Pesisir, Bahari, dan Sebuah Alasan untuk Hidup
Oleh: Lutfi Rose
Tantangan Lokit 14, Top 22
Mungkin sudah saatnya diakhiri. Karena lautan nan luas tak cukup menyimpan gejolak hati, dan debur ombak yang berdentam ketika menabrak bebatuan karang, tak juga cukup mengisi kekosongan jiwaku. Meski sejak kecil hidup dan dibesarkan di sini, berkawan hamparan pasir dan bersahabat terik mentari, tetap saja aku merasa terasing. Laut memang memberiku kehidupan, tetapi dia pula yang merenggut satu-satunya kehidupanku.
“Bapakmu! Bapakmu!” seru seorang perempuan—tetanggaku—tergopoh menghampiriku di tempat pelelangan ikan.
Kala itu pagi masih terlalu muda, terik mentari masih mencipta semburat silau kecil di celah dedaunan kelapa. Namun aku, gadis yang teman sebayanya masih bebas bermain, harus bekerja keras sejak pagi buta. Aku baru saja tamat sekolah menengah pertama dua bulan sebelumnya. Aku merengek ingin melanjutkan ke sekolah negeri di kota. Bapak tak punya cukup uang, tetapi berjanji akan mengusahakan.
“Kamu harus jadi orang pinter, Nduk. Harus punya kehidupan yang lebih layak seperti harapan ibumu,” jawab Bapak ketika kuutarakan keinginan.
Bapak memang berkeinginan memenuhi janjinya kepada mendiang Ibu yang berharap aku bisa lulus SMA. Namun, apa artinya semua harapan Ibu dan janji Bapak jika akhirnya semua seolah direnggut paksa oleh Sang Maha Pencipta. Apa sebenarnya mau Dia? Aku lelah. Sepeninggal Bapak, setiap hari hidupku bergantung dari belas kasihan orang lain. Apa yang bisa dilakukan gadis lemah tanpa otot ini? Tidak ada.
Dua tahun sudah sejak Bapak pergi ke laut dan kembali tanpa nyawa, hanya raga tak bergerak. Mengapa Dia tak ambil serta diriku? Menelanku juga dalam luasnya samudra. Sudah puluhan kali aku menantang lautan, kubiarkan ombak membawaku jauh ke tengah, berharap jiwa segera menyusul Ibu dan Bapak. Namun, Dia masih saja menyelamatkanku, memaksa menelan pahit getirnya hidup sebatang kara. Pernah di waktu lain, aku menjatuhkan diri dari tebing tinggi di sisi selatan pantai ini. Sayang, belum sempat tubuhku melayang menjemput kematian, sebuah tangan meraih dan menarikku yang hampir terjun. Sungguh, mati menjadi hal yang sangat sulit bagiku.
Kali ini semua harus diselesaikan. Aku tak akan mengikuti arus ombak, percuma. Lebih baik aku berjalan ke tengah, membiarkan diri tenggelam perlahan lalu nyawa akan menguar dan hilang. Kutapakkan kaki perlahan, memastikan semua telah sesuai rencana. Kubiarkan gerakan ombak mengusap setiap jengkal tubuh, membelai lembut kulit dan rambut yang tergerai. Air perlahan mulai menelan ragaku, semakin dalam dan semakin kuat menekan tubuh. Badanku telah masuk ke dalam air, perlahan tetapi pasti, udara berubah pengap, dadaku mulai sesak, dan makin lama makin sakit. Aku tetap bertahan, menikmati setiap rasa yang tercipta. Mungkin seperti ini yang Bapak alami sebelum kematiannya.
Kepalaku berdengung keras, air seakan masuk ke seluruh lubang tubuhku, ringan dan semakin ringan. Sepertinya, lamat-lamat kulihat Bapak dan Ibu melambai di kejauhan, wajah mereka terlihat muram. Mengapa mereka hanya berdiri di sana? Tidak inginkah menyambut kedatanganku?
***
Perutku terasa mual, air memaksa keluar dari mulut, aku terbatuk-batuk. Perlahan kucoba membuka mata, tetapi berat rasanya. Apa mungkin aku sudah di alam kubur? Badanku sakit sekali, sulit digerakkan.
“Berhentilah mencoba mati! Orang tuamu pasti menyesal telah melahirkanmu ketika melihat kelakuanmu begini.” Sebuah suara dengan nada tinggi terdengar.
Mungkinkah ini suara malaikat penanya kubur? Tetapi mengapa kalimatnya berbeda dari yang pernah dikisahkan guru agama di sekolah. Mungkinkah pertanyaan kubur sudah dimodifikasi? “Argh!” Aku mengerang menahan sakit. Seluruh tubuhku terasa remuk.
Hening sesaat. Terdengar suara deburan gelombang yang lembut, juga cicit ikan hiu bersahutan diiringi suara semburan air dari mulut mereka. Gemerisik gesekan daun kering mengisi jeda di antara suara itu. Belum pernah aku merasa sedamai ini. Beginikah rasanya di alam kubur? Ternyata tak semenakutkan cerita orang-orang.
Sebentar, ada jeritan suara burung elang dan derit kayu yang dipijak kaki. Kemudian ada aroma wangi menguar. Mungkinkah ini surga? Apakah semudah ini memasukinya?
“Buka matamu! Aku tahu kamu sudah sadar.” Suara tak bersahabat itu kembali terdengar.
Mungkin dia malaikat yang terlalu banyak tugas, hingga tidak sabaran hendak menanyaiku. Perlahan kubuka mata. Remang sinar bulan membantuku cepat beradaptasi. Kucoba menggerakkan kepalaku ke samping kanan, tampak sosoknya sedang berdiri mengamatiku. Ternyata malaikat tak semenyeramkan bayanganku. Dia mendekat, tangannya hendak menyentuhku. Aku ingin menolak, tetapi, uh! Sekujur tubuhku terasa sakit dan tak bertenaga.
“Jangan banyak bergerak. Minum ini.” Dia berucap sambil mendekatkan sebuah cawan batok kelapa ke mulutku.
Aku menurut, meminumnya. Manis dan segar.
“Apakah aku sudah mati?”
“Kamu kira semudah itu?”
“Kamu bukan malaikat?” Dia terbahak keras mendengar pertanyaanku, hingga air di tangannya hampir tumpah.
“Sudahlah, sepertinya air laut telah membuatmu kurang waras. Beristirahatlah. Ajukan pertanyaan apa pun nanti, saat kondisimu sudah lebih baik.”
Dia pergi meninggalkan derit kayu yang dipijakinya. Terdengar suara seruling lirih dari kejauhan. Jika benar ini surga, mengapa tak ada lentera warna-warni seperti cerita Bapak? Di sini benar-benar sepi.
Langit semakin gelap, beberapa bintang bergerombol mengintip di antara celah atap. Aku mencoba duduk. Kali ini aku mampu melakukannya, lalu perlahan bangkit dan melangkah keluar.
“Sudah siuman rupanya.” Seorang wanita paruh baya menyapaku dengan ramah. Apakah dia bidadari? Katanya bidadari itu muda dan cantik. Mengapa dia berbeda? “Kemari, duduk di sini, sebentar lagi makan malam,” lanjutnya masih dengan penuh keramahan.
Aku mengangguk, mengikuti arahannya untuk duduk di sebelahnya.
“Bahari membawamu dengan perahu siang tadi. Dan … maaf aku terpaksa mengganti pakaianmu karena basah.” Reflek aku melihat diriku sendiri dan tersadar, yang kupakai bukan pakaianku lagi.
“Kukira aku sudah mati dan kukira ini akhirat,” ucapku. Dia tertawa, tetapi tak terbahak. Jemari kanannya menutup mulutnya yang terbuka.
“Kamu masih hidup, Nona,” ucapnya masih dengan senyum simpul yang menyimpan misteri.
“Dia pikir mudah untuk mati. Keterlaluan. Di sini kita bertaruh nyawa demi kehidupan, dia malah dengan seenaknya ingin mengakhiri kehidupan.” Suara lelaki yang ternyata bernama Bahari itu memecah ketenangan kami.
Mulutnya pedas sekali!
“Lihatlah lautan luas itu. Di sini kamu lebih mudah untuk menjemput kematian, berdiri dan jeburkan dirimu di sana!” Tangannya menunjuk pada laut lepas. Lagi-lagi aku tercenung, bagaimana mungkin kami berada di tengah lautan? Kusapu pandangan sekeliling, tak tampak sedikit pun tepian pantai. Kukucek mata memastikan segala yang terlihat. Angin berembus sepoi mengayun geraian rambut yang menutupi sebagian wajahku. Mimpikah ini?
Malam makin menua, suasana makin ramai, satu per satu orang datang berkumpul. Aku masih belum sepenuhnya percaya dengan apa yang kulihat. Dua wanita datang dengan membawa wadah besar berisi olahan sagu dan ikan panggang. Mereka mulai membagikan piring, kemudian secara bergantian mengambil makanan.
“Makanlah yang banyak biar badanmu segera pulih,” ucap wanita di sebelahku seraya mengulurkan sebuah piring yang sudah terisi.
Aku mengangguk dan mulai menyantap makanan. Gurih, ini yang pertama kali kurasakan. Olahan sagu tanpa rasa dan ikan panggang yang hanya digarami, tetapi makanan ini terasa begitu nikmat di lidah.
***
Malam semakin larut dan entah aku sedang berada di mana. Namun, kupastikan ini bukan akhirat, ini masih di dunia. Ibu yang duduk di sampingku menepuk pundakku. Dia kemudian berlalu bersama orang-orang yang pergi setelah bergantian menjabat tanganku. Aku hanya berusaha membalas senyum-senyum ramah mereka.
“Masih ingin mati?” Suara Bahari mengalihkan perhatianku.
“Tentu. Aku ingin segera bertemu Tuhan untuk menanyakan mengapa aku dibiarkan hidup sedangkan orang-orang yang kusayangi diambil satu per satu.”
“Dasar gadis keras kepala!”
“Apa urusannya denganmu, Pemuda?”
Dia kembali terbahak-bahak. Kali ini lebih keras, seakan menggema di antara samudra luas.
“Hidup ini terlalu berharga, Nona. Seharusnya kau bersyukur masih diberi kesempatan menikmati lautan luas ini. Aku tahu bukan sekali ini saja kau ingin mengakhiri hidup. Kau pernah akan menjatuhkan diri dari tebing di selatan pantai bukan?”
“Bagaimana kau tahu? Jangan bilang kalau lelaki itu adalah ….”
Lagi-lagi dia terbahak dengan gayanya yang sungguh menyebalkan.
“Sudahlah. Ini terakhir kali aku menyelamatkanmu. Kamu boleh melanjutkan misi kematianmu, tapi dengan satu syarat. Sebelum itu terjadi, tinggalah di sini beberapa saat. Setelah itu, aku akan membantumu mengakhiri hidup dengan lebih mudah.”
Dia pergi tanpa menunggu jawabanku. Apa maunya?
***
Aku tidur bersama wanita yang sama yang duduk di sebelahku. Dia banyak bercerita tentang Bahari sebelum kami terlelap.
Bahari tidak memiliki keluarga. Ibu bapaknya meninggal di atas perahu ketika dia masih balita. Dia sempat terombang-ambing di tengah laut selama dua hari dengan mayat kedua orang tuanya. Bahari kecil yang saat itu berusia lima tahun ditemukan dan diselamatkan oleh Bapak Tahan–kepala suku Bajo–lalu membawanya tinggal di sini. Bahari tidak pernah mengecap pendidikan sekolah formal. Dia belajar membaca dan menulis dari relawan yang datang setiap dua minggu sekali, mengajari anak-anak suku Bajo.
Dia pemuda yang cerdas, banyak dari gadis pulau yang menaruh hati kepadanya. Namun, dia masih enggan menjatuhkan pilihan. Meski dia tidak pernah sekolah, pengetahuannya tentang hidup dan alam tak kalah dengan mereka yang berpendidikan. Di sini dialah yang dianggap sebagai panutan sepeninggal Bapak Tahan. Dia yang bertugas menjual olahan ikan kering ke pulau sekaligus membelanjakan uang untuk keperluan sehari-hari. Kemudian membagikan hasil penjualan secara adil kepada penghuni rumah kayu.
Ternyata dia pemuda yang luar biasa.
***
Aku terbangun ketika sinar matahari jatuh di mukaku. Terdengar ramai sekali di luar. Aku menggeliat, menyisir rambut dengan jemari sekadarnya sebelum bangkit keluar.
Pemandangan luar biasa menyambutku. Aku benar-benar berada di tengah samudra. Sejauh mata memandang, yang terlihat adalah laut lepas nan tenang. Sesekali lantai yang kupijak–yang ternyata terbuat dari anyaman batang bakau–bergoyang mengikuti arah gelombang. Di bawah lantai masih bisa kulihat ikan-ikan berkejaran, berwarna-warni dengan beraneka ukuran, serta terumbu karang melambai mengikuti goyangan air laut.
“Pesisir, kemarilah!” Ibu yang semalam tidur denganku melambaikan tangan.
Beberapa wanita yang mengenakan kain setinggi dada sedang menceburkan diri ke air. Seorang menyodorkan selembar kepadaku. Aku mengikuti arahannya, menukar pakaian dan menceburkan diri. Beginilah cara mereka mandi. Hanya sesekali mereka mandi dengan air tawar, ketika mereka pergi ke pulau mengambil persediaan minum, dan itu pun secara bergiliran.
Aku mulai menikmati segala kegiatan mereka. Mulanya kukira mereka tak punya pilihan hidup, hingga harus tinggal mengasingkan diri di tengah lautan. Namun ternyata tidak, mereka punya pilihan, dan menjadi bagian dari suku Bajo adalah keinginan mereka sendiri.
Tak terasa sudah tiga hari aku di sini. Banyak yang kupelajari dari orang-orang ini: bagaimana mereka saling mendukung, saling melindungi, dan saling menghibur. Hampir semua orang tak ada hubungan kekerabatan, hanya ada beberapa yang terikat hubungan pernikahan dan sebagian benar-benar sebatang kara sepertiku. Namun, mereka begitu bahagia meski dengan serba keterbatasan.
“Kamu suka di sini?” Bahari bertanya ketika aku sedang memandang laut lepas sendirian di sisi barat daya. “Bagi kami laut adalah nyawa dan udara,” lanjutnya.
“Karena itu mereka memilih meninggalkan daratan?”
“Bisa jadi.”
“Atau memang tak ada pilihan lain,” gumamku pelan, seakan memberi alasan untuk tak terlalu menunjukkan kekaguman.
“Apakah kamu kira semua orang selemah dirimu, Gadis Cengeng?”
Aku melotot demi mendengar ucapan Bahari. Berani sekali dia!
“Aku lebih tak punya alasan untuk hidup, Nona. Setidaknya kamu punya cita-cita, sedangkan aku?” Bahari tergelak lepas. Tawanya yang khas seakan menggelegar lepas tanpa beban.
“Sekarang tidak lagi.”
“Setelah ayahmu meninggal?”
“Bagaimana kamu tahu, Baha?”
“Tak sulit mengenalimu di antara gadis lain. Gadis yang tak kuat terkena teriknya matahari, gadis yang selalu kelelahan membawa ember berisi ikan, gadis yang selalu menangis di tepi pantai, dan gadis yang selalu berusaha mengakhiri hidupnya.”
“Bagaimana kamu tahu?”
Dia menjawab dengan gelak tawa lagi, yang sama menyebalkan. Kulitnya yang gelap tak mampu menyembunyikan elok garis wajahnya. Tak kupungkiri dia memang berbeda.
“Haruskah aku menjelaskan? Untuk apa? Toh, sebentar lagi kamu akan mengakhiri hidupmu.”
“Setidaknya aku akan mati tanpa menjadi roh penasaran.”
“Kamu mulai pandai bercanda, Nona.”
Kecipak air di bawah kami memberitahu ada buruan yang terjebak jerat. Dengan cekatan, Bahari menarik ujung jaring dan mengangkatnya. Beberapa ikan sebesar paha orang dewasa sudah bergerombol di dalamnya.
“Kita bisa pesta malam ini,” serunya. Dia memanggil pemuda lain yang segera membawa ikan ke ruang pengolahan.
“Kamu sudah memutuskan? Kapan aku harus membantumu mati?” Pertanyaan Bahari menyadarkanku pada sesuatu yang tiba-tiba terdengar asing. Aku memandangnya tanpa menjawab. “Kita bicara lagi usai pesta malam ini,” ucapnya lagi, lalu pergi.
***
Langit mulai berubah warna. Rembulan sedang purnama dan bintang-bintang bertaburan mencipta pantulan yang luar biasa di permukaan samudra. Mungkin Bahari benar, banyak sisi dunia yang belum aku ketahui.
Penghuni rumah kayu mulai berdatangan. Yang mereka sebut pesta ternyata tak jauh berbeda dengan makan malam dua malam sebelumnya. Hanya saja menu yang disajikan lebih banyak dan sebuah ukulele dimainkan, lalu kami mulai berdendang bersama.
Anak-anak menari di tengah lingkaran duduk kami, para perempuan yang jumlahnya tak lebih dari dua puluh orang beradu merdu suaranya. Makin larut, nyanyian mereka semakin riuh dan langit seakan makin cemerlang memendarkan cahaya di permukaan laut. Kukira ini cukup pantas disebut surga.
Bahari mendekatiku. “Sudah diputuskan?”
Aku berlagak tak paham arah pertanyaannya.
“Pesisir?” Ini kali pertama dia menyebut namaku.
“Mungkin iya, mungkin tidak.”
“Kamu yakin dengan keputusanmu?”
“Mungkin sekarang tak seyakin sebelum aku tinggal di sini.”
“Kenapa?”
“Aku bahagia di sini, aku merasa hidup di dunia yang damai.”
“Jadi, kamu akan melupakan bunuh dirimu?”
“Entahlah. Seandainya ada alasan untuk aku bertahan hidup. Seandainya laut punya hadiah jika aku hidup.”
Kami diam, jeda yang cukup untuk menikmati suara alam: kecipak air, desiran angin dan lolongan paus yang entah berada di mana. Hingga akhirnya ….
“Mengapa tak kau jadikan aku alasan dan hadiah lautmu?” ucapnya seraya menatapku tajam. Aku kalah, tak mampu berucap kata.
Seketika aku tertegun ketika Bahari meraih dan menggenggam tanganku. Perlahan aliran hangat menjalar ke seluruh sendi tubuhku. Mungkin benar, aku mulai menemukan alasan untuk hidup, juga sebuah hadiah indah dari laut. (*)
Lutfi Rose. Perempuan yang mengenal hidup dengan membaca dan menulis.
Komentar juri:
Alur cerita yang manis dan romantis, penulis satu ini jagonya. Cerpen ini menceritakan pertemuan dua tokoh bernama Pesisir dan Bahari yang tentu sangat menarik untuk diikuti. Pertemuan yang unik, saya menyebutnya. Membawa-bawa malaikat alam akhirat, membuat kita akan tersenyum sendiri saat membacanya. Dari cerita ini kita juga akan diingatkan, bahwa tidak ada takdir yang salah, atau pantas disalahkan. Semua takdir adalah baik, tergantung dari sudut pandang mana kita akan memaknainya. Juga tentang mereka-mereka yang memilih hidup dengan arif, demi menjaga kelestarian alam. Dan, hai, Pesisir, kau dapatkan hadiah terbaikmu dari laut.
Sungguh, membaca ini, membuat kita tersenyum manis sambil minum teh hangat di sore hari.
Evamuzy
Tantangan Lokit adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakn di grup KCLK.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata