergi ngobrol sama orang munafik.”
Deg!
Jantungku seolah dihantam benda keras. Entah mengapa dari dulu aku sangat benci dengan kata munafik. Apalagi yang mengatakan kali ini adalah temanku sendiri. Parahnya, aku tidak tahu sebab apa dia memusuhiku beberapa hari terakhir ini.
Punya teman yang sifatnyat kekanak-kanakan sungguh tidak menyenangkan. Jika aku punya salah kenapa tidak berterus terang? Bukankah itu adalah salah satu cara menjadi dewasa? Bukankah dewasa itu baik? Kalau sudah begini aku jadi merasa serba salah. Aku sama sekali tidak mengetahui kenapa sekarang Mona begitu membenciku. Tadinya aku menghampiri dia dengan maksud menanyakan apa kesalahanku. Akan tetapi dia malah menghujatku. Teman yang lain pun telah dihasut agar ikut menjauhiku.
Di kelas terasa sangat asing. Aku merasa menjadi siswa baru yang tidak dianggap. Mereka sibuk ngobrol sana-sini. Tadi aku mencoba untuk menimbrung namun tidak dihiraukan. Sungguh, ini sangat menyakitkan. Lebih sakit dari ditinggal pujaan hati pas lagi sayang-sayangnya. Selama dua belas tahun sekolah, ini kali pertama aku dikucilkan.
Biasanya aku senang jika ada jam kosong. Apalagi jika mata pelajaran matematika. Tetapi tidak dengan hari ini. Aku berharap jika Pak Hardi mengajar, akan tetapi ekspektasi tidak selaras dengan realita.
Kakiku melaju menuju gerbang sekolah setelah bel pulang berbunyi. Aku tidak menghiraukan orang-orang yang memandangku heran sebab aku terlalu buru-buru. Di pikiranku hanya tertuju pada seseorang yang tengah menungguku di depan sana.
“Maaf sudah menunggu lama,” ucapku sambil mengatur napas.
“Tidak apa-apa, Sya. Justru aku yang minta maaf, aku terlalu sering merepotkanmu.”
“Sama sekali tidak,” jawabku tersenyum. “Fasya senang bisa membantu Kak Fandy,” lanjutku sambil mengacak-acak rambutnya.
***
“Kamu lagi berantem sama Fandy?” Seketika mataku terbelalak. Kutatap perempuan yang berusia kepala empat itu dengan tatapan tak mengerti.
‘Eng—enggak, Tante,” jawabku bingung.
“Jangan bohong.”
“Fasya gak bohong, Tante.”
Sebisa mungkin aku membuat orang yang tengah berbaring di rumah sakit ini percaya padaku, jika aku dan putranya tidak sedang ada masalah. Karena memang aku tidak ada masalah dengan orang yang beliau maksud.
“Kamu tau, kenapa Tante bisa dibawa ke sini?”
“Kenapa, Tan?”
“Semalam Tante kumat, Fandy tidak mau meneleponmu. Jadi Tante kira kalian lagi berantem.”
Aku hanya menjawab dengan senyuman. Aku tidak paham, sebenarnya apa yang Tante Tika pikirkan tentang aku dan anaknya. Ah sudahlah, yang penting sekarang Tante Tika sudah tertidur pulas.
Plak!
“Teman macam apa kamu, Sya?” Tiba-tiba Mona menamparku setelah aku keluar dari ruang inapnya Tante Tika.
“Maksud kamu apa?”
“Kamu masih pura-pura tidak tahu juga? dasar ga tau diri!”
“Aku benar-benar tidak tau apa yang kamu maksud.”
“Kamu tega nusuk aku dari belakang. Aku itu suka sama kak Fandy, tapi kamu malah ngrebut dia dari aku.”
“Ngrebut? Kamu salah paham, Na.”
“Mona, cukup!” Tiba-tiba kak Fandy datang dari arah belakang. “Kamu apa-apaan.”
Mereka berdua saling adu mulut cukup lama. Dari situlah aku tahu sebab apa Mona membenciku. Ia mengira jika aku dan Kak Fandy ada hubungan spesial. Padahal aku dekat dengan Kak Fandy hanya karena mamanya. Aku sendiri tidak tahu mengapa Tante Tika selalu memintaku untuk datang saat penyakitnya kumat. Dan Mona telah salah paham tentang hal ini.
***
Sekarang hubunganku dengan Mona sudah membaik. Kemarin ia mendatangiku untuk meminta maaf sekaligus mengundangku dalam acara ulang tahunya di hari ini. Begitupun denganku, aku meminta maaf kepadanya sebab aku tidak tahu jika selama ini dia menaruh perasaan kepada Kak Fandy.
Pesta ulang tahun Mona sangat meriah. Namun entah kenapa aku tidak merasa bahagia di sini. Terlebih saat melihat Mona dan Kak Fandy berdansa.(*)
Tentang Penulis:
Eni Ernawati, Gadis penyuka musik yang berasal dari Bumi Wali, Tuban.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata