Pesanan Mama

Pesanan Mama

Kevin berjalan dengan riang menuju minimarket yang tidak jauh dari rumahnya. Anak kecil berumur enam tahun itu melewati jalanan dan melihat seorang pengemis.

Ini bukan pertama kalinya bagi Kevin menemukan seorang pengemis. Namun, melihat seseorang dengan pakaian kotor, tidak rapi dan tentunya membuat siapa saja merasa kasihan, selalu menarik seluruh perhatiannya.

Kevin memikirkan uang kembalian yang nanti, setelah membeli pesanan mamanya, akan ia berikan kepada pengemis itu. Tentunya setelah pulang dari minimarket.

“Selamat siang, selamat datang ….”

Seorang kakak cantik menyambut Kevin. Kevin mengangguk dan tersenyum. Ia kemudian masuk, tapi ….

Ia lupa. Kevin lupa hendak membeli apa. Jadilah anak itu mencoba mengingatnya dengan sedikit berjalan ke beberapa rak makanan dan minuman. Sungguh, semakin ia mencoba mengingatnya, malah semakin lupa.

Seorang pembeli lain datang. Kevin ragu-ragu sebelum akhirnya bertanya, “Kak, ehm, aku lupa mau membeli apa. Apa kakak bisa bantu?”

“Oh, mamamu yang menyuruh?”

Kevin mengangguk. Lelaki yang usianya cukup jauh dari Kevin itu, mulai mengajak Kevin berkeliling. Dari rak makanan, minuman, mie instan, bahkan produk susu dan bahan makanan. Namun, tetap saja Kevin tidak ingat.

“Baiklah, mari kita coba ini.”

Kevin mendengarkan dengan hati-hati.

“Apa mamamu sedang memasak atau membuat sesuatu?”

Kevin mengangguk. “Ya! Aku dan mama sedang membuat kue dan nasi kuning.”

“Ah, bagus. Kita punya petunjuk.”

Kevin masih mendengarkan. “Lalu, apa?” tanya Kevin lagi.

“Apa mamamu kekurangan bahan? Bahan kue atau untuk nasi kuningnya?”

Kevin mengangguk lagi.

“Baik, ini bagus. Kita bisa merinci bahan-bahan kue. Apa itu tepung? Mamamu kekurangan tepung?”

Kevin diam sebentar. Kemudian ia menggeleng.

“Bukan?”

“Bukan, sepertinya.”

“Kamu yakin?”

Kevin mengangguk mantap.

“Baik, ehm, apa itu gula pasir? Atau cokelat?”

“Ehm, apa, ya? Aku benar-benar lupa.”

Kevin menggaruk kepalanya. Ia kembali menatap deretan bahan kue.

“Mari beralih ke nasi kuningnya.”

“Tapi aku yakin, pasti ini bahan kue.”

“Bagus. Itu berarti kita harus kembali merinci bahan kuenya.”

“Tapi, apa?”

“Kamu yakin tentang ini, Kevin? Bukan bahan nasi kuningnya, kan?”

“Ehm, aku … lupa.”

Lelaki itu menarik napas panjang. Ia melihat Kevin dan tentu saja tak bisa meninggalkan anak itu sekarang.

“Aku akan menemanimu sampai kamu ingat.”

Kevin lega. “Kak, bisa saja apa yang harus kubeli itu, bahan untuk nasi kuning. Bukan kue.”

“Baik. Apa saja bahan nasi kuning?”

“Nasi, kunyit, santan?”

“Ya, betul. Kamu pintar, Kevin.”

“Apa hanya itu? Itu berarti, apa yang kucari bukan bahan nasi kuning. Iya, kan?”

“Tidak begitu juga. Mungkin bukan bahan inti atau bahan pokoknya. Bisa saja bahan yang kecil. Apa itu garam? Daun salam?”

“Ah, Kakak. Aku bahkan tidak tahu daun salam itu. Apa nasi kuning juga pakai gula? Atau pakai susu?”

Lelaki itu menggeleng. “Tidak-tidak. Tidak ada susu di dalam nasi kuning. Eh, tapi bisa saja. Hanya, itu pengganti santan. Beberapa orang mungkin mengganti santan dengan susu bubuk.”

Mendengar itu, Kevin hanya diam. Jujur, ia tak mengerti.

“Apa memang susu bisa menggantikan santan? Apa keduanya punya rasa yang sama?”

“Ehm, tidak juga. Tapi fungsinya bisa sama dalam beberapa olahan makanan.”

“Nasi kuning juga?”

“Oh, aku kurang tahu.”

“Apa ada masakan lain yang menggantikan santan dengan susu?” tanya Kevin lagi.

“Ada. Opor ayam.”

Kevin sibuk mendengar penjelasan-penjelasan itu.

“Ah, Kevin. Kita melupakan pesanan mamamu.”

“Hehe, iya. Bagaimana kalau aku pulang saja. Lalu kembali ke sini.”

Si lelaki hanya tersenyum. “Kenapa tidak lakukan itu dari tadi, hehe.”

Kevin kembali menggaruk kepalanya. Ia hampir ke luar dari pintu, tapi berhenti ketika tanpa sengaja matanya melirik ke sebuah benda.

“Tisu!”

Si lelaki melirik Kevin. “Jadi, itu pesanan mamamu?”

Kevin tersenyum senang. “Iya!”

“Jauh sekali dari apa yang kita bicarakan tadi, ya. Tapi untunglah kamu sudah ingat.”

Kevin mengangguk dan mengucapkan banyak terima kasih. Ia kemudian berjalan ke luar minimarket dengan senang. Selain karena sudah ingat, rasa senangnya timbul dari uang kembalian yang cukup banyak. Si pengemis masih di tempat yang sama.

Padahal, ibunya mengatakan bahwa uang kembalian dari membeli tisu boleh Kevin gunakan untuk jajan. Kevin tidak tertarik, ia hanya senang bisa membantu pengemis itu.

2020

Imas Hanifah Nurhasanah. Wanita kelahiran 23 tahun silam ini bercita-cita menjadi penulis sejak kecil.
Ia bisa dihubungi via sosial media di facebook: Imas Hanifah N atau Ig: @hanifah_bidam.

*gambar: pixabay

Leave a Reply